Chapter 1

18 1 0
                                    

#
Deru ombak dan langkah kaki membangunkannya dari tidur lelap, sayup-sayup ia menenteng ransel Bodypack yang penuh melewati geladak kapal. Angin berhembus mengusap kulitnya yang kering setelah berjam-jam mengarungi ombak. Memberikan sensasi sejuk dan nyaman, membuatnya sempoyongan hampir tergelincir.

Setelah menyerahkan dua lembar uang seratus ribu kepada nelayan pemilik kapal, pemuda itu pun beranjak.

Sandal gunung yang ia kenakan berpijak diatas pasir putih yang lembut bagaikan spons, pohon-pohon kelapa menjulang tinggi, berayun-ayun mengikuti irama angin.

Langkahnya pelan, iris hitam miliknya terus menatap kejauhan. Menikmati hamparan pantai luas nan indah di hadapannya, sampai lupa kalau dia sedang membawa ransel besar penuh berisi pakaian.

Irisnya memperhatikan sekitar dengan seksama, menebak-nebak posisi saat ini. Kalau dilihat lagi, ini bukan pelabuhan. Melainkan pantai yang entah ada dimana.

"Ugh… harusnya aku tadi bertanya ada sekarang ada dimana."

Sialnya, kapal nelayan yang ia tumpangi tadi sudah pergi.

Dia memilih naik memakai kapal nelayan karena dianggap lebih murah, efisien, dan tidak perlu berdesak-desakan seperti menaiki kapal feri. Tapi tidak disangka dia malah diturunkan di pantai, bukan di pelabuhan.

Dirasa tidak ada pilihan lain, dia memasuki semak rimbun dibawah naungan pohon kelapa, rerumputan dan daun-daun kelapa melengket di sandal tidak menghalangi langkahnya yang sedikit terburu-buru.

Kalau aku turun di pulau yang salah, bisa gawat!

Tidak lama berselang remaja itu mendapati aspal hitam pekat. Begitu keluar dari jalan setapak dia langsung berlutut, menggaruk betisnya yang gatal sambil mengutuk dirinya sendiri kenapa dia memakai celana cargo pendek saat itu.

Puas menggaruk, dia bangkit berdiri. Terlihat hawa-hawa panas dari permukaan aspal berkat matahari terik diatas sana, membuatnya terbayang jika sebutir telur jatuh di aspal sana mungkin bisa jadi telur goreng dalam waktu singkat. Khayalan bodoh barusan juga yang membuatnya harus bergegas, tidak ada yang melihatnya jika terkena heatstroke disini. Itu artinya, telur goreng imajiner barusan naik tingkat menjadi manusia goreng.

Dari saku celana, dia mengeluarkan selembar kertas usang. 

"Aku tidak ingat kapan membuat ini, semoga saja masih akurat."

Diatas kertas itu, tergambar sebuah peta sederhana yang dibuat menggunakan pensil. Kertas itu ditemukan terselip di salah satu pakaian tua miliknya saat berkemas, manakala kertas ini menjadi berguna dia pun memutuskan untuk ikut membawanya.

"Kalau ini pulau yang benar, seharusnya ada lumbung padi di sekitar pantai."

Matanya menyipit, memeriksa setiap sisi jalan dengan seksama. Dan benar saja, dia melihat bangunan besar berbentuk kotak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dia memastikan dengan kembali melihat gambarnya di dalam peta, bentuk yang mirip. 

Dia menghela napas lega.

"Baiklah, sekarang aku tau harus kemana."

Kertas tadi dilipat seperti semula, diletakkan kedalam saku. Tali ransel dikencangkan, remaja itu melanjutkan perjalanannya kearah timur.

Sepuluh menit berlalu dia menelusuri jalan beraspal, matahari terasa kian terik. Keringat bercucur, membuat kening dan punggungnya basah. Sesekali ia menarik botol air mineral dari saku ransel, yang juga semakin menipis. Berharap kalau ada toko kelontong di pinggir jalan yang menjual air, atau apapun yang cair dan bisa diminum.

Jumlah kendaraan yang berlalu tidak bisa dihitung olehnya, karena sejak tadi tak ada satupun yang melintas. Meski siang bolong, untuk jalan aspal sebagus ini rasanya sayang saja kalau tidak ada pemakainya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 06, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Phantom Of The IslandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang