Chapter 0.9 | Rencana

88 9 0
                                    

"Semakin tertarik mendekati, semakin sakit melihat dia tersiksa,"

💅💅💅

Seorang perempuan dengan kaca mata yang melekat di matanya dengan fokus membaca novel yang dia baca sedari tadi.

Terbesit kejadian yang baru saja terjadi saat di sekolah, pertama kalinya seorang Zalfa menemukan seorang laki-laki yang sangat tidak perduli padanya.

Padahal, Zalfa sudah dengan suka rela mau menolong laki-laki itu. Mungkin dia harus lebih bisa mengambil hatinya, dia tidak akan menyerah untuk mendekatinya.

Semakin laki-laki itu menjauhinya, semakin besar tegad Zalfa untuk mendekati laki-laki tersebut.

"Zalfa," panggil seorang wanita paruh baya dari balik pintu kamar Zalfa.

"Iya, Ma. Kenapa?" tanya Zalfa.

Perempuan itu berjalan menuju pintu dan membukakan pintu untuk mamanya.

"Kamu udah mandi?" tanya Abila, mamanya.

"Udah, kenapa?"

"Makan malam dulu yuk," ajak Abila ke anak semata wayangnya.

Zalfa menganggukan kepalanya dan mengikuti Abila ke ruang makan. Disana, sudah ada Agam, papa Zalfa yang sedang membaca koran harian.

"Malam, Pa." Sapa Zalfa.

Agam menoleh dan tersenyum ke arah Zalfa. "Malah sayang," jawab Agam.

Setelah semua makanan siap di atas meja, semua mulai makan dengan tenang. Hanya suara dentingan sendok garpu dan piring, semua menyelesaikan makan mereka dengan segera dan melakukan aktifitas masing-masing.

Saat Zalfa akan kembali ke kamarnya, Agam, papanya tiba-tiba memanggilnya.

"Zalfa," panggil Agam.

"Ya?" Zalfa menghentikan langkahnya dan berjalam kearah Agam, papanya.

"Gimana sekolah kamu?" tanya Agam.

"Baik-baik aja," jawab Zalfa.

"Yakin?"

"Iya ... kenapa emangnya? Papa ada denger hal buruk tentang aku?" tanya Zalfa.

"Dezka, papa denger dari dia kalau kamu dekat dengan seorang laki-laki buta. Benar?" Zalfa membulatkan matanya ketika mendengar papanya mengatakan hal tersebut.

Zalfa hanya diam dan menundukkan kepalanya. "Ternyata benar, Zalfa ... jangan menunduk seperti itu. Ayo, tatap papa," pinta Agam.

Zalfa mendongakkan kepalanya dan menatap Agam, "Sini, duduk di samping papa," Agam menepuk tempat kosong di sampingnya.

Zalfa pindah duduk di samping papanya. "Papa marah sama Zalfa?" tanya Zalfa.

Agam tertawa kecil,"Mana bisa papa marah dengan anak kesayangan papa, hm." Zalfa memeluk Agam dengan erat.

"Jadi benar kamu dekat dengan laki-laki itu?" tanya Agam.

"Aku hanya baru mengenalnya, aku tidak tega melihatnya. Aku juga senang dengannya karena menurutku dia adalah laki-laki kuat. Dia gak takut punya kekurangan yang dibenci banyak orang. Dia selalu terkena bullyan Dezka Pa," adu Zalfa.

"Ah ... begitu rupanya. Kenapa kamu yakin jika Dezka yang nelakukannya?" tanya Agam.

"Karena aku pernah berusaha menyelamatkan dia dari bullyan Dezka! Eh." Zalfa langsung menutup mulutnya saat mengatakan hal tersebut.

Agam yang mendengarnya hanya tertawa melihat kelakuan anak perempuannya. Wajah Zalfa semakin memerah saat mendengar tawa dari papanya.

"Zalfa ... dengerin papa ya," Agam merapatkan duduknya pada sang putrinya dan mengelus rambut panjang milik Zalfa.

"Papa gak akan melarang kamu untuk mendekati siapapun, itu adalah hak kamu sendiri. Tapi ingat, pilih-pilih juga siapa yang kamu dekati jangan hanya asal mendekati. Papa takut kamu mendapatkan hal yang tidak baik untukmu. Jadi, papa gak akan larang kamu dekat siapa aja." ceramah Agam.

"Iya, Pa." jawab Zalfa menganggukan kepalanya.

