O3 ; Papa Nggak Marah

67 10 1
                                    

Sebuah pena yang menari-nari di atas kertas itu, mampu membuat si pengendalinya tersenyum. Dia Radeya, yang saat ini sedang menunggu kedatangan seseorang. Dari pada hanya plonga-plongo seperti bocah ilang, ia memilih untuk menulis sesuatu di buku hariannya.

Entah. Saya, kamu, dan kita semua tidak tahu, sesuatu apa yang tertulis di sana. Mungkin curahan hatinya, ceritanya, atau yang lainnya.

Radeya sangat menyukai menulis. Katanya, menulis itu hal yang sangat menyenangkan. Dia juga seperti berteman baik dengan keduanya; buku dan pena. Di mana pun Radeya menemukan mereka, jika ia sedang tidak melakukan kegiatan, maka ia akan selalu menulis.

Menulis sesuatu apapun di sana. Termasuk harapannya ke depan.

"Ya, aduh, sorry ya. Gue telat. Lo jadi kekunci gini 'kan." Kata seseorang dengan tergesa menghampiri Radeya dan membuka pintu kafe.

Radeya mengangkat kepala, kemudian tersenyum. "Enggak kok, nggak masalah juga. Aku baru nunggu di sini, sambil nulis." Katanya sambil celingukan. "Lho, Kak Raka ke sini naik apa?"

Raka meletakkan telapak tangannya ke depan. Meminta waktu untuknya menetralkan napas.

"Okay, okay. Tarik napas, hembusin pelan-pelan," titah Radeya sembari membuka tas ranselnya. "Nih Kak, minum dulu." Katanya seraya memberikan botol minumnya.

"Makasih," Raka menegak airnya hingga tandas, menyisakan botol biru milik Radeya. "Yah, abis. Sorry ya, Ya. Gue habisin,"

Radeya menggeleng dengan mengambil botolnya. "Nggak pa-pa. 'Kan nanti bisa minta air di Kakak." Maaf

"Iya juga,"

"Jadi?" Tanya Radeya mengingatkan.

"Hah?" Raka mengerutkan dahi. Yang membuat Radeya menepuk keningnya pelan.

"Kakak ke sini naik apa?"

"Oo, iya," jawabnya sambil menoleh sekitar. Kemudian Raka memutar bola matanya malas. Melihat kedatangan seseorang dari arah depan. "Tuh, belakang lo."

Belum sempat Radeya menoleh, bahunya lebih dulu ditepuk seseorang. Sampai Radeya terjengit kaget.

"Hai, Deya!"

Sapaan itu, pertama kali dia dengar. Tujuh belas tahun Radeya hidup, baru kali ini ada yang memanggil namanya demikian. Biasanya, kalau tidak lengkap, ya Raya.

"Deya?" Raka menautkan alisnya bingung. "Oo, lo kenal Radeya? Haaa, gue tau!" Raka mendekat ke samping kiri kepala Nadiya. "Lo mau caper pasti, sama Radeya. Makanya lo nyuruh gue bawa lo ke sini."

Nadiya tersenyum jahil, kemudian menyuruh Raka diam. "Jangan cepu dan sok tau, please! Gue bukan mau caper, btw. Orang kita baru kenal. Ya nggak, Dey?"

Keduanya menatap Radeya, yang masih melamun. Jangan tanyakan, cowok itu kenapa? Yang jelas, dia salah tingkah mampus, kaget, senang, bahagia, dan sebagainya.

Katakan lebay, namun begitu lah kenyataannya. Radeya jarang dekat dengan perempuan, oh, terhitung tidak pernah, bahkan. Sebab itu, hatinya seakan terombang-ambing karena Nadiya.

Cewek yang baru ia temui beberapa menit lalu.

"Dey!" Tepukan di bahu kiri, lagi-lagi membuat jantung Radeya hampir merosot. "Hobi lo, ngelamun, ya?"

"Iya-- eh, enggak! Hehe, maap." Radeya menggaruk tengkuk yang tak gatal. Malu. Aduh, sudah pasti cewek itu ilfeel padanya.

Nadiya menggeram gemas. Ingin sekali dia mengacak-acak rambut dan pipi Radeya sampai puas.

"Dih, ngapa lo?" Heran Raka melihat tingkah adiknya yang tidak biasa. "Stres."

"Bacot lo, bye!" Nadiya mengalungkan tangannya ke tangan kiri Radeya. "Ayok, Dey, masuk. Kamu pasti capek, kedinginan, trus haus." Nadiya membawa Radeya masuk ke kafe. Tanpa menghiraukan Raka yang sudah ingin muntah.

Pena itu Rumah [REST]Where stories live. Discover now