ꦏꦸꦛ​ꦭꦩ​ꦱꦼꦩꦫꦁ

14 9 0
                                    

Wishlist kedua: makan sushi.

Kanta berlagak aneh di depan pintu kamar Mint. Bolak-balik, akan memencet bel atau tidak. Sesekali menggaruk tengkuk. Petugas hotel yang melihat gelagat itu langsung menghampiri. "Maaf, ada keperluan dengannya?"

Kanta mengangguk. "Saya bukan orang jahat. Terimakasih."

Mint keluar kamar, menatap dua orang di depan pintu. "Eh, ada apa?"

"Saya pamit dulu. Maaf telah mengganggu." Petugas hotel itu berlalu, melanjutkan pekerjaan. Meninggalkan dua orang yang dilanda kebingungan. Kanta bingung harus mulai dari mana, dan Mint juga bingung harus berbuat apa?

"Itu—"

"Itu—" mereka bicara serempak. Membuat suasana canggung.

"Itu, aku tiba-tiba lapar. Aku mau mengajakmu makan sushi." Kanta berkata cepat.

"Eh?" Itu salah satu keinginan di buku ring miliknya. Bagaimana mungkin? Untuk memastikan buku itu masih aman di tas, Mint harus mengecek tas. "Aku mau siap-siap dulu."

Mint mundur, menutup pintu cepat-cepat ke tas ransel yang tergantung. Buku itu masih aman di bagian utama tasnya. Tidak ada tanda-tanda telah dibuka. Apa yang aneh?

Mint keluar. Kanta masih berdiri bersandar pada dinding dengan tenang, menatap sebentar. "Gak ada perbedaan." Siap-siap darimana? Gadis itu masih memakai kaus dan celana jeans panjang yang sama.

Nyengir bentar, kemudian berkeliling kota Semarang. Mint sudah menghubungi Lint, tapi dia harus menjaga Ibunya yang kerap mengamuk. "Ibu akan ke rumah sakit, menemui psikiater." Begitu jawabnya. "Kamu pergi saja, kan jarang-jarang liburan. Aku sudah kenyang sama yang namanya jalan-jalan."

Baiklah, Mint jalan kaki, dekat dari hotel tempatnya menginap. Di sekitarnya berdiri gedung-gedung tua berumur ratusan tahun peninggalan Hindia-Belanda. Kanta sibuk memotret satu-persatu gedung itu dengan handphone.

Tempatnya berdiri, berada di Kota Lama (Little Netherland). Sejarahnya dulu dijadikan jalur perdagangan Arab, China, dan Belanda. Beberapa meter berjalan, Mint menemukan tempat kuliner, bermacam-macam, tergantung budget. Resto, cafe, sampai bar.

"Keren banget tempat ini Kanta." Kanta setuju, terus memotret tak peduli kondisi memorinya yang sudah gemuk.

Mint menikmati hari ini. Berkeliling melupakan ambisinya mengembalikan ingatannya. Ke rencana awal, mereka makan sushi di restoran Jepang.

Desain restoran ini kental dengan gaya tradisional Jepangnya. Duduk di kursi dengan meja coklat panjang di depannya, menyaksikan langsung sang Koki menyiapkan pesanan mereka.

"Enak banget, meski rada amis," bisik Mint berharap koki itu tidak mendengar.

"Namanya juga ikan."

"Mana saya tahu, saya kan, ikan."

"Ini pertama kali untukmu?" tanya Kanta sembari mencelupkan sushi itu ke kecap asin.

Mint mengangguk. Pantas saja dia tidak tahu cara makan yang benar. "Teman-temanku saat SMP selalu makan sushi sepulang sekolah-" eh, apa yang dia katakan. Teman SMP? Memangnya dia punya teman?

"Mint, jangan terlalu memaksa dirimu untuk mengingat semua."

"Itu... Aku tidak tahu kenapa." Apa ini, kenapa sepertinya Kanta tahu? Dia tidak pernah bercerita.

Mint tidak ingin memikirkannya untuk hari ini saja.

Mint mendengak menatap gedung bewarna coklat di depannya. Museum Kota Lama. Dekat kakinya, ada jembatan kaca menuju ke sana. Mereka berjalan beriringan, sebagai dua orang sahabat. Yah akan terus seperti itu. Di sisi gedung itu, berdiri tangga besar, Mint orang yang mudah lelah, sampai atas sana, Mint teruduk kelelahan.

"Aku capek," keluhnya sembari minum air. Tak berlangsung lama, Mint kembali bersemangat untuk menjelajahi museum baru itu.

Di dalam museum itu, menghadirkan sejarah kota lama di Semarang pada tahun 1547. Saat didirikan, museum ini menjadi yang pertama kali berteknologi imersif di Indonesia. Seolah kita masuk dunia simulasi antara dunia nyata dan dunia digital.

Di depan sebuah lukisan, potret stasiun Semarang tempo dulu. Kanta bergeming lama, mengamati lekat-lekat. Dibanding yang lainnya, Kanta lebih tertarik dengan lukisan ini. Mint yang tadinya pencet-pencet semua benda di dalam kotak kaca ikut berdiri menatap potret itu. Hening sejenak.

"Maaf Mint."

"Eh, kenapa? Tenang saja kesalahan-kesalahanmu sudah aku maafkan." Mint tertawa, tidak biasa mendengar perkataan maaf dari Kanta. Meski sikapnya suka kekanakan, Mint tidak mempermasalahkan.

"Bukan itu." Kanta menarik napas, memejamkan mata. Mengumpulkan keberanian.

"Maaf aku sudah menyukaimu," ucapnya dalam sekali napas.

Mint terkejut, seakan kakinya tertarik penuh ke pusat bumi, seluruh tubuhnya kaku. "Itu... Aku juga menyukaimu. Kita sudah berteman delapan tahun lebih, bagaimana aku tidak menyukaimu?"

Kanta menggeleng, Mint tidak mengerti maksudnya. Matanya yang tadi pada potret itu, beralih menatap gadis di sebelahnya. "Aku suka kamu bukan sebagai teman. Kurasa aku mencintaimu."

Mint mundur, tidak tahu apa yang bisa dilakukannya agar menghindari Kanta. Dia tidak merasakan hal yang sama seperti Kanta. Sungguh gadis itu tidak mau menyakiti hatinya, apa dia sudah bersalah?

Wajah Kanta memanas, melihat reaksi Mint. "Apa kamu tidak merasakan kalau aku menyayangimu?"

Mint membeku. Ini situasi yang tidak dia suka. "Aku tahu...."

"Sayang yang berbeda." Suara Kanta tercekat di tenggorokan. Ada goresan panjang di hatinya. "Selama lima tahun terakhir, aku sudah memikirkannya. Kurasa aku benar-benar mencintaimu, bukan sebagai sahabat, tapi sebagai seorang gadis. Apa kamu tidak pernah melihatku sebagai pria?"

Mint berlari memeluk Kanta di depan potret itu. Di ruangan ini hanya ada sedikit orang, dan mereka tidak ada yang mempedulikan. Mint menangis, memukul dada Kanta. "Seharusnya kamu tidak perlu merasa hal semacam itu!"

Kanta membeku dengan jantung yang berdebar. "Maaf."

"Kamu harus melupakan aku." Mint berkata serak. "Aku... Tidak mau menyakitimu."

Umur Mint tidak akan bisa terus di samping Kanta.

Potret stasiun itu menjadi saksi bisu, beberapa tahun ke depan, potret itu tetap menjadi saksi.

Revisit Memories (tamat) Where stories live. Discover now