49. The Fairy Tale

460 130 18
                                    

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••

Aku hampir terkena serangan jantung begitu melihat sosok Anya berdiri dengan bersedekap tangan di depan pintu kolam renang. Sancaka yang berjalan di belakangku sampai menabrak punggungku karena aku berhenti tiba-tiba. Aku menatapnya waspada. Sudah berapa lama dia ada di sana? Apakah dia melihat semua yang aku lakukan di kolam?

"Oooh ... bagus ya, bagus!"  serunya kesal. "Gue sibuk khawatir, ternyata lo nya bahagia-bahagia aja ya main ciprat-cipratan sama pacar baru lo!"

"Ay, gue—"

"LO DIEM!" bentaknya. Tangannya terangkat menunjuk hidungku dengan cara yang persis sama ketika aku menunjuk hidungnya saat mengamuk di koridor siang tadi. Aku mengerjap terkejut. Tangannya kemudian berpindah menunjuk wajah Sancaka. Sancaka ikut terkejut. "Lo! Gue belum restuin lo, ya!"

Dengan seenak jidatnya cewek itu menarikku menjauh dari pacarku. Lalu aku dibawanya pergi. Aku menoleh ke Sancaka. Mengisyaratkannya bahwa aku akan menemuinya lagi nanti. Ia membentuk bulatan dengan jarinya seraya berbisik pelan.

"Oke."

Anya berhenti ketika kami berada di salah satu ujung koridor yang cukup sepi. Hanya ada sebuah vas bunga nangkring di sudut dan jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota Bali malam hari. Gadis itu berbalik, lalu tanpa diduga-duga tangannya yang kasar itu melayang mencumbu pipiku dengan tidak berperasaannya. Aku membelalak selebar-lebarnya. Menatap tak percaya seraya mengusap pipiku yang berdenyut perih.

"Ay ...," panggilku dengan rasa tersakiti. Baik hati maupun pipi.

"Itu untuk tingkah semena-mena lo deal-deal-an  sama kepsek untuk ngebuat gue nggak jadi murid terbaik," ketusnya. Aku baru akan menghujaninya dengan omelan tak terima saat anak itu justru tiba-tiba memelukku. "Dan ini untuk berterimakasih karena lo udah sok heroik mau ngelindungin gue meskipun caranya nyebelin."

Seluruh omelanku kembali kutelan. Kalau sudah begini, mana bisa aku marah-marah lagi. Akupun sudah tak sanggup bertengkar dengannya. Aku balas memeluknya.

"Gue kangen banget sama lo, Ay."

"Gue juga kangen sama lo," balasnya.

Pelukan itu terurai setelah cukup lama. Kami memilih untuk berdiam diri sejenak di sana. Menikmati kelip lampu kota.

"Jadi, gimana rasanya jadi murid terbaik?" tanyanya. Matanya menilik jauh ke langit.

"Nggak enak," jawabku. "Harus dandan menor buat nyamar jadi ibu-ibu, harus pakai sepatu hak tinggi. Tahu gini gue biarin lo jadi murid terbaik. Biar lo yang repot, gue santai-santai di Bawah Tanah."

Ia terkekeh mendengar jawabanku. "Berat, ya? Tapi bayangin nggak sih ketika perjuangan kita akan terbayar lunas ketika semua ini berakhir nanti? Anak-anak itu jadi nggak perlu takut lagi sama Dandelion yang bakal nyulik mereka."

Senyumku hilang mendengar penuturannya. Tiba-tiba aku merasakan suatu hal yang begitu familier. Seakan-akan ada memori lama yang terlupakan olehku, dan Anya baru saja hampir membangkitkannya kembali. "Dandelion?"

Bawah Tanah: The Rumor Comes TrueWhere stories live. Discover now