📎E N A M B E L AS

6 1 0
                                    

Jam di dinding mendesak Haruki untuk memerosotkan kelopak matanya dengan segera. Seperi yang dilakukan ibunya, tepatnya yang coba diperankan ibunya. Ya, tentu wanita renta itu sama tidak bisa tidurnya dengan Haruki, namun agar tidak semakin membuat seseorang khawatir, ia berpura-pura memasukkn dirinya ke kasur gulung. Berpose tidur meski matanya msih menyala sama terangnya dengan lempu ruang tengah.

Haruki disana menekan-nekan tombol TV. Hanya ada kemeresak dari saluran yang tidak jelas. Lelaki itu membiarkan tangannya berhenti di saluran sepak bola. Tanpa minat, ia memperhatikan layar TV dengan melamun. Pikirannya membumbung pada pesan yang coba ditinggalkan Yuu di telepon. Anak itu bersama seorang gadis! Terdengar dari suara yang menyela di tengah-tengah Yuu meninggalkan pesan. Dan itu berhasil mengganggu seisi rumah.

Sejak kapan anak itu dekat dengan seorang gadis? Setahu Haruki, Yuu adalah anak yang pendiam dan jarang punya teman. Anak itu lebih suka menutup diri. Tapi mengapa sekarang ada seorang teman perempuan di hidupnya?

Haruki sudah tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia memeriksa kamar Yuu yang biasanya selalu terkunci dari dalam. elaki itu sempat memuji bagaimana anak itu memperhatikan betul kebersihan kamarnya. Berbeda sekali dengan anak lelaki sebayanya.

Foto berpigura kecil menjadi perhatian Haruki untuk yang kedua. Bingkai yang tertanam di tembok atas meja belajar itu terlalu menampilkan foto yang terlalu mungil. Foto seorang gadis berseragam SMA, dan ia sangat mengenalinya. Karena memang foto itu diambil bersamanya. Tapi bagian Haruki telah digunting oleh seseorang. Kemungkinan besar Yuu.

"Kamu mencoba menghukumku, Sakura?" Lelaki itu mulai bermonolog. Bibirnya ia tarik ke belakang untuk mnahan beberapa perih yang mendesak muncul, "kamu tahu aku tidak pernah mencintaimu."

Lelaki itu menyentuh potret seorang gadis di sana, "Aku menyanyangimu sebagai sahabat, dan itu lebih besar dari cintaku terhadap gadis mana pun. Tapi.. kenapa kamu melakukan ini padaku? Atas dasar apa kamu berpikir aku sanggup, hah?"

Haruki jatuh terduduk ke kursi. Membenamkan wajah pada tangannya yang telah terlipat di atas meja. "Maafkan aku, Sakura. Aku sangat sulit menerima semua ini. Tapi aku berjanji akan berusaha. Jadi apapun dia, dia tidak boleh jadi sepertiku. Dia harus seperti ibunya, seorang yang berhati lembut, tegar, dan berhati baja. Ya, dia harus seperti itu."

Tidak mau membuang kata lagi, Haruki beranjak keluar dari ruangan itu. Menutup pintu dengan kasar. Kelenjar air matanya sudah mengering sejak lama. Dia lelaki. Ada orang-orang yang harus ia lindungi. Dan itu tidak membutuhkan air mata setetes pun.

***

Kiku tersentak pelan. Dia sudah nyaris masuk alam mimpi, namun kini ia tarik ujung-ujung matanya untuk terbuka lebar. Gadis itu menguap pelan, masih dalam posisi miring dengan takupan tangannya menjadi bantal.

Beberapa detik kemudian, ia baru sadar wajah Yuu berada sangat dengat dengannya. Wajah yang terpejam dengan begitu tenangnya. Kiku tersenyum. Memperhatikan garis dari hidung mancung Yuu, lantas beranjak ke mata yang tampak lebih indah ketika mengatup. Membuat gadis itu penasaran untuk menyentuh bulu-bulu mata di sana. Gadis itu geli sendiri.

"Hei Yu.." lirih Kiku yang sebenarnya tidak mau mengganggu. "Kamu lucu banget kalau lagi tidur." Ya, gadis itu hanya menemukan kata 'lucu' untuk menggambarkan perasaan aneh yang mengganggu dada hingga perutnya. Terbersit sedikit penasaran, adakah orang yang tertarik dengan tidurnya setertarik ia pada tidur Yuu sekarang?

Kiku lagi-lagi tersenyum ringan. "Selamat tidur, Yuu."

~ ☆ ~

Entakan kaki mengetuk-ngetuk aspal yang mulai dibasahi gerimis. Langkah gadis berjubah hitam berubah memanjang saat hujan turun dengan lebih deras. Ia akhirnya berteduh ke dalam sebuah toko pernak-pernik.

"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" sambut penjaga toko di belakang kasir.

"Ah, saya ingin melihat-lihat dulu." Sahut gadis itu dengan membersihkan sisa-sisa air dari jubahnya. Ia bergerak seolah memperhatikan cincin batu giok yang di dalamnya ada bentuk bunga warna merah muda. Lalu beralih ke kalung berbandul mutiara, juga pita rambut.

"Kamu nggak bisa lari, Tidur!"

Tubuh gadis itu reflek berbalik, menghadiahi pelototan dan dengusan penuh amarah. Kkinya cekatan mengambil seribu langkah untuk segera keluar dari toko. Bulir-bulir basah sudah tidak lagi mengganggunya. Tidak, selama ada makhluk yang lebih mengganggu dari hal mana pun yang pernah ia temui.

"Sampai kapan kamu bakal lari?!" suara itu mengambang, sebagian tertelan hujan.

Putri Tidur menoleh memperhatikan lelaki yang berjalan membuntutinya. Rambut lelaki itu basah kuyup saat menerobos tirai-tirai air yang semakin banyak. Langkah kakinya lebih cepat dua kali lipat, membuat Putri Tidur khawatir anak itu bisa mencekal tangannya dan tidak membiarkannya lari.

"Terbang," desis Putri Tidur penuh energi, "Terbang!" Biasanya tidak akan sesulit ini. Kabar buruknya adalah pikirannya terlalu kacau sehingga ia tidak bisa mengendalikan mimpinya sendiri. Kini ia hanya bisa lari. Ya, lari secepat yang ia bisa.

"Kamu nggak bisa gini terus, Tidur!" Terlambat, lelaki itu berhasil menangkap tubuhnya. Lengannya terkunci oleh telapak yang lebih besar dan kuat. "Kamu nggak seharusnya membangun itu! Kamu membohongi dirimu sendiri sekian lama."

"Kenapa? Ini hidupku. Aku melakukan hal yang aku sukai. Apa itu salah?"

"Salah, karena semua itu nggak nyata. Kamu menjebak dirimu sendiri, Tidur!"

"Dan lihat, memangnya kamu sendiri nyata? Kenapa menasihatiku untuk menjauhi hal-hal yang nggak nyata?"

"Memang. Memang aku nggak nyata." Pangeran Daruma melonggarkan tangannya, "Kamu bisa menghancurkanku kapan pun kamu mau. Tapi aku perduli padamu, Tidur. Dan yang kamu lakukan itu benar-benar salah!"

"Cukup! Cukup!" Putri Tidur menghempaskan tangannya ke bawah. Membelah udara yang kemudian membawanya naik. Membumbung sampai ia merasakan awan-awan basah menyentuh wajahnya. Ia ingin pergi. Pergi jauh dari lelaki cerewet yang selalu mengganggu hidupnya. Tapi ia sadar, lari terus-terusan memang melelahkan. Mungkin, ia harus mengambil langkah yang lebih ekstrim. Menghancurkannya mungkin? Ya, bukannya itu yang dikatan oleh lekaki itu? Jadi ia tidak perlu merasa bersalah karena menghancurkan seseorang yang tidak nyata. Tapi, sanggupkah ia?

***

Story of MIURA KIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang