Part 1 : Dendam

467 32 1
                                    

Hamparan ladang hijau yang ditumbuhi bebagai macam sayur-mayur terpampang dihadapanku, hembusan angin yang memudarkan lamunanku. Setelah sekian lama aku pergi ke kota untuk menyembuhkan trauma dalam diriku mengenai desa ini dan kerinduanku akan bapak membuatku kembali lagi menginjakkan kaki di desa kelahiranku, desa Rogojati.

Perkenalkan namaku Candramaya, nama pemberian mendiang kakekku. Aku tinggal disebuah desa kecil yang masih jauh dari kata pembangunan. Desaku dikelilingi hutan yang sangat rimbun  meskipun desa kecil namun desaku terbilang cukup makmur karena profesi warga desa ditempatku tinggal adalah petani jadi kami tidak pernah kekurangan bahan pangan. Uang??? Didesa ini uang merupakan barang langka, warga desa masih banyak yang menggunakan system barter untuk mendapatkan suatu barang.

Rogojati adalah nama desaku, desa yang menjadi tanah kelahiranku dan menjadi tempatku hidup hingga sekarang. Aku anak tunggal, yang dimiliki bapak dan ibukku. Dibalik desaku yang subur dan makmur ada seorang pemimpin yang terkenal akan kekejaman dan kebengisannya. Dia adalah Rogopati.

“Pak, makan dulu pak ini Maya bawain sayur lodeh sama tempe goreng” Teiakku pada lelaki paruh baya yang sedang sibuk diladang. Dia adalah bapakku pak Mahdi. Ladang yang digarap ayahku masih milik keluargaku, bapakku tidak pernah mau menjual ladang peninggalan kakekku kepada Tuan Rogo meski ia berkali-kali memaksa bapak untuk menjualnya.

“Sebentar lagi bapak selesai, kamu siapkan dulu jangan lupa berikan sebagian bekalnya kepada Toha dan bu Rumini”
“Iya pak” Bapak memang selalu memintaku memberikan bekal yang aku kirimkan kepada bu Rumini dan anaknya yang bernama Toha. Bapak bilang meskipun kita tak memiliki banyak setidaknya kita masih bisa berbagi dengan tonggo teparo (tetangga sekitar). Setelah selesai menyiapkan makanan untuk bapak, aku pamit untuk pergi ke lading tempat bu Rumini bekerja.

“Bapak, makanannya sudah Maya siapin segera dimakan ya pak mumpung sayurnya masih hangat. Maya pamit ngantar nasi buat bu Rumini dan Toha dulu” Pamitku pada bapak yang masih sibuk membersihkan ladang
“jalanannya hati-hati, jangan lari” Teriak bapak yang sekedar memperingatkanku.
Ladang tempat bu Rumini hanya berjarak 200 meter dari ladang milik bapak.
“Assalammualaikum”
“Waalaikumsallam, eh Maya ada apa?”
“Ini bu, Maya mau ngantar makan siang buat ibu dan Toha tadi kebetulan ibu masak banyak”
“Ya allah, jadi merepotkan nak Maya. Terimakasih banyak nak”
“Gak repot kok bu, lagipula mubadzir kalua tidak dimakan nanti nasinya menangis”
“Kamu ini bisa saja”

“Ngomong-ngomong dari tadi Maya tidak melihat Toha bu?”
“Ohhh Toha lagi diminta kerja di rumah Tuan Rogo”
“Oh begitu bu, syukurlah” Aku sedikit lega mendengar Toha yang mendapatkan pekerjaan sehingga bisa menambah penghasilan keluarganya. Namun berbeda dengan bu Rumi raut wajahnya terlihat sedih dan hampir menitihkan air mata. Aku jadi menyesal atas pertanyaanku tadi, tak ingin membuat bu Rumi semakin sedih akupun ijin pamit untuk kembali ke ladang bapak.

“Maya, kenapa lama sekali?”
“Loh sayur lodeh sama tempe gorenya kemana pak?” Tanyaku yang keheranan melihat piring-piring yang tadinya penuh sudah bersih tak tersisa.
“Bapak habiskan ya!!!!” Bapak tertawa melihat wajahku yang cemburut karena ulahnya.

“Pak, apa bapak tau kalua Toha bekerja dirumah Tuan Rogo?”
“Oh ya,bapak malah baru tahu. Baguslah kalua begitu jadi ada penghasilan tambahan untuk Toha dan bu Rumi”
“Tapi pak, tadi waktu Maya tanya soal Toha tiba-tiba saja wajah bu Rumi terlihat sedih”
“Mungkin saja bu Rumi belum tega jika anaknya sudah harus bekerja” Benar ucapan bapak mungkin saja bu Rumi merasa jika Toha belum waktunya untuk bekerja.

Aku membereskan peralatan bekas bapak makan dan membawanya kembali kerumah untuk di cuci. Disepanjang perjalanan pulang, aku sempat menyapa beberapa warga yang sedang bekerja di ladang milik Tuan Rogo. Warga di desaku memang ramah-ramah, itulah yang membuatku enggan meninggalkan desa ini meskipun bapak beberapa kali menawarkanku untuk bekerja ikut temannya yang ada dikota. Selain aku sudah nyaman dengan kehidupanku di desa, aku juga tidak tega jika harus meninggalkan bapak dan ibu.

CANDRAMAYA STORYWhere stories live. Discover now