3. Pandangan Pertama

8 1 0
                                    

Mamat kurang senang hidup sendiri. Biasanya, dia selalu bersama sang bunda. Mau saat mereka mendapat senang. Atau apes, mendapati kedukaan.

Awalnya Mamat berpikir dia akan bersama sang bunda, hingga lulus dari sekolah. Kemudian cari kerja buat menghidupi wanita yang jadi sosok paling penting di dalam hidupnya. Mamat merasa, dia sudah cukup dewasa.  Untuk berbagi beban hidup dengan ibunda.

Akan tetapi, bagi orang tua, Mamat tetaplah putra kecil yang perlu dicerahkan masa depannya. Kalau sang bunda tetap di Indonesia, bekerja serabutan, yang pendapatan per harinya saja tidak menentu, dia tak dapat membayangkan masa depan cerah buat Mamat.

Setidaknya, Mamat harus sekolah setinggi mungkin. Karena Tuhan sudah menjaminkan derajat yang tinggi, untuk sesiapa yang memiliki ilmu.

Sebagai muslim yang taat, ibunya Mamat percaya bahwa apa yang dijanjikan Tuhan adalah nyata. Tidak akan ingkar, tak seperti janji-janji para politikus yang hanya gencar diumbar saat masa kampanye. Lalu mendadak amnesia, saat telah terpilih.

Tuhan menjanjikan perubahan bagi siapa pun yang mau berubah. Ibunya Mamat membuka ikhtiar, untuk mengubah nasib mereka. Nasib putranya, terutama.

Jangan sampai, sang putra menderita karena kekurangan harta.

Jangan sampai, sang putra merasa terhina, karena diremehkan oleh orang-orang.

Jangan sampai, sang putra merasakan apa yang dirasakan olehnya. Tidak belajar setinggi mungkin, membuatnya sempat bergantung pada lelaki yang juga adalah mantan suaminya. Membuatnya tak berdaya, meski kerap dipukuli--kalau cerai, bagaimana dia menghidupi Mamat?

Banyak pertimbangan, pokoknya. Yang menyebabkan Mamat berakhir hidup seorang diri, sementara sang bunda pergi ke Negeri Jiran. Mamat masih ingat, apa yang bunda katakan sebelum kepergiaannya.

"Mat, sekarang Mamat udah besar. Bunda bisa kerja ke luar dengan tenang. Mamat bisa jaga diri, kan?" Belaian di puncak kepala, masih terasa. Meski sudah lewat dari tiga puluh hari. "Mamat belajar yang benar. Biar jadi orang."

Mamat yang tak suka belajar, merasa dapat beban sebesar pintu gerbang di pundak. Berat, bikin sulit melangkah. Tapi, selain tak suka belajar, Mamat lebih tak suka membuat bundanya kecewa. Sehingga, dia betulan belajar dengan tekun buat sekarang ini.

Pokoknya, jangan membuat bunda khawatir.

Beberapa bulan setelah kepergian bundanya buat bekerja di Malaysia, Mamat hidup dengan kurang bergairah. Dia tidak memiliki mimpi soal esok, mau jadi apa dirinya? Apa yang mau dia lakukan? Dia hanya belajar terus-menerus, meski itu terasa tak menyenangkan. Di petak kosan yang dia tinggali, Mamat kerap merenungi artinya hidup.

Buat apa dia hidup?

Buat apa dia bernapas hingga sekarang?

Kenapa bunda begitu sayang padanya, padahal Mamat hanyalah beban? Kalau tak ada dia, bunda sudah bebas sejak lama.

Pokoknya, banyak gundah yang melanda. Meski pemuda itu tak menampakkannya. Darah Medan membuat Mamat harus tangguh, hingga akhir--

"Anjim-!" Mamat mengumpat, pelan. Tangannya kena pecahan kaca yang sedang dia bereskan. Tadi, tangannya licin. Membuat gelas hadiah dari toko bangunan jatuh, meluncur bebas ke lantai. Pecah berserakan, dengan beling yang membahayakan.

Mencabut pecahan beling dengan hati-hati. Memastikan tak ada kaca yang tertinggal di dalam daging.

Selesai membereskan pecahan kaca, serta memastikan bahwa tak ada  serpihan yang tertinggal, Mamat membalut keresek hitam pakai banyak koran. Membalutnya hingga begitu tebal, kemudian dia beri lakban.

Cinta Masa MudaWhere stories live. Discover now