Cerita Kedua Puluh Dua

1.7K 251 10
                                    

"Mama Taya mau main."

Bocah gembul itu sudah berlari kearah belakang rumah, sudah rapi dan berniat main.

"Main kemana? Jangan main tanah pagi-pagi. Nanti sore saja."

Baheera panik melihat bocah gembul itu sudah berlari ke belakang. Jangan main tanah, baru saja dimandikan.

"Ndak tanah Mama."

"Oke, Mama percaya sama Abang. Oke, main tanah nanti sore, boleh. Abang belum sarapan juga. Boleh main tanah, tapi sore yah."

Baheera menatap putranya, memastikan Taya mendengar ucapan mamanya. Taya harus tahu, bukan berarti mamanya melarang, tetapi mereka sedang bernegosiasi. Walaupun kalimatnya tak efektif, pengulangan, namun cara seperti ini cukup berhasil agar Taya bisa memahami.

Baheera membiarkan saja putranya, lelah juga kalau apa-apa dilarang.

Taya segera saja berlari ke halaman belakang, tak lagi mendengarkan mamanya. Pikirnya nanti juga mama bakal larang lagi.

Taya kan anak baik, nurut kok sama mama. Namun terkadang suka inisiatif sendiri.

"Taya mau main sepeda. Tapi ndak belakang.." gumamnya galau.

Halaman belakang rumah mereka tidak luas. Taya kan mau main sepedanya yang jauh.

"Mama... Mama.... Mama...."

"Mamaaa...."

Teriaknya lagi menghampiri mamanya dalam rumah.

"Kenapa Bang?"

"Main sepeda sana..." tunjuknya sembarang arah. Pasti mama paham kok.

"Masih pagi, main sepeda nanti sore aja yah."

Baheera berusaha bernegosiasi. Oke, lebih tepatnya meminta sih. Bukan negosiasi.

"Ndak, mau sekalang. Ayah beli sepeda ndak ada putal putal itu. Mau main itu Mama..."

Taya tak terima pendapat mamanya. Taya kan mau mainnya sekarang, bukan nanti. Nanti sore Taya mau cari cacing.

Taya sudah ada jawdal kegiatan kok. Mama saja suka merubahnya.

"Kan janji mainnya sama Ayah loh..." ingat Baheera percakapan keduanya belum lama ini.

"Tapi kan Ayah kelja. Ndak libul loh, Taya, Mama, libul." Protesnya, ayahnya sibuk. Ada waktunya nanti sabtu minggu.

Kalau hari itu Taya mau berenang. Main sepedanya sekarang.

Baheera pikir masih terlalu lagi untuk menelepon suaminya. Lagipula ini bukan hal mendesak. Perkara bocah gembul ini mau main balance bike.

Sebenarnya ini ada yang salah, Taya lebih dulu belajar sepeda roda dua, dengan roda bantu tentu saja. Namun entah ide dari mana, Byakta membelikan putranya balance bike ini.

Urutannya jadi terbalik, Baheera mendebat namun sudah terlanjut dibeli, jadi terasa aneh.

"Nanti waktu istirahat kita telepon Ayah yah. Kita tanya main balance bikenya kapan. Kalau sekarang Abang mau main apa?"

Taya cemberut, keinginannya tak dipenuhi mama.

"Main sepeda Mama..."

"Kalau main sepeda kan di depan. Ummm Abang belum sarapan, bantu Mama dulu yuk buat sarapan."

Segala cara akan Baheera lakukan, ini masih terlalu pagi untuk berkeringat. Menjaga bocah gembul bermain sepeda membutuhkan tenaga.

"Ndak maam Mama. Main sepeda." rengeknya.

Masih pagi Nataya. Rasanya Baheera harus diberikan kesabaran yang seluar galaski. Putranya terkadang menguji keimanannya sebagai hamba Allah.

"Nonton Dino train yuk."

Padahal rulesnya nonton sekali saja. Nanti sore Baheera berjanji akan mengajak putranya keluar agar tak merengek screen time.

"Ndak Dino tlain...."

Wah tumben bocah gembul ini tak mau nonton Dino train. Padahal favoritnya.

"Abang, dengarin Mama yah nak. Begini, Abang kan sudah janji sama Ayah main sepedanya nanti. Ayah yang ajarin, tunggu Ayah libur yah nak. Nanti Ayah sedih kalau Abang nggak tunggu Ayah. Terus Ayah nggak bisa lihat Abang jago naiknya."

Bujukan manipulatif begini tak baik sebenarnya. Namun Baheera sering melakukannya.

Hal ini tentu membuat bocah gembul ini dilema. Taya kan anak baik, tidak akan membuat orangtuanya sedih.

Dilema sekali jadi anak kecil.



Nataya and DinoWhere stories live. Discover now