Sekeping Memori (Karina)

14 1 0
                                    

Karina Prameswari. Aku panggil dia dengan nama Karin. Perempuan manis dan tegas ini adalah teman kesayanganku dari semester satu. Walau perbedaan karakter kami terlihat kontras, namun justru hal itu yang membuat kami saling menguatkan satu sama lain. Karin tidak punya banyak teman dan aku adalah teman yang bisa dikatakan satu-satunya yang cukup dekat. Padahal dia termasuk mahasiswa aktif di kampus. Dia menjadi salah satu anggota UKM tingkat Universitas dan UKM tingkat Fakultas. Belum lagi, Karin juga tergabung dalam organisasi kepenulisan di luar kampus.

Aku tidak mengerti, definisi "teman" menurut Karin itu seperti apa. Dia memang bisa bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya, selalu ceria dan menampilkan senyum terbaiknya kepada semua orang. Tapi ketika Karin sedih, dia hanya butuh bersandar di pundak teman baiknya. Katanya, teman baiknya itu bernama Wina.

Aku?

Padahal, aku tidak pandai menenangkan seseorang yang sedang sedih. Aku hanya akan diam, membiarkan Karin menangis dan mendengarkan ceritanya.

Dia juga satu-satunya temanku, yang sering bilang bahwa aku terlalu banyak gengsi. Seperti yang baru saja dia katakan.

"Kamu itu terlalu banyak gengsi, Na."

Aku menghela napas, sampai kapan temanku ini berhenti menuang sambal ke dalam mangkuk baksonya. Lihat saja, bakso itu sekarang penuh dengan sambal berwarna merah. Bisa-bisanya Karin menuang sambal sebanyak itu. Belum lagi, bibirnya tidak berhenti mengomeliku. Aku rasa, bakso milik Karin akan jauh lebih pedas dari pada omelan dia padaku.

Ya jelas.

Apapun yang Karin katakan padaku tentang Bayu, hanya akan masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan.

"Lihat tuh." Karin menunjuk Bayu menggunakan dagunya. "Dari sekian banyak perempuan cantik yang coba deketin dia, Bayu cuma lihat kamu."

Aku hanya diam memperhatikan Karin berbicara. Khawatir, kalau sampai kuah pedas membuat perempuan itu tersedak.

"Uhuk... uhuk..."

Tuh kan.

"Aku tadi ambil sambal berapa sendok ya, Na? Pedes banget." Karin megap-megap, dia mengusap keringat di dahi menggunakan sapu tangan. Tapi beberapa detik setelahnya, dia kembali melirik Bayu dan juga teman-temannya yang berada di meja kantin paling ujung. Karin lantas berkata, "tuh Na, Bayu curi-curi pandang ke kamu lagi."

Bayu lagi.

Bayu terus.

Lama-lama aku kesal juga, lalu aku mengarahkan pandanganku pada Bayu. Memang benar, laki-laki itu tengah menatapku dan tersenyum manis kala dia sadar bahwa aku juga memperhatikannya.

Tanpa diduga, detik setelahnya Bayu tiba-tiba berdiri, berpamitan kepada teman-temannya dan berjalan mendekat ke arah meja kami.

"Hai, Rin." Bayu lebih dulu menyapa Karin, yang hanya dibalas senyum oleh yang disapa. Pandangan Bayu kemudian mengarah padaku. "Hai, Wina. Aku boleh duduk di sebelah kamu?"

Duduk ya tinggal duduk saja apa susahnya?

Tapi sepertinya jawabanku tidak begitu penting, karena Bayu sudah lebih dulu duduk di kursi sebelahku tanpa menunggu aku menjawab pertanyaannya.

"Kok pindah kesini?" Aku memang tidak pernah basa-basi. Sedangkan Karin hanya meringis mendengar ucapanku.

Bayu tersenyum. "Sengaja."

Aku tidak mau memikirkannya, maka kuputuskan untuk kembali menyantap menu makan siang. Beberapa bulan terakhir, Bayu memang aneh. Setelah terakhir kali kami makan siang bersama, aku sering melihat Bayu tersenyum ramah padaku.

Bayu & WinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang