Cerita Kelima Belas

1.9K 272 25
                                    

Taya dan mamanya masih perang dingin. Gengsi bocah gembul itu setinggi harapan orangtua, sulit digapai.

Taya tahu kok kalau dia salah, dan sejujurnya Taya malu dan merasa bersalah.

Nggak boleh loh mainin makanan, terus lempar-lempar, atau masukin air. Nggak baik. Taya tahu kok.

Taya juga mau bilang sama mama kalau Taya sayang kok sama mama.

Dan sekarang bocah gembul itu mengekori ayahnya ke dapur. Bekas kekacauan yang dibuatnya tadi sudah rapi tak berbekas.

"Ayah mau apa?"

Langkah mungil itu masih saja mengekori ayahnya.

Setelah mandi dan rapi-rapi Taya belum bicara dengan mamanya lagi. Ughh mama juga tidak terlihat.

"Mau makan. Abang mau?"

Byakta tahu, jika putranya juga belum makan. Tadi makanannya tumpah semua, lalu yang lain tak terselamatkan karena sudah dituangkan air oleh Taya, putra kesayangannya.

Mungkin saja ada yang bisa diselamatkan dari kekacauan yang Taya buat tadi, tapi selera Byakta sudah tak ada.

"Maam apa?"

"Abang mau apa?"

"Ndak maam."

Drama mereka berawal dari Baheera menyuruhnya makan, dan Taya tak ingin makan. Alhasil bocah gembul itu memainkan makannnya dan menuangkan banyak air.

Luar biasa.

"Tanyain Mama sudah makan atau belum."

"Mama ndak ada."

"Abang cari dong, ada di kamar kok."

Tadi Byakta melihat istrinya di kamar.

"Mama malah." gumam Taya sendu, ia jadi kangen dengan mamanya.

"Mama nggak marah kok, Mama sedih aja loh. Sudah capek masak, tapi makanannya nggak bisa dimakan."

Byakta menyejajarkan tubuhnya dengan tinggi putranya itu. Berbicara dengan lembut, memastikan Taya melihat wajah orangtuanya.

"Taya tuang ail banyak banyak." gumamnya lagi, baiklah Taya semakin merasa bersalah.

"Iya, Abang ketemu Mama dulu yah. Ayah antar. Nanti makan sama Ayah sama Mama."

Byakta menggandeng tangan putranya menuju kamar.

Taya diam saja, mengikuti ayahnya.

"Mama, ada Nataya nih...."

Byakta memangil istrinya dengan riang, agar perang dingin antara ibu dan anak mereda.

Byakta tahu, Baheera tak benar-benar marah pada putra mereka itu. Tetapi terkadang ada kelelahan secara fisik dan mental yang ia rasakan. Byakta tak ingin memaksa, dan sebisa mungkin berbagi peran.

"Mama..." cicitnya pelan.

"Abang sini...."

Baheera memanggil putranya agar naik kekasur. Byakta meninggalkan mereka berdua.

Aman.

Saatnya ia menyiapkan makan malam yang super terlambat. Tadi Baheera sudah memesan makanan dari luar.

"Mama maam." gumam Taya menatap mata mamanya malu malu.

"Ayah lagi siapin makanan? Makanan tadi sudah nggak bisa dimakan."

Taya terdiam, matanya mulai mengembun merasa bersalah.

"Hiksss Mama, hikss, huwaaa....." tangisannya akhirnya pecah juga.

Baheera membawa Taya dalam pelukan. Mengusap punggung bocah itu dengan sayang. Memberikan kenyamanan seorang ibu.

"Mamaaa... hiksss solly, Mama, hikssss solly."

"Mama maafin Abang yah. Mama sedih kalau Abang buang makanan begitu."

"Hiksss ndak buang maam lagi. Hiksss Mama...."

Tangisannya semakin pilu, Taya sungguh merasa bersalah kok.

Awalnya memang tak mau mengerti, tetapi ketika ayahnya memberi pengertian ia jadi paham. Lalu mamanya yang sedih, perasaan bersalahnya semakin terasa.

"Iya Nak, jangan diulangi yah. Kalau Abang nggak mau makan kasih tau yah."

Baheera masih memeluk sayang putranya.

"Hikss Mama.... hiksss..."

"Mama peluk yah, Abang lagi sedih. Tidak apa-apa. Mama sayang Abang."

"Hiksss sayang Mama hikss banyak banyak..."

Baheera membiarkan putranya menangis. Tidak apa-apa kok. Anak juga perlu mengeluarkan emosi yang dirasakannya. Apalagi Taya masih tiga tahun, ia belum mampu menjelaskan perasaannya dengan baik, salah satu caranya dengan menangis.

Nataya and DinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang