O4 ; Rindu Ibun

52 8 6
                                    

Tujuh tahun silam, tepatnya saat Radeya berumur sepuluh tahun. Saat itu, Radeya sedang merayakan ulang tahunnya yang ke-sepuluh. Dengan acara kecil-kecilan bersama keluarga kecilnya, semuanya tampak tersenyum bahagia.

Tidak ada hal yang membuat Radeya takut. Tidak ada yang membuatnya terluka. Saat itu.

"Yeay! Adey udah sepuluh tahun. Udah gede kamu, nak. Sini, kecup Ibun, Sayang." Kata Eva yang kala itu sangat antusias. Kemudian Radeya mengecup Eva cukup lama. Sampai dua manusia yang lain iri, dibuatnya.

"Ibun doang nih, yang dicium? Ayah enggak?" Tanya Radit menaruh cemburu sambil memanyunkan bibir. Tetapi tidak dihiraukan putranya. "Oke, nggak pa-pa. Hadiahnya Ayah ambil lagi aja." Godanya sambil berusaha meraih kotak kadonya dari Radeya. Lantas Radeya tertawa geli, kemudian mencium pipi Radit.

"Kakak mana?" Raden pun menyahut. Ia memberikan pipi kanannya pada Radeya. Yang saat itu justru dicubit gemas oleh Radeya. "Ish, kok malah dicubit sih? Nggak suka ah, Adey nakal nih, Bun!"

"Sayang, nggak boleh gitu sama Kakak. Kan Kak Raden juga mau dicium sama Adey." Kata Eva dengan sangat lembut menyapa pendengarannya.

Radeya berhenti tertawa, "Adey gemes sih, sama Kakak. Ya udah sini, aku cium." Hendak mendekatkan bibirnya, bibir Radeya justru ditepuk pelan oleh Raden. Dia merenggut kesal. "Tuh 'kan, Bun. Kak Raden nakal juga, nggak mau ah!"

"Yaa habisnya tadi kamu hancurin kebahagiaan aku. Hehe, rasain." Radeya hendak membalas, tetapi Radit keburu menyahut.

"Sudah, sudah, hei. Kok jagoan Ayah pada berantem sih? Nggak boleh begitu, nak." Kata Radit dengan mengusap kepala dua putranya yang botak. "Jadi saudara itu harus saling menyayangi."

"Benar itu, kata Ayah." Eva pun menyahut. "Jangan sampai kalian kalau udah besar juga masih berantem. Harus akur, ya, nak?"

Keduanya terdiam, setelah saling melempar tatapan tajam.

"Apalagi nanti kalau Ibun udah meninggal. Kalian jangan sampai ada perselisihan, ya?"

Setelahnya, tidak ada yang membalas. Sebab kedua bocah botak itu memanyunkan bibirnya. Radit, yang paham situasi, dengan buru-buru menjawab.

"Bun, ngomong apa sih?"

Eva tersenyum, melihat kedua botaknya yang menjadi bersedih karena ucapannya. "Iya, maaf ya, nak. Ibun ngawur banget ngomongnya. Maaf, ya?"

"Adey kangen sama Ibun," lirih Radeya kala melihat bingkai foto Eva yang terpajang dengan cantik di meja belajar-nya. "Maaf, kalau sekarang ini, Kakak sama Adey kurang akur."

Radeya tertunduk, seraya memainkan buku harian-nya yang dihadiai oleh Eva.

Namun satu hal membuat pikirannya melayang hingga kemana-mana. Tentang alasan yang –mungkin, Radit dan Raden punya lantaran menjadi kurang menyukai kehadirannya.

Perbedaan sikap mereka dari Ibun masih ada hingga pergi meninggalkan mereka, begitu drastis. Sampai Radeya sendiri selalu berpikiran, apa kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu.

"Bukan tanpa sebab mereka kayak gini. Semenjak Ibun meninggal, semuanya berubah." Kata Radeya dengan mendongak, "aku cuman takut, kalau alur cerita yang pernah aku baca di novel, ternyata kejadian juga di aku."

¹

Raden duduk termangu di sebuah taman kecil yang dulu selalu Ibun tanami tumbuhan. Namun sekarang tidak lagi. Bahkan taman itu bukan lagi berbentuk taman. Melainkan tempat menjemur pakaian yang biasanya ada di belakang rumah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 22, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pena itu Rumah [REST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang