4. Menjemput Si Teteh

5 1 0
                                    

Ah ... Mamat sekarang deg-degan. Sore-sore sehabis hujan, dia menunggu di depan gedung Museum Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia. Dengan motor bebek, serta helm batok. Beruntung, tak ada polisi yang sedang melakukan razia di sekitar sini. Kalau tidak, dia bakal terciduk, karena berkendara tanpa memiliki SIM.

Ah ... Mamat semakin deg-degan. Di dalam kampus pendidikan itu, ada Irma di FIP--itu kata si ibu kos. Gedungnya ada di bagian belakang kawasan UPI. Motor tidak bisa sampai ke sana, mentok-mentok, motor hanya bisa masuk sampai parkiran saja.

Jadi, Mamat memutuskan buat menunggu di depan kampusnya saja. Ibu kos juga sudah bilang, Irma diberitahu lewat pesan WA.

Melihat lalu-lalang kendaraan di jalanan, kemudian Mamat menengok ke ponsel yang ada di tangan kiri. Sudah mendekati pukul 4 sore, tetapi batang hidung Irma belum juga muncul.

"Si teteh keluar kelasnya jam setengah 4. Kamu tunggu aja ya, di depan museum. Nanti, si teteh yang nyamperin."

Begitulah wejangan sang ibu kos, sebelum Mamat pergi ke Setiabudi.

Khusus hari ini, Mamat yang bertugas buat menjemput Irma. Lebih tepatnya, dia yang mengajukan diri, supaya dia yang pergi, karena tukang ojek yang biasa mengantar jemput Irma, harus absen hari ini, diakibatkan tengah meriang.

"Saya aja yang jemput si teteh, Bu." Mamat tak bisa menyembunyikan cengir lebar, karena dia merasa beruntung, lewat depan dapur ibu kos, buat pergi ke depan gang, mencari makan.

"Eh, yang betul? Bisa, Mat?" Ibu kosnya agak ragu-ragu. Tetapi, Mamat mengangguk.

"Ya udah, pakai motor yang gigi, ya."

"Oke, bu."

Kira-kira, begitulah awal mula, kenapa Mamat jadi bertugas buat menjemput Irma hari ini.

***

Mamat menghabiskan 10 tusuk sempol sembari menunggu Irma yang tak kunjung datang. Ini sudah jam 4 lewat, tetapi Irma belum juga datang.

Mamat mau menghubungi ibu kosnya, buat bertanya, kenapa Irma belum juga datang. Tetapi, saat membuka aplikasi WA, Mamat baru sadar--Hampir 2 tahun ngekos di tempat si ibu, tapi, ternyata Mamat sama sekali tak memiliki nomor ibu kosnya!

"Bego kamu, Mat." Kening ditepuk sekali, kemudian menghela napas. Mamat mengedarkan pandangan lagi, banyak mahasiswa maupun mahasiswi yang keluar dari gerbang dekat Museum Pendidikan. Tapi, matanya sama sekali tak mampu melihat Irma.

Mungkin, sebentar lagi.

***

Tidak sebentar lagi, ternyata!

Sekarang, senja sudah mau habis. Berganti dengan langit yang mulai menggelap, di sela kemerahan jingganya. Mamat sudah menghabiskan 30 tusuk sempol, sembari menunggu.

Besok, Mamat cuma bisa makan nasi dan telur. Buat 2 kali makan. Uang untuk jatah makan besok, amblas buat sempol-sempol yang kini sudah ada di dalam perutnya.

Mamat mulai khawatir, kenapa Irma keluarnya lama sekali? Dia mau mencari Irma ke dalam kampus. Ke wilayah PGSD, yang terletak di lantai 5 gedung FIP. Tapi, niatnya urung. Karena mendadak terpikir. Bagaimana kalau Irma datang, saat Mamat pergi? Mereka bakal saling melewatkan. Kemudian, berakhir kucing-kucingan.

Mamat memilih menunggu lagi, sekarang. Tapi, tanpa membeli sempol yang bakal membuat kantongnya jebol.

Turun dari motor bebek, helm batok dia taruh di atas spion. Mamat mondar-mandir di depan hotel Ponyo. Sembari sesekali, matanya melihat ke arah gerbang.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 15, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Cinta Masa MudaWhere stories live. Discover now