15: Jembatan Utara Kota Adalah Tempat Tinggal Jiwa yang Lelah

53 19 0
                                    

6 Scenes

•••

Decit ban mobil yang mengerem mendadak nyaris membuat Yasmin terantuk pada kemudi. Pikirannya kacau hingga wanita itu tak begitu mampu memfokuskan pandang pada jalan yang cukup ramai. Beberapa pengemudi di belakang bahkan memaki dan meneriaki kecerobohannya di tengah jalan. Kecelakaan pun hampir terjadi dan Yasmin tak sadar sama sekali.

Alih-alih turun dan meminta maaf atas kekacauan yang diperbuat, wanita itu memelesat begitu saja sebelum seorang pengemudi datang untuk melayangkan seluruh amarah. Persetan! Yasmin butuh ketenangan atas kepalanya yang mendadak pening di suasana ricuh yang ia timbulkan.

Jembatan utara kota menjadi tujuan akhir ketika segala sudut kota mendadak membuatnya muram. Tempatnya berkeluh kesah ketika segala hal tak kunjung membaik. Semenjak kejadian beberapa tahun yang lalu, tak ada lagi yang menjadikan tempat ini sebagai tempat menikmati semilir angin sore. Atau bahkan untuk mendengar riak tenang sungai dalam di bawahnya. Rumor santer yang membawa berita mistis sana-sini merebak layaknya bakteri ganas di antara masyarakat. Mereka menyebut tempat itu sebagai tempat terkutuk.

Yasmin turun dari mobil, pelan ia berjalan. Angin berembus mengacaukan beberapa helai rambut yang mencuat di beberapa sisi.

"Mengapa semuanya masih belum membaik? Apa aku harus menyusulmu, Sayang?"

Akibat lama tak terawat, beberapa bagian cat pada pembatas jembatan mengelupas. Tak lupa pula dengan beberapa karat yang mulai mengeluarkan bau khasnya. Tempat ini benar-benar telah terabaikan. Kasar dan berdebu ketika wanita paruh baya itu menelusuri jejak momen yang telah mengabur. Tenggelam dalam dingin yang hampa.

"Mengapa kau melakukannya? Apa aku terlalu buruk hingga kau tak mau membagi masalahmu? Ah, ya. Ini memang salahku."

Yasmin menahan isak yang nyaris meluruhkan pundak. Wanita itu berusaha tegar dengan tetap berdiri di tepi jembatan tanpa jatuh. Tanpa tangisan sesal lagi. Namun, perasaan sesal, marah, dan sedih yang membumbung tak mampu menahan usahanya lebih lama. Yasmin akhirnya luruh, jatuh terduduk diiringi air mata yang mengalir deras.

"Maafkan aku. Ibu tak berniat menyakiti siapa pun. Ibu hanya tak ingin kehilanganmu."

Yasmin bangkit kembali hanya untuk memenuhi hasrat yang mulai bertindak di luar wajar. Ia tak tahu apakah ini benar atau tidak, yang jelas, wanita itu ingin mengakhiri semuanya.

"Maafkan ibu, Luna."

Sesaat sebelum tindakan gilanya benar-benar terealisasikan, mendadak terdengar teriakan seseorang, disusul tapak lari ke arah wanita itu. Yasmin menulikan telinga dan tak ingin jika orang tersebut menggagalkan niat awalnya yang ingin bunuh diri. Dirinya harus lebih cepat jika tak ingin tersusul.

"Kau tak akan marah pada ibu, 'kan, Lun?"

"Apa yang Anda lakukan, Bu?"

Yasmin diam. Siapa pun di sana, ia hanya abai. Tak marah, ataupun kesal. Wanita itu sekadar diam dengan tatapan lurus yang hampa. Seakan jiwanya telah menghilang dari raga. Ia kepalang kusut dan masalah yang dihadapi seakan tak memiliki titik temu.

Bahkan ketika pemuda di sampingnya mengguncang pundak wanita itu, Yasmin tetap diam. Pasrah akan bagaimana sosok barusan menuntunnya turun dari pagar pembatas.

"Mengapa? Mengapa harus putriku? Mengapa bukan bajingan itu saja yang mati?!"

Sementara Yasmin sibuk akan ucapannya sendiri, Joshua diam. Menatap lurus langkahnya menuju kursi hitam berkarat di depan sana.

Pemuda itu ke sini hanya ingin melepas penat. Tak pernah membayangkan bahwa kejadian semacam ini akan dilihatnya kembali. Terlebih kejadian sinting barusan nyaris mengantarkannya pada rasa bersalah yang selalu ingin ia lenyapkan sedalam mungkin. Namun, mengabaikan perasaan itu, Joshua penasaran akan kalimat yang Yasmin ucap barusan. Putrinya ... apakah yang wanita itu maksud adalah Luna? Luna telah mati? Sejak kapan? Bukankah gadis yang dilihatnya beberapa waktu silam masih sehat dan bekerja di sebuah kedai? Joshua tak mengerti dan tak menemukan kesimpulan berarti ketika asumsi liar mulai terbayang secara acak.

𝐄𝐒𝐊𝐀𝐏𝐈𝐒𝐌𝐄 [𝐀𝐅𝐓𝐄𝐑 𝐀𝐋𝐋: 𝐀𝐍𝐎𝐌𝐈]Where stories live. Discover now