"Ya udah, kamu balik gih ke kamar." Zalfa pun langsung beranjak dari posisinya dan berjalan menuju kamarnya.

Tiba-tiba di tengah langkahnya. "Kalau mau, ajak main ke rumah ya Zal," ujar Agam menggoda anak perempuannya.

Mendengar ucapan Agam, Zalfa semakin mempercepat langkahnya dengan wajah yang semakin memerah. Agam yang melihatnya hanya menggelengkan kepalanya.

"Jangan di goda terus sayang ... hobby banget sih," ujar Abila menghampiri suaminya.

***
Kembali ke Dezka dkk, kini mereka sedang berkumpul di sebuah café. Sengaja hanya untuk nongkrong atau membicarakan suatu hal.

"Dez," panggil Angga.

"Hm?" gumam Dezka menoleh ke arah Angga sambil menyesap vape yang sedari tadi ia gunakan.

"Gimana soal si buta?" tanya Angga.

"Si buta, si buta, si buta. Argh!! Capek gue berurusan sama dia, kalau lo berdua mau ngelanjutin pembullyan tuh anak terserah. Gue gak mau ikut lagi dan berbuat hal yang gak jelas kayak gini," ujar Jarda yang merasa muak dengan apa yang di lakukan oleh sahabatnya.

"APA MAKSUD LO HA!? LO—" ucapan Angga terpotong oleh ucapan Dezka.

"Oke, kalau itu mau lo. Gue gak akan maksa lo buat ikut, tapi ... jangan pernah cari gue untuk hal apapun itu. Gue tau lo orangnya cuek, gak banyak bicara dan langsung melakukan hal yang harus lo lakukan. Gue juga gak pernah nyuruh lo untuk ikut nge bully, begitu pun Angga. Apa pernah gue nyuruh dia ikut nge bully? Itu semua tergantung lo, mana hal yang ingin lo lakukan silahkan. Gue gak akan ngelarang atau kepo dengan hal yang lo lakukan." Jarda semakin tertekan dengan apa yang dikatakan oleh Dezka.

Memang benar apa yang dikatakan oleh Dezka, ia tidak pernah di perintah untuk melakukan pembullyan. Semua hukuman bully, omongan dan bisikan orang lain itu semua Dezka lah yang menanggung.

Laki-laki itu tidak pernah melibatkan dirinya atau Angga sekali pun.

"Kenapa diem? Nyesel lo bilang kayak gitu ke Dezka? Lo gak tau gimana pengorbanan dezka selama ini!" kata Angga kesal sambil menunjuk Jarda yang masih terdiam.

"Lo mau tau alasan gue melakukan hal kayak ini? Gue gak akan melakukan hal tanpa suatu alasan. Gue harap lo akan ngerti dengan apa yang akan gue jelasin kali ini." Jarda menganggukan kepalanya.

"Gue siap dengerin semua alasan lo itu," jawab Jarda singkat.

"Jangan ngomong doang! Dengerin yang bener biar lo paham," ketus Angga yang sangat sebal dengan perilaku Jarda.

"So ... this is my sad story. Dulu, saat gue SD gue adalah tipe anak yang sangat pendiam. Gue gak pernah bergaul sama sipapun, yang gue lakukan hanya pergi ke perpustakaan untuk baca buku kesukaan gue dan ngobrol dengan penjaga perpustakaan. Penampilan gue juga sangat culun, karna penampilan gue ini sekaligus sikap gue yang gak terlalu bergaul, gue akhirnya secara terus menerus terkena bully an hingga suatu saat gue sampek gak berani untuk datang ke sekolah karena takut kena bully," jelas Dezka, dilihat dari raut wajahnya Jarda bisa melihat betapa sakitnya laki-laki itu di masa lalunya.

Jarda pun bertanya, "Apa orang tua lo gak tau kalau lo terus terkena bully?"

Dezka hanya menggelengkan kepalanya dan kembali menghembuskan asap dari vape yang dia gunakan. "Gue gak pernah kasi tau pembully an yang gue dapatkan di sekolah waktu SD. Padahal guru udah mau manggil orang tua gue untuk membahas tentang pembully an yang terjadi. Tapi ... dengan bodohnya, gue ngelarang mereka untuk ngasi tau Papa dan Mama tentang ini dengan alasan gue gak mau bikin mereka khawatir dengan hal sepele."

TBC

Raja Brawijaya Where stories live. Discover now