055 - Main ke Bengkel

171 24 8
                                    

Happy reading_

•••

Seberat apapun ujian kita hadapi, jika mau membuka mata pasti ada yang lebih menderita di luar.
—Alayya Nalani

•••


"Mau ke mana?" tanya pak Air melihat Alayya sudah rapi dengan menenteng helm dari kamarnya, dia berjalan ke ruang tamu. "Mau main sama ke bengkelnya Kak Tirta, mungkin siang nanti sudah pulang."

"Ya udah hati-hati di jalan dan jangan ngebut." Pak Air selalu mengingatkan, setelah menyalaminya barulah Alayya memanasi mesin motor sembari bersiap-siap.

Sejak pagi Alayya tidak melihat keberadaan Aegir maupun Johan, kata pak Air keduanya menginap di rumah teman mereka. Namun, Alayya cukup heran bukankah keduanya tidak pernah akur?

Kebetulan hari ini juga hari minggu, banyak orang yang bersepeda ataupun olah raga bahkan tak jarang di sepanjang ruas jalan dia temui orang jogging.

Motor Alayya membelah jalanan ibukota, suara mesin kendaraan saling beradu.

Ketika sampai di bengkel yang ia temui hanya Valdrin dan Nuha yang berada di sana, kata mereka Tirta sedang ada rapat evaluasi dengan anggota OSIS lainnya.

"Nggak usah pulang, Ay. Main di sini dulu kan ada kita," kata Nuha saat Alayya berpamitan. "Euhm ... tapi kalian sibuk, Aya khawatir malah ganggu pekerjaan kalian. Aya cuma ngerepotin entar."

Valdrin menggeleng, sudah beberapa kali ia katakan jika Alayya bukan pengganggu. Tetap saja gadis ini berpikiran seperti itu.

"Bengkel juga masih sepi, lo tenang aja." Valdrin duduk di sebelah Alayya, menunggu bila ada customer yang datang karena selain sepi mereka juga sudah menyelesaikan pekerjaan kemarin. Jadi, sekarang bisa sedikit santai.

"Kok tumben minggu-minggu gini kerja, biasanya libur, 'kan?" Valdrin mengangguk kemudian menoleh ke arah Nuha. "Nih, si bucin yang ngajak gue nyari cuan. Katanya buat ngado mantan gue."

"Mantan?"

Nuha menggeleng kemudian berkata, "Itu pacar gue anjir!"

"Oh, ya gue lupa," katanya diiringi tawa renyah sedang Alayya hanya terkekeh. "Lagian ayang Yola juga pamit main sama temen-temennya."

"Serius? Kok tumben Kak Nuha nggak papa ditinggal sendiri? Atau setiap saat harus ngabarin?" goda Alayya sudah tahu rahasia umum tersebut, sepasang kekasih yang bucinnya sudah tingkat akut. "Nggak lah, Ay. Dia juga punya kehidupan sendiri. Tidak semua hidupnya tentang gue. Dia punya teman dan keluarga, wajar jika ingin menghabiskan waktu bersama mereka."

Sontak Valdrin menempelkan telapak tangan ke dahi Nuha, bisa-bisanya sadar. "Lo habis ruqyah di mana? Mustajab banget!"

"Heh setan sultan, untung gue masih ingat kalau lo temen gue!" kesalnya mengembuskan napas. "Lha emang lo pikun? Atau kalau lupa siapa gue lo bakal jadi mermaid gitu?""

"Astaga, Valdrin Sagara! Bisa-bisa gue kutuk lo jadi ikan asin," ceplos Nuha membuat Alayya tertawa. "Eh, jangan entar kalau nggak sengaja ketangkap terus Aya makan gimana? Masak Aya makan kakak Aya sendiri."

"Nggak waras kalian!" umpat Nuha beranjak dari tempat duduk yang berasal dari bambu tersebut, dia mengambil bola sebelum kembali. "Basketan kuy!"

Alayya mengangguk, senang bukan main, tapi saat ingat sesuatu dia menekuk wajah. "Aya nggak bisa main basket!"

"Lha, ngapain lo sedih. Orang di sini ada kapten basket tenang ae elah. Pasti gue ajarin," sahut Nuha bersemangat.

Di depan bengkel ada halaman yang luas, di sana biasanya digunakan parkir oleh kendaraan dan di salah satu pohon ada ring bola basket, baru dipasang beberapa hari yang lalu sesuai permintaan Nuha. Katanya saat gabut nggak ada customer dia bisa tetap mengasah bakatnya.

RECAKA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang