1. Tanggal Tua

22 2 0
                                    

Tanggal tua itu menyeramkan. Terutama bagi anak kos-kosan, seperti si Mamat. Meski uang habis, soal perut tak bisa dinanti-nanti. Lapar takkan menunggu hingga kiriman uangnya datang. Perutnya perlu diisi, supaya tak kelaparan. Beruntung, tiga hari ke depan libur, akibat tanggal merah di penghujung weekday. Sehingga Mamat tak perlu mengeluarkan uang buat naik angkot saat pergi ke sekolah.

Kalau saja dia punya kemampuan sihir, yang bisa mengubah dedaunan menjadi duit, mungkin Mamat takkan segalau ini, kala tanggal tua menyapa. Sebenarnya, dia bisa menghubungi sang bunda yang menjadi TKW di negara tetangga. Ibunya juga pasti langsung mengirimkan uang, tak mau anak bujangnya kekurangan uang. Karena ibunya selalu meyakini, perut lapar bisa jadi pemicu kejahatan. Dimulai dari mencuri, sampai jual diri. Bundanya tak mau punya anak yang jadi seorang kriminal atau seseorang yang kehilangan moral. Sehingga, apa pun pasti dilakukan, biar Mamat tak mengalami kekurangan.

Kalau Mamat minta, sang ibu pasti langsung mengirimkan uang. Hanya saja, Mamat sungkan. Tak tega juga. Ibunya selalu mengirim uang tepat waktu. Kalau ada telat sedikit, pasti ibunya tidak memaksudkan demikian. Bisa jadi, di sana sang ibu tengah kesulitan. Sebagai pejantan tangguh dengan darah Medan yang selalu dia bangga-banggakan, Mamat tak sudi membuat ibunya khawatir. Mamat belum bisa membahagiakan wanita tersebut, tapi setidaknya, Mamat tak mau membuat ibunya jadi lebih kesusahan serta tak damai di dalam hati.

Helaan napas, keluar sekali lagi. Mamat berselonjor di depan pintu kamar kosannya yang memang terbuka. Memandang ke luar, ke halaman basah, yang baru saja disirami hujan dini hari tadi. Uang yang Mamat punya, hanya cukup untuk beli 3 bungkus penyedap rasa kaldu ayam, serta 2 bungkus mi instan. Makan nasi hangat pakai penyedap rasa, mungkin nikmat. Lalu dua hari sisanya, dia akan makan sebungkus mi setiap harinya.

Beras yang ada dalam kaleng bekas kue lebaran, hanya tersisa buat tiga kali makan. Mau bilang sama bunda, buat segera dikirimi uang, tetapi Mamat urung. Dia tak tega. Di negeri tetangga, ibunya juga pasti sedang bekerja untuk mencukupi kebutuhan mereka selepas perginya bapak. Tak perlu diminta, kalau sudah dapat uangnya, bunda pasti mengirim uang buat Mamat. Lagipula, kenapa mendadak ingat bapak? Lelaki yang sebenarnya bahkan tak pantas dia panggil sebagai bapak, karena kerap melakukan kekerasan padanya dan juga bunda. Mamat cuma mengakui bunda sebagai orang tua yang dia miliki.

Tengok kanan, tengok kiri. Pintu-pintu kamar kosan lainnya masih tertutup. Ini memang terlalu pagi buat keluar kamar. Bahkan matahari belum benar-benar muncul, setelah hujan semalam. Sungguh suram tanggal tuanya kali ini. Padahal, Mamat selalu merasa bahwa dirinya ini berhemat. Tetapi, masih saja suka dapat kesulitan saat tanggal tua menyapa.

Dari selonjoran pemuda jangkung yang punya kulit putih serta hidung yang mancung, berdiri. Meregangkan badan sebentar, sebelum akhirnya balik badan. Dia mau tidur lagi. Melewatkan sarapan, biar cukup dengan makan siang saja. Sehingga besok pun, Mamat masih bisa makan nasi.

Namun, baru saja akan menutup pintu, sebuah suara membuat pergerakan Mamat berhenti.

"Pagi, A." Ringan dan halus, nada yang digunakan pun begitu lembut masuk ke pendengaran Mamat. "Libur, ya?"

Tanggal tua mungkin menyeramkan. Tetapi, bertemu dengan sang pujaan selalu menyenangkan. Bahkan Mamat sampai lupa dengan kegalauannya yang barusan. Persetan dengan makan mi sebungkus untuk satu hari. Di depannya ada Irma, anak bapak kos, yang kini sedang menjemur pakaian di halaman depan kosan Mamat.

Mamat menahan senyum sebentar. Kemudian berdeham kecil. Takut, suaranya tidak enak didengar. "Iya, Teh. Libur, nih." Meski hanya basa-basi, mood-nya yang sesuram malam Jumat, berganti jadi seceria Minggu pagi. "Pagi-pagi udah nyuci aja, Teh." Basa-basinya dilanjutkan oleh Mamat. Biar obrolan mereka tidak segera usai.

Cinta Masa MudaWhere stories live. Discover now