O2 ; Rumput Bergoyang

66 10 4
                                    

Di waktu sore kini, Radeya terlihat sedang mengencangkan tali sepatunya. Penampilannya sudah rapi, tampan dan segar. Bersiap untuk pergi ke tempatnya bekerja. Kegiatan yang sudah cukup lama ia kerjakan setelah pulang sekolah.

"Lo mau ke mana?" Tanya Raden ketika di ambang pintu kamar. Laki-laki itu baru saja terbangun dari tidurnya. Saat jam pelajaran tadi, asma-nya kambuh. Jadi Radit yang menyuruhnya pulang dan beristirahat.

"Mau kerja kelompok, Kak." Jawab Radeya bohong. Cowok itu memang tidak pernah jujur jika selama ini ia bekerja. "Emangnya kenapa?"

"Kerja kelompok mulu lo! Sini kek, pijitin gue. Badan gue pegel-pegel nih!" Raden memegang kedua bahunya. Merasa bagian itu kaku dan pegal karena saat liburan memilih tidur seharian.

"Maaf, Kak. Tapi aku enggak bisa. Soalnya kali ini kerkomnya penting. Nanti aja, ya? Pas aku pulang," jawab Radeya memelas. Tapi tak digubris.

Raden berjalan mendekat, dengan sorot amarah. Tiba-tiba, cowok itu menarik kerah baju adiknya kuat. Sampai si empu terkesiap dan merasa sesak.

"Bisa-bisanya lo nolak permintaan gue? Udah berani?" Sentaknya tepat di depan wajah Radeya. Ia semakin mengencangkan tarikan tangannya, supaya Radeya menuruti keinginannya. "Nurut gak lo?"

"K-kak, please jangan. Uhuk, uhuk! Sakit," Radeya berkata terbata. Tangannya berusaha melepaskan tangan Raden, namun tenaganya jauh lebih kecil. Jujur, luka yang melintang di lehernya dan bekas tamparan Radit tempo hari masih belum sepenuhnya hilang, Raden justru menambah luka itu.

"Gue bakal lepasin, kalau lo mau nurutin apa yang gue mau!" Raden menekankan katanya di akhir. Lalu semakin membiarkan sang adik kesulitan bernapas.

Radeya menggeleng, ia tak mampu mengambil udara sama sekali. Bagaimana ia harus menjawab perkataan Raden? Sementara dirinya saja tak mampu mengeluarkan suara.

"Jawab, anjing! Jangan lo makin mancing emosi gue!"

Radeya perlahan mengangguk. Dengan sangat terpaksa, ia harus mengiyakan permintaan Raden. Barulah Raden mau menjauhkan tangannya.

Radeya meraup udara dengan rakus. Cowok itu memukul dadanya berulang kali, dirasa bagian tersebut seperti tidak bekerja. Sangat sakit dan sesak.

"Padahal yang asma itu Kakak, tapi kok aku yang bengek sih?" Radeya membatin, seraya menenangkan perasaannya.

Raden berjalan lebih dulu, menghampiri sofa dan tengkurap di sana. Ia membiarkan Radeya yang sedang berusaha mengambil oksigen. Raden sengaja melakukan itu, agar Radeya tahu, bagaimana sakitnya ia saat pasokan udara tak mampu masuk ke paru-parunya.

"Cepetan!"

"Iya, Kak. Sebentar, aku mau ngabarin temenku dulu." Radeya melepaskan ranselnya. Mengambil ponselnya di sana, mengirim pesan kepada pemilik kafe tempatnya bekerja, untuk datang sedikit terlambat.

"Emang lo punya temen?" Gumaman Raden yang diiringi kekehan di akhir itu, mampu Radeya dengar. Namun Radeya tak menyangkal itu, karena memang begitu kenyataannya.

Setelah mengabari boss-nya, Radeya dengan cekatan memijat Raden. Cowok itu mengerjakannya dengan senyuman, karena kalau kata Bibi Ima --ART-nya yang dulu-- jika mengerjakan sesuatu, kalau bisa diiringi dengan senyuman. Supaya membawa berkah untuk yang mengerjakan itu.

Pena itu Rumah [REST]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum