Bab 14 | Hari Pertama Dia Kembali

6 1 0
                                    

Alur, tempat, dan instansi yang disebutkan dalam cerita ini hanya fiksi.

*
*
*

Wajah kusut serta mata sembab terpantul pada cermin di kamar mandi Didi. Sejak tiba di rumah tadi malam Didi belum keluar kamar sama sekali. Bahkan untuk makan. Tidak ada rasa lapar dan keinginan memasukkan sesuatu ke perutnya.

Dia membersihkan diri agar terlihat lebih segar. Walaupun sudah menutupi wajahnya dengan make-up tapi matanya tetap terlihat bengkak.

Hidup tentu harus tetap berjalan. Untuk itulah Didi kembali ke Jakarta. Melanjutkan rencana yang beberapa bulan lalu tertunda. Meski entah apa statusnya sekarang. Dikatakan bersuami namun lelaki itu sudah ditinggalkannya. Dibilang janda pun, Arya belum menceraikannya.

Dulu Didi pernah belajar, jika suami dan istri berpisah selama tiga bulan dan tidak diberikan nafkah maka mereka sudah cerai secara agama. Jadi dia hanya perlu menunggu selama tiga bulan untuk memegang status bercerai. Lagipula pernikahannya belum tercatat di catatan sipil maka tidak perlu repot ke pengadilan.

Didi keluar kamar dengan dress kasual memeluk tubuhnya. Menuju ruang makan untuk sarapan yang agak terlambat. Sudah jam sembilan sekarang. Biasanya sebelum jam lima dia sudah bangun, salat lalu mengurus sarapan Arya.

Ish sial! Kenapa dia harus mengingat itu lagi sih? Didi mengutuk kepalanya yang begitu saja terlintas bayangan Arya yang sedang salat.

"Mbak udah bangun? Sarapan dulu, Mbak." Tegur Aini yang sedang menyusun peralatan memasaknya ke kabinet.

"Mbok ambilin saya susu ya. Di angetin ya." Pinta Didi.

Aini mengernyit. Tidak biasanya nona-nya ini meminta susu saat sarapan. Biasanya Didi minum teh dengan sedikit gula. Susu kemasan memang selalu tersedia di kulkas tapi tidak pernah diminum ketika Didi sarapan.

"Kok tumben, Mbak? Biasanya minum teh."

Didi yang sedang mengoleskan selai coklat pada rotinya menoleh sekilas. "Tiba-tiba kepengen aja, Mbok."

Tak lama susu permintaan Didi sudah siap, diletakkan Aini di samping piringnya. "Makasih, Mbok."

"Mau pergi ya, Mbak? Udah rapi banget pagi-pagi."

"Iya. Mau ke kantornya Arman, bayar utang." Didi terkekeh kecil. Meski matanya bengkak, dia tetap berusaha bersikap seperti biasa. Didi bertekad setelah malam tadi terlewati dia harus menjadi Divya Hardana yang dulu. Tegar dan tidak gampang menangis. Melupakan apapun yang terjadi enam bulan lalu. Anggap saja saat itu Didi sedang tersesat di tempat antah berantah dan kini sudah pulang ke rumahnya yang nyaman.

Selesai dengan sarapan dan memainkan ponsel sebentar Didi beranjak mengambil kunci mobilnya. "Saya berangkat ya, Mbok. Assalamualaikum."

"Waalaikumssalam." Aini menjawab. Terpana karena seingatnya sudah lama sekali sejak Didi terakhir kali mengucap salam sebelum pergi keluar rumah. Kembali dari desa ternyata mengubah beberapa hal pada diri nona-nya itu.

Si Merah, penggilan kesayangan Didi untuk mobilnya. Terparkir di carport. Dia rindu mengendarai mobil ini. Kendaraan yang berhasil dia beli dengan uangnya sendiri. Pelan-pelan menabung sebagian dari gajinya. Uang peninggalan dari orangtuanya juga cukup banyak tapi, Didi tidak mau menggunakan uang itu untuk membeli mobil ini.

Dengan kecepatan sedang Didi mengendarai mobilnya membelah jalanan ibukota. Pemandangan yang terasa lama sekali tidak dia lihat. Gedung bertingkat, perkantoran, hotel, mall, serta orang-orang yang selalu sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Didi memasuki gedung dengan arsitektur modern ini. Perusahaan milik Arman. Bergerak di bidang fashion, memproduksi pakaian pria dan wanita. Bahkan sekarang mulai merambah ke pakaian anak-anak.

Tidak perlu pergi resepsionis, Didi sudah tahu persis di mana letak ruangan sahabatnya. Orang-orang disini pun sudah mengenal Didi karena seringnya Didi berkunjung.

"Akhirnya sang pengelana pulang. Ngapain aja sih lo di sana, Di? Jadi petani lo?" Sembur Arman ketika wajah Didi terlihat dipandangan matanya.

"Kan gara-gara si corona gue nggak bisa balik." Disi melepas maskernya. Menyimpan dalam tas tangan yang dia bawa.

"Eh eh lu abis dari luar, cuci tangan dulu sana. Atau pake hand sinitizer nih."

"Ck! Bawel lo!" Meski mencibir Didi tetap melakukan perintah Arman.

"Lock down cuma empat bulan ya. Lo di sana sampe enam bulan. Virus juga udah nggak banyak yang kena."

"Kalo virus udah reda ngapain lo nyuruh-nyuruh gue pake hand sanitizer?"

"Yah biar lo ngerasain aja gimana rempongnya pas virus lagi heboh kemaren." Wajah tengil Arman membuat Didi ingin melemparnya dengan laptop.

"Sialan!"

"Ngapain lo disana? Nyawah lo?"

"Di sana enak, adem. Gue jadi males pulang deh."

"Kalo adem asik dong buat ena-ena. Boleh juga tuh kapan-kapan gue ke sana."

"Terserah elo deh."

"Ntar gue ke sana sama lo ya."

"Ogah! Pergi aja lo sana sendiri." Enak saja! Dia sudah bersumpah tidak akan kembali ke tempat itu. Dan Arman memintanya menemani, tentu saja dia tidak akan mau.

"Kayaknya asik juga punya pacar orang desa. Jadi dia polos-polos gitu, mau gue apa-apain juga."

Didi mengangkat bahu. Sepertinya gadis desa pun tidak sepolos itu, ada juga yang hamil diluar nikah. Aish! Didi jangan ingat-ingat itu lagi! Otaknya berteriak.

"Eh betewe cafè gimana?"

"Aman. Udah mau selesai. Dua minggu lagi udah bisa buka kayaknya sih."

"Meja-meja sama kursi segala macem udah lo beli?"

Arman mengangguk. "Karyawan juga udah ada. Menu sama supplier udah gue atur. Lo tinggal siap-siap sama tugas lo."

Beberapa berkas yang berhubungan dengan cafè dan tugas Didi, Arman berikan pada wanita itu. "Untung aja lo balik. Kalo sampe sebulan setelah cafè buka lo gak balik-balik gue nyari orang lain buat gantiin elo."

"Kalo lo nyari yang lain, gue acak-acak itu cafè."

"Brutal ya, bund." Arman tau jika Didi cukup berani melakukan apa yang dia katakan itu.

"Gue mau bayar utang, Man. Berapa? Biar gue transfer." Didi mengeluarkan ponselnya. Biaya yang dibayarkan Arman termasuk gaji Aini dan Eko serta dana untuk belanja bulanan.

"Ah lo, kayak sama siapa aja. Lebihin ya kalo bisa." Canda Arman.

"Nggak bisa." Jawab Didi langsung.

To be continued...

Ini dulu ya.

With love,
BabuBohay.

Cukup Hanya DirimuWhere stories live. Discover now