Badanmu, Sandaranku (TauHali High School AU)

957 70 16
                                    

"Hali~ aku ngantuk. Pinjamkan aku pahamu~"

Taufan nyaris sukses menjatuhkan dirinya ke paha empuk kalau sang pemilik tak punya refleks bagus untuk menghindari serangan pelecehan seksual. Wajahnya didorong sejauh mungkin dengan pipi sebagai tumpuan, membuat mulutnya monyong habis kena tampar.

"Ada-ada aja. Keretanya sudah mau tiba. Yang ada kau kutinggal di sini kalau ketiduran." Pemuda di sampingnya menyalak, tak mau menyerahkan tubuhnya pada makhluk mesum pengincar paha.

"Ehhh, ayolah~ sebentar aja!" Taufan hendak memperkuat perlawanan dengan memanfaatkan lengan panjangnya untuk melingkari pinggang si pemuda imut bermata merah delima.

"Oke, kau tinggal di sini, aku pulang."

"Enak aja!"

Penyandang nama panggilan "Hali" yang panjangnya adalah Halilintar menggertak gigi ketika pemuda yang entah bagaimana resmi menjadi pacarnya merengek mau tidur di pahanya. Sudah jelas ini adalah jam pulang yang mana berarti para masyarakat sipil banyak berkerumun pasca kegiatan mereka sekolah atau tempat kerja.

Tak dapat dipungkiri bahwa aksi mesra-mesraan antara sepasang kekasih menjadi tontonan yang menarik di jam asfar ini. Bayangkan saja selepas hari melelahkan mendapati hasil ujian buruk, dirimu disuguhi dua pemuda belia pegangan tangan dengan intensnya! Panas!

Halilintar menoel-noel pipi Taufan, masih belum membuahkan hasil akibat rasa kantuk yang terus membuainya untuk tenggelam ke alam mimpi. Seharian ini, pelajaran di sekolah kebetulan masih memasuki materi baru sehingga mereka hanya disuguhi bacaan tanpa latihan soal. Wajar saja kalau anak sekelas tak terkecuali Taufan jadi malas menyimak. Di saat yang sama, akan tetapi, mau tidur di pun tak bisa sebab para guru selalu mengawasi gerak-geriknya.

Suhu udara yang sejak pagi rendah menambah faktor penyebab rasa mager melanda siswa sekolah. Setidaknya, syal yang dikenakan Halilintar berhasil membuat gap moe-nya menonjol. Bukan salah Taufan kalau ia jadi tak sabar membenamkan wajah di ceruk leher mulus berbalut kain wol hangat.

"Tahan sedikit, lah, payah. Beli minum sana."

"Belikan, dong. Ehehe—" Tawa Taufan hanya bertahan untuk sepersekian detik. "Adeh!"

Tingkah spontannya menarik decakan tak setuju dari pemilik manik rubi. Sebelum tubuh jangkung pemuda berjaket biru sempat menyandarkan kepala di pundak, Halilintar dengan kecepatan kilatnya angkat kaki dari bangku, mengakibatkan Taufan terjerembab di sana.

Samar ia mendengar pemuda yang beberapa bulan lebih muda darinya mencak-mencak, tetapi tak cukup energi untuk menyusulnya. Anak itu memang tipe yang tak bisa diam; sekalinya diam, yang ada ia akan mengantuk di sesi berikutnya.

Sebuah teh hangat dalam botol disodorkan ke depan mata, membuat kelopaknya yang sayu terbuka cerah untuk sesaat. Halilintar kembali dari vending machine tempat ia membeli beberapa minuman penghangat. Jarang ia menggunakan uang untuk menukar barang dari mesin kotak itu, tetapi hari ini adalah pengecualian.

"Cepat diminum. Kalau tidak, bukan teh hangat lagi namanya." Botol teh di tangannya juga dibuka, hendak menyesap hangat dari minuman manis.

"Makasih~" Rengutan di wajah manyun Taufan digantikan oleh senyum.

Suhu udara baru mulai mendingin dan akan semakin mendingin sejalan bulan berlalu. Pagi ini, kabut menyelimuti kota hingga sore tiba. Perlahan, kabut meleleh pergi dengan masih meninggalkan suhu rendah yang sering membuat hidungmu mampet. Maka dari itu, keduanya sepakat untuk mengenakan syal dari rumah. Milik Taufan ditarik sampai menutupi hidung, membuktikan betapa berpengaruh musim ini untuknya.

