20. Conflict in Punishment

942 234 71
                                    

Bawah Tanah:
The Rumor Comes True

A novel by Zivia Zee

•••


Aku tidak pernah punya kecenderungan untuk terobsesi dengan siapapun dan apapun. Kecuali candu yang kurasakan dari kenikmatan hakiki dari rebahan bersama secangkir teh hijau, selimut dan juga film-film lawas Thailand. Tapi melihat Anya berbicara entah apa dengan musuh baruku membuatku berdebar-debar.

Ada urusan apa Velidsa dengan Anya. Atau Anya dengan Velidsa? Apa yang mereka bicarakan tanpa aku? Apa yang mereka rencanakan? Apa yang mereka lakukan berdua dan serentetan pertanyaan lain yang tiba-tiba datang membanjiri.

Aku ingin tahu. Aku ingin tahu dan aku tidak tahu kenapa aku begitu ingin tahu.

Mungkin, itu karena ketika Anya akhirnya menyadariku dan segera berpaling dari cewek sialan itu. Sementara Anya datang padaku dengan senyum tanpa beban, di belakang punggungnya, aku melihat Velidsa melirikku dan menyeringai aneh. Seolah-olah ia merencanakan sesuatu yang buruk.

Aku takut.

"Hai," sapanya ringan, "nggak ke kesiswaan?"

"Ini mau kesana, kok," ujar ku pelan. "Oh, ya. Lo kenapa tiba-tiba ngilang tadi? Gue nyariin dari tadi."

"Ya, Lo tiba-tiba sibuk sama temen lo yang tadi. Pas gue mau susulin, eh, si cewek yang kemarin berantem sama lo manggil."

Aku mengangguk, "dia ngomong apa sama lo?"

"Nggak tahu. Nggak jelas orangnya."

Tanpa penjelasan apa-apa lagi, dia menggiringku untuk berjalan. Kemudian kami berpisah di depan ruang kesiswaan. Aku lupa alasanku menemuinya jadi kubiarkan dia pergi. Anya meninggalkan ku. Punggungnya yang kian jauh membuatku dilema.

Velidsa sialan itu mau apa, sih?

...

Kami berempat dibawa oleh Pak Frans keluar gerbang. Mengarungi hutan Bogor bagian dalam hingga sampai pada sebuah bukaan dekat aliran sungai. Pohon-pohon Pinus tinggi menjulang di sekeliling kami. Gemericik aliran air berselang-seling dengan tonggeret dan jangkrik meramaikan hutan.

Kami sampai di sini tepat jam tiga setelah mengarungi perjalanan selama tiga puluh menit. Selama itu juga Velidsa si anak manja itu mengeluhkan banyak hal tentang keringat, perawatan yang sia-sia, kudis di kaki dan sebagainya. Tempat ini terletak lumayan jauh dari komplek pendidikan Bawah Tanah dan meskipun aku tidak bilang apa-apa, sebenarnya kakiku gempor bukan main.

Aku tidak tahu kenapa Pak Frans membawa kami kesini, pun hukuman macam apa yang akan dia berikan di tengah hutan. Tapi melihat Kak Selena dan Kak Cempaka masih tampak segar bugar setelah bermil-mil jalan kaki, aku menduga mungkin sistem hukuman Bawah Tanah yang sebenarnya adalah begini. Mungkin aku akan diasingkan di hutan selama tiga hari dan disuruh bertahan hidup sendiri.

"Baiklah, semuanya berkumpul!"

Kami segera mengelilingi Pak Frans. Pria berkulit eksotis itu menggenggam empat buah ikat kepala dengan dua warna berbeda. Kami disuruh memilih. Aku memilih warna putih, Velidsa merah, Kak Selena Merah dan Kak Cempaka putih. Kemudian kami disuruh mengikatkannya ke kepala. Aku menyingkap poniku sebelum mengikatkannya dan membiarkan helaian rambut kecoklatan menutupi dahiku yang terbalut kain putih.

Setelahnya, kami disuruh berkumpul sesuai warna ikat kepala. Aku dengan Kak Cempaka, sementara Velidsa dengan Kak Selena.

"Ikat kepala menunjukkan identitas kalian. Tim merah dan tim putih. Kalian harus bekerjasama sebagai anggota tim untuk menyelesaikan hukuman. Mekanismenya sederhana, ikuti aliran sungai, cari petunjuk disekitar, temukan sebuah bola warna hitam dan bawa kembali ke akademi. Tim yang menang akan diperbolehkan mengikuti kelas."

Bawah Tanah: The Rumor Comes TrueOnde as histórias ganham vida. Descobre agora