Bab 10

398 29 0
                                    

Fatin mengantar gadis itu ke rumahnya agar beristirahat kembali. Namun, Ia merasa heran saat  melihat mobil pajero berwarna putih terparkir di halaman rumahnya.

"Ini mobil siapa, ya?" tanya Fatin setelah keluar dari dalam mobilnya.

"Aku enggak tahu, Mbak. Kita cek aja ke dalam. Siapa tahu ada keluarga atau kerabat Mbak yang bertamu," saran Sabina. Mereka kemudian berjalan beriringan. Namun, belum sempat mereka memasuk8 rumah. Pembantu yang baru saja Fatin pekerjakan seminggu yang lalu keluar dari dalam rumah.

"Mbak Fatin, ada tamu. Mereka mengaku dari keluarga Mbak Sabina," ucapnya.

"Ibu?" ucap Sabina pelan. Ia kemudian bergegas berjalan memasuki rumah. Dan benar, sudah ada
Ratna dan anak sulungnya yang duduk di ruang tamu rumah tersebut. "Ibu? Abang?" gadis itu dengan cepat menghampiri wanita yang teramat dicintainya dan tak lupa pula Ia mencium punggung tangan Ibu dan Abangnya.

"Ibu, kenapa kesini enggak bilang-bilang Sabina?"

"Sengaja, biar jadi suprise." wanita separuh baya itu terkekeh kecil. Sabina begitu merasa terharu sehingga Ia memeluk Sang Ibunda.

Detik kemudian Fatin berjalan menghampiri Ratna. Lalu, mencium punggung tangannya. "Perkenalkan, Bu. Saya Fatin," ucap Fatin. Lalu, Ia duduk di kursi tunggal di samping kiri.

"Iya, Nak Fatin. Putra Ibu sudah banyak bercerita tentang Nak Fatin." Fatin sedikit tersenyum dan melirik kilas Salman yang duduk di samping kanan Ratna.  "Terima kasih, ya, Nak. Sudah menjaga putri Ibu."

"Sama-sama, Bu. Fatin juga senang tinggal bersama Sabina. Karena, Fatin selama ini hanya tinggal sendiri."

"Begini Fatin, maksud kedatangan kami kesini ingin menjemput Sabina untuk tinggal di rumah baru. Karena, ibu dan saya juga sekarang akan tinggal di Bogor sampai Sabina melahirkan," jelas Salman. Mata Fatin membulat. Ia tak mau jika Sabina harus keluar dari rumah ini. Karena, Ia akan kembali kesepian sama seperti dulu.

"Maaf, Mas Salman. Mungkin ini bukan hak saya untuk melarang Sabina. Tapi, saya mohon, jangan mengajak Sabina pindah dari sini. Saya senang bersama Sabina. Dan Ibu.. Ibu bisa tinggal di sini. Saya senang jika di rumah ini banyak orang. Saya tidak ingin kesepian lagi seperti dulu." Fatin berucap dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Tapi, Nak Fatin. Ibu takut merepotkan," timpal Ratna.

"Demi Allah, aku sangat tidak merasa di repotkan, Bu."

"Bagaimana dengan Abang? Abang tidak mungkin tinggal di sini. Nanti, akan menjadi fitnah," ucap Sabina.

"Jangan khawatirkan Abang, Dek. Abang bisa sewa kamar," jawab Salman.

"Sepertinya ada solusi agar Abang juga bisa tinggal di sini."

"Apa itu, Sayang?" tanya Ratna.

"Kenapa Abang enggak menikah dengan Mbak Fatin? Kalian'kan sudah sama-sama kenal. Bang Salman sudah tau Mbak Fatin, begitu pun sebaliknya. Sabina setuju kok kalau kalian menikah, iya'kan, Bu?"

"Menikah?" Fatin dan Salman berucap serempak. Dalam hati kecilnya, Fatin tidak keberatan jika Ia harus menikah dengan Salman. Karena, sejak bertemu pertama kali, Ia sudah jatuh jati padanya. Terlihat Salman adalah pria yang begitu menyayangi keluarganya dan juga sangat menghormati perempuan.

"Ibu juga sangat setuju, Sayang." Ratna kemudian beralih pada Salman, "Bagaimana, Sayang? Kamu mau menikah dengan Fatin?" tanya Ratna. Terlihat Salman terdiam sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Sang Ibu.

"Biar Salman pikirkan dulu, Bu." ucap Salman. Ada harapan di hati Fatin untuk Salman menerimanya. Namun, Ia kembalikan lagi kepada Sang Maha Penentu Takdir. Apapun keputusan yang dikeluarkan oleh Salman, Ia akan menerimanya dengan ikhlas.

"Ohya, Bu. Mobil baru, ya?" tanya Sabina pelan. Salman hanya terkekeh kecil.

"Alhamdulillah, Abang ada sedikit rizki untuk bisa membeli mobil baru." Ratna menimpali.

"Alhamdulillah, sukses terus usahanya ya, Bang."

"Aamiin, kamu do'kan, ya," jawab Salman. Detik kemudian Fatin menyuruh asisten rumah tangganya agar membersihkan kamar tamu untuk Ratna beristirahat.

***

Malam harinya, Salman berdiri di balkon kamar yang telah di sewanya untuk beberapa minggu. Ia memikirkan ucapan Sabina tadi siang. Hatinya mengakui Fatin adalah wanita yang sangat baik dan lemah lembut. Ia juga sangat menyayangi adik dan Ibunya, tidak ada alasan Ia untuk menolaknya. Namun, hatinya masih milik wanita lain. Jika Ia menikahi Fatin karena terpaksa, Ia takut akan menyakiti hati wanita itu.

"Lebih baik aku tidur, biar aku pikirkan besok," ucap Salman seraya berjalan kembali memasuki kamarnya. Tangannya mengurut keningnya yang sedikit ruwet. Ia kemudian membaringkan badannya di atas tempat tidur, dan tak perlu waktu lama Ia langsung terlelap.

Sayup terdengar seseorang membangunkannya. Matanya yang sudah berat terpaksa dibukanya perlahan. Terlihat seorang pria terduduk di ujung ranjangnya. "Bapak," lirih Salman. Pria itu langsung merubah posisinya menjadi duduk.

Pria yang Ia panggil Bapak itu menoleh ke arahnya, "Salman, menikahlah dengan Fatin. Dia adalah wanita yang sangat baik. Jangan mengharapkan wanita yang sudah pergi dari hidupmu. Jangan menyia-nyiakan wanita seperti Fatin. Belum tentu wanita yang kamu cintai menyayangi adik dan Ibu kamu sama seperti Fatin." Salman hanya terdiam seraya memikirkan ucapan Sang Bapak. Hasim kemudian berdiri dan berjalan menuju pintu balkon.

"Bapak! Bapak mau kemana?"

"Ingat pesan Bapak, Salman. Menikahlah dengan Fatin. Dia wanita terbaik untuk kamu." Hasim berjalan keluar tanpa memperdulikan Salman yang terus memanggilnya.

"Bapak! Bapak!" Salman berseru hingga Ia terjatuh dari ranjang karena kakinya yang terasa berat saat hendang menggejar Hasim. Mata Salman perlahan terbuka dengan nafas memburu. Peluh mengucur di dahinya.

"Ternyata ini hanya mimpi. Tapi, kenapa begitu nyata?" ucap Salman. "Apa memang benar kalau Fatin adalah wanita yang tepat untukku?" Salman sudah memutuskan dan Ia akan memberitahu Sang Ibu di esok hari.

INI BUKAN MAUKU! Where stories live. Discover now