Teh manis hangat tinggal setengah yang mana tampaknya tak berarti signifikan sebab sang penikmat masih berakhir bersandar di pundak. Halilintar hanya memandang datar wajah tertidur itu. Begitu kontras dengan polah yang biasa ia tampilkan di sekolah. Seperti berlarian keliling koridor yang berakibat dimarahi para guru. Saat tertidur—walau benci diakui—pacar Halilintar tampak seperti bayi polos yang baru lahir.

Kecuali Taufan bukanlah bayi dan bukanlah polos, sedikitpun. Aksi pelecehan seksual dengan menarget pahanya tadi masih terbayang di kepala. Bersamaan dengan kesadaran itu muncul, kereta yang mereka nantikan akhirnya tiba di depan mata. Dengan sekuat tenaga, Halilintar menjitak kening di bawah helai cokelat yang lembut, sukses mencetak tanda merah di sana.

"Oi, kau mau kutinggal di sini dan jadi gelandangan?" sergahnya, mengemasi tas dan barang bawaan lainnya.

"Duh, baru juga mau tidur!"

"Tidurnya nanti di rumah. Buruan naik!"

Taufan pasrah ditarik ke dalam kendaraan umum yang panjangnya macam ular naga. Tarikan Halilintar untuk sejenak menyadarkannya kembali pada kenyataan. Namun, tepat setelah mereka mendudukkan diri berdampingan, kantuk itu menyerang lagi.

Beruntung mereka mendapatkan kursi berkat kelincahan si pemuda petir. Gerbong kereta pada jam ini memang banyak diisi oleh para manusia yang hendak pulang dari agenda harian mereka. Dengan begini, mereka hanya perlu duduk manis hingga tiba ke tempat tujuan tanpa gangguan—sampai Taufan memutuskan untuk menghancurkan khayalan itu.

"Taufan, sudah berapa kali kubilang tidurnya nanti—" Kata-kata itu terpotong.

Kali ini, kekasihnya memutuskan untuk melawan balik, "Ahh, berisik. Hali gak suka aku di sampingmu?"

"Aku gak bilang itu—"

"Ya sudah, diam!"

Tep, Taufan membenahi posisi bersandar di bahu Halilintar seraya menyelipkan jarinya di antara jari-jari sang kekasih. Cukup untuk membuat segala protes yang hendak dilontarkan dari bibir pedas terbungkam. Suhu di antara mereka naik dari sentuhan yang tercipta. Tangan Taufan yang lebar menangkup seluruh telapaknya dalam satu genggaman.

"Hali hangat."

"... Kau juga."

Halilintar tersenyum tipis. Untuk sekarang, baik Taufan maupunb penumpang lain tak bisa melihatnya; semburat tipis yang menghias pipi pucat di balik syal tebal. Di satu sisi, Halilintar mensyukuri itu. Taufan pasti akan menggodanya habis-habisan kalau sadar. Sebagai balasan, ujung jemarinya ikut meremas telapak tangan sang kekasih anginnya.

Suara kereta yang berkendara melalui rel terdengar redam, menumbuhkan kenyamanan tersendiri yang menyerupai lagu pengantar tidur. Apalagi kalau didampingi pacar yang (terpaksa) rela menjadi sandaranmu untuk terlelap.

Manik rubi itu akan jadi yang berjaga, khawatir mereka akan salah turun stasiun kalau ia tak sengaja ikut terlelap. Lagi-lagi melihat wajah polos itu menjadikan hiburan tersendiri bagi dirinya yang biasa disajikan video aksi bela diri. Setidaknya itu menjadi dorongan baginya untuk melindungi wajah ini.

"Peluk~"

"Ogah."

Sedang proses menuju alam mimpi pun ia masih mengigau. Kelihatannya ia belum bisa tidur lelap kalau belum diberi jurus ampuh yang hanya Halilintar yang sanggup.

Pemuda itu menunduk, mendekatkan wajahnya untuk melihat lebih baik.

Melihat wajah konyolmu jadi anteng begini tidak buruk juga.

Syal marun diturunkan, ibu jari menyentuh bibir. Ciuman tak langsung itu diantarkannya dari ujung jarinya ke kening yang beberapa menit lalu ia jitak sampai merah. "Minta maafku atas yang tadi."

Udara musim gugur tak terasa begitu dingin saat mereka duduk berdampingan sambil bergandengan tangan. Halilintar mengulum senyum yang sama di kala melihat paras konyol kekasihnya yang entah kenapa selalu bersinar di matanya. Perjalanan pulang di kereta ini, ia tak keberatan menjalaninya sedikit lebih lama dari biasanya.

TauHali Oneshot CollectionWhere stories live. Discover now