Beristirahat : 21

11 1 10
                                    

Cantik dan pucat adalah kesan sempurna untuk Ayyami. Mata sembab dan suara serak itu menjadi ciri khas kembali gadis ini. Hingga satu jemarinya meraih makanan yang disodorkan kepada dirinya, tanpa memandang.

Ia memandang, kepada makanan di hadapannya. Sepasang roti cokelat sangat mirip dengan yang pernah ia dapatkan, bersama Sanja.

Ayyami hanya menundukkan wajahnya kembali. Tetes demi tetes kembali membasahi pipinya, meski hatinya sudah tak terlalu pedih, tetap saja. Luka itu masih ada dan akan selalu terasa olehnya.

Di sini, ia hanya bisa mendoakan keadaan Sanja. Dari jauh dengan kembali terisak, Ayyami kembali melarikan diri. Entah untuk kembali terpuruk atau mencoba memperbaiki.

***

Sudah terhitung hampir seminggu lebih Sanja tak sadarkan diri. Balyna juga Asya masih setia menemani dirinya. Begitu pun ketiga temannya yang hampir tiap hari pasti menjenguk Sanja. Berharap ia dapat membuka netranya kembali.

Meski yang ada hanya kembali memanjatkan do'a.

Langit temaram menemani Bandung dan isinya dan Erza kini tengah berada di sisi Sanja. Sebelumnya, Balyna meminta Erza untuk menemani Sanja sebentar agar dirinya bisa membawa Asya mengganti pakaiannya.

Sekarang kini Erza hanya sendirian di sini. Sembari masih memandang lurus wajah banyak goresan luka di sana. Ada perasaan tak terima sekaligus khawatir yang ia rasakan.

"San, lo kok gini, sih? Kenapa harus lo?"

"Bangun, San. Ini perintah, bukan permintaan." Erza menunduk sembari memiringkan wajahnya, ia menahan buliran itu menetes. Ia tak bisa, meski hatinya pun ikut hancur. Salah satu teman seperjuangannya harus merasakan hal begitu keji.

Erza mengetahui semuanya. Sedari dulu, Erza tahu bagaimana Sanja. Sebab yang pertama mengajari Sanja bagaimana cara menarik orang-orang untuk mendekat kepadanya adalah Erza. Laki-laki ini yang membawa Sanja untuk tak sendirian, kembali.

Ia mengusap kasar wajahnya lalu membuka kedua netranya. Pergerakannya seketika terhenti, ia menatap kepada jemari Sanja yang sedikitnya ia rasa ada pergerakan. Beralih kepada wajahnya, perlahan kedua netra Sanja terbuka, betapa terkejutnya Erza hingga tak sadar ia mengguncang pelan tubuhnya.

Di rasa memang benar apa yang ia lihat, Erza pun berteriak memanggil siapa pun yang ada di luar sana, hingga beberapa orang penting mendatangi dirinya juga Sanja yang segera di periksa.

Saat beberapa perawat masuk dan sang dokter menyusul akan memeriksa keadaan Sanja. Laki-laki ini hanya membuka sebentar netranya, lalu tertutup perlahan sembari tetesan air matanya sedikit membasahi pipi.

***

Lemas dan pucat adalah kesan sempurna untuk Sanja. Sudah beberapa hari Sanja tersadarkan, kini ia tengah mendudukan diri sembari menatap keluar jendela dengan langit tak terlalu cerah.

Setelah kabar Sanja sadar, tentu semua yang menjadi bagian di hidupnya ikut merasakan bahagia. Meski ia belum menceritakan apa yang terjadi dan hanya mendengar jawaban dari pejalan kaki yang membantu dirinya.

Bagaimana ia akan mencerikan, jika yang kini ada di pikirannya hanya wajah dan tangisan gadis yang selalu ada di pikirannya. Ia ingat.

Sanja mengingat kejadian itu sangat jelas, bahkan dengan Ayyami yang memandang kepada dirinya yang tak berusaha beranjak.

Rintik hujan kembali membanjiri dinginnya malam Bandung. Sanja masih dengan pandangannya kepada langit gelap hingga tangisan yang ia tahan akhirnya tercurahkan saat itu.

Bukankah saat itu, memang dirinya yang berpikir untuk pasrah akan yang terjadi padanya. Mengapa kini dirinya merasakan sesal, setelah hanya tak melawan di hadapan Ayyami.

Rasanya sesak. Meski wajah dan sekujur tubuhnya baru saja mengalami sakit yang tak terkira, tetap saja. Tak ada yang bisa menandingi pedihnya luka di hatinya.

Tentang dirinya yang menyadari perasaannya, kenyataan yang membuat dirinya babak belur seperti ini, dan Ayyami yang tak datang.

Seharusnya, jika memang Sanja memiliki tempat di hati Ayyami, seharusnya. Ia ada, di sini. Sekarang? Tak ada.

Wangi ciri khasnya saja tak tercium, apalagi sosoknya. Sanja benar-benar tak tahu. Beberapa waktu lalu, ia diberikan kabar bahwa Ayyami tak menampakkan dirinya di kampus juga sanggar, tempat yang bisa ia kunjungi.

Sebab tak ada yang terlalu dekat dengan gadis itu, bahkan satu-satunya perempuan yang sering terlihat bersama dengan Ayyami sudah sering mengontak dirinya, tetap tak ada jawaban.

Sanja memandang seisi ruangan yang sudah hampir seminggu lebih ia tempati. Di sisinya, ada lemari kecil yang di atasnya tersimpan beberapa makanan yang sudah disiapkan oleh sang Ibunda.

Hingga tatapannya menangkap sebuah liontin tak asing. Ia gerakan jemarinya untuk meraih apa yang tak asing itu. Sebuah liontin keemasan dengan hiasan lain berbentuk senyuman, ia mencoba membawa memorinya menjelajahi apa yang bisa ia ingat dari liontin tersebut.

Sampai kejadian saat dirinya sedang dilarikan ke rumah sakit, ia melihat gadis itu. Iya, Sanja mengingat Ayyami menangis terjerit di hadapannya.

Saat itu, Ayyami memang yang berada di samping Sanja masih dapat melihat laki-laki itu sedang menahan untuk terus sadarkan diri. Lengannya mencoba menggapai wajah pedih gadis tersebut yang disambut dengan genggaman oleh Ayyami. Gadis itu masih terisak melihat Sanja yang tak berdaya di hadapannya.

Hingga saat dirinya sudah tak tahan dengan tubuhnya, genggamannya semakin lemah sampai jemarinya terlepas dari pipi gadis tersebut. Liontin itu sempat tergantung bebas di leher Ayyami, sehingga saat jemari Sanja lepas liontin itu pun tak sengaja ikut terlepas dari sang pemiliknya.

Memorinya memutar kejadian pedih hingga membuat pikirannya kembali kacau. Detakan jantungnya semakin berdetak tak karuan. Ia tak menyangka, hal seperti ini akan terjadi pada dirinya. Membuat dirinya menjadi sosok paling terluka.

Isakannya masih terdengar meski tak tersuarakan kencang.

Di sini, tak ada yang salah dan tak ada yang bisa disalahkan. Benar bukan, semuanya harus berjalan dengan seadanya dan semestinya.

Untuk perasaan yang terasa kembali, hati yang mencoba terbuka, hingga luka baru yang menjadi kisah terakhir mereka adalah perjalanan yang semestinya harus mereka lalui.

Tbc!

Huftt.

Benar, jangan terlalu berharap, ya?

Be With Someone [ ✓ ] Where stories live. Discover now