4. Arvi Ngambek

414 45 2
                                    

Arvi sudah tertidur lagi setelah merengek meminta buaya pada Ayah sepanjang perjalanan pulang. Ayah berhenti di gerbang rumahnya, turun untuk membuka gerbang, lalu naik ke mobil lagi dan masuk ke halamannya. Ayah turun menutup lagi gerbangnya, lalu membuka pintu mobil di samping Arvi. Ayah menggendong Arvi memasuki rumah sederhana berlantai 2 miliknya, lalu ke kamar Arvi yang ada di lantai 2 bersebelahan dengan kamar Ayah, lalu menidurkannya dengan hati-hati.

Kalau begini Ayah jadi tenang melihat bayinya yang pecicilan jika sudah membuka matanya, tertidur pulas seperti bayi. Yakan memang bayinya Ayah.

Sejak lahir, Arvi tidak merasakan apa itu kasih sayang Ibu, hanya Ayah yang selalu ada untuk Arvi. Ibu meninggal saat melahirkan Arvi, Ayah berjuang sendiri untuk merawat dan membesarkan Arvi dengan penuh kasih sayang, tak ada sanak saudara yang membantu, balik dari pihaknya ataupun istrinya. Ayah Candra merawat bayi Arvi seorang diri, menjadi Ayah sekaligus Ibu memang tidak mudah. Tapi Ayah Candra memang hebat, hingga Arvi bisa tumbuh dengan sehat dan selalu ceria.

Mengingat itu Ayah jadi terharu sekaligus sedih. Ayah memilih untuk berbaring memeluk Arvi menyalurkan kehangatannya.

“Selamat tidur Pangeran Ayah, mimpi indah,” bisik Ayah di telinga Arvi. Ayah mencium kening Arvi, lalu memeluknya erat. Padahal baru jam 10 pagi, tapi mereka sudah tepar. Kelelahan karena pesta, juga halangan saat perjalanan pulang menjelang dini hari.

(⇀‸↼)


Ayah membuka matanya, melihat jam dinding menunjukkan pukul 12.19, sudah waktunya makan siang. Ayah pun bergegas ke kamar mandi dulu untuk mencuci muka, setelah itu Ayah turun ke bawah untuk memasak.

Ayah hanya memasak Jangan Asem, tempe goreng, tumis kangkung, dan sambal untuk pelengkap, Ayah hanya membutuhkan waktu ±45 menit untuk memasak. Ayah menata makanan di meja makan, lalu ke atas untuk membangunkan Arvi.

“Sayangnya Ayah, bangun dulu yuk,” ucap Ayah lembut sambil mengelus kepala Arvi.

“Engh.” Arvi sedikit menggeliat.

“Ayo cepat bangun, udah siang loh.”

“Ung ... gendong.” Arvi merentangkan kedua tangannya ke Ayah.

“Iya Baby.” Ayah mengendong Arvi ke kamar mandi dulu untuk cuci muka.

Ayah mendudukkan Arvi di pinggir wastafel, membasuh muka bantal Arvi lembut, agar terlihat segar.

“Imutnya bayi Ayah.” Ayah mencium kedua pipi tembam Arvi.

“Ayah ... Arvi ganteng loh bukan imut ih,” rengek Arvi.

“Hahaha, iya bayi Ayah memang ganteng kayak Ayahnya.”

“Gantengnya Arvi itu di atas Ayah, Ayah mah duda tua beranak satu. Gada gantengnya,” cibir Arvi dengan bibir yang dimajukan seperti bebek.

“Bibirnya minta di cium ya.”

“Gak mau!” Ayah mengecup hidung Arvi, lalu mengendong Arvi keluar menuju meja makan.

Ayah mendudukkan Arvi di kursi, dan Ayah duduk di hadapan Arvi. Mata Arvi berbinar melihat sambal yang dibuat Ayah.

“Ayah, Arvi boleh ya makan pakai sambal!”

“Boleh kok.”

“Yey, makasih Ayah. Selamat makan!” Ayah tersenyum melihat Arvi yang begitu bahagia hanya karena dibolehkan makan pakai sambal.

PrakāśaWhere stories live. Discover now