68 - The Reason

782 94 11
                                    

Malam ini, aku menikmati satu mangkuk besar berondong jagung sambil memangku laptop. Tidak ada yang lebih nikmat dari bersantai di kamar, bersandar pada tumpukan bantal serta selimut membungkus separuh tubuh. Masih kurang satu lagi sebenarnya, tayangan film. Akan lengkap rasanya jika laptopku saat ini menampilkan adegan film dan bukan wajah Alby.

"Kapan-kapan aku akan mengajakmu ke sini, Ava."

Aku hanya tersenyum untuk merespons ucapannya. "Ketika waktunya tiba, kita sudah selesai, Alby. Benar-benar sudah selesai. Dan kau tidak akan menemukanku di mana pun."

"Menurutmu kau bisa lepas semudah itu dariku?"

Aku berdecih, andai dia berada di hadapanku sekarang, wajah penuh percaya diri itu pasti sudah kulempari berondong jagung. "Kau menyebalkan, Alby. Harusnya kututup saja panggilan ini."

Wajah Alby seketika berubah masam, jelas terlihat kalau dia kelelahan. Salahnya sendiri tetap kukuh ingin meneleponku malam ini meski di sana sudah jam dua dini hari. Dia membuatku harus menerima telepon darinya karena tidak berhenti menelepon.

"Jangan begitu. Memangnya kau tidak merindukanku, hm?"

"Sama sekali tidak." Dan saat mengatakannya, aku hanya menunduk menatap berondong jagung, tidak ingin dia sadar kalau sedang berbohong. "Kau betah di sana?" Aku buru-buru bicara lagi sebelum dia mulai menggodaku--seringai yang dia tunjukkan cukup untuk membuatku yakin kalau dia akan melakukannya.

"Di sini bagus, tapi rasanya ada yang kurang."

"Apa?"

"Tidak ada dirimu. Kurang lengkap mengunjungi negara-negara romantis tanpa pasangan."

Sial. Wajahku sukses memanas karena ucapannya. Selama berinteraksi dengan cara seperti ini--chat, video call, telepon--aku seperti menemukan lebih banyak kepribadian yang Alby miliki. Salah satunya, dia adalah penggoda. Tidak peduli sekuat apa aku berusaha menganggap dia hanya sedang membual, aku tetap tidak mampu menahan jantungku agar tidak berdebar.

Berjauhan seperti ini bukannya mengikis perasaan, tetapi justru terus menumbuhkannya. Aku penasaran, apa hal ini juga berpengaruh sesuatu pada Alby? Tidak adil kalau hanya aku yang mengalaminya.

"Bagaimana harimu? Apa terjadi sesuatu yang menarik?"

"Seperti yang kubilang, aku bekerja seperti biasa dan pergi belanja bersama Pete. Kami mampir sebentar untuk makan malam dan pulang. Bagaimana denganmu?" Mungkin karena sudah terbiasa, obrolan seperti ini terasa lebih mengalir.

"Takada yang menarik. Tapi semuanya berjalan lancar, bahkan lebih cepat dari yang terjadwal. Aku ingin segera pulang karena ingin bertemu denganmu."

Aku sukses dibuat menganga karena dia. Alby tertawa geli di seberang sana. Sudah kuduga dia hanya sedang menggodaku. Seharusnya aku tidak langsung melibatkan hati untuk menerima kata-katanya.

"Memangnya apa yang akan kaulakukan setelah kita bertemu?"

Sekarang dia tampak berpikir dan kurasa itu sangat lucu.

"Pertama aku akan menemuimu, lalu memelukmu, dan ketika kau mulai lengah, aku akan menciummu. Karena itu saja tidak akan cukup untuk melepas rindu, bayangkan saja apa yang terjadi setelahnya."

"Mesum!" Aku langsung menyahutinya seperti itu dan mulai kesal. Dia membuatku membayangkan semuanya; sentuhannya, hangat yang menguar dari tubuhnya, sampai bibirnya yang lembut dan padat berisi. Sayangnya, aku tidak bisa memikirkan sesuatu yang lebih dari itu. Udara mendadak membuatku jadi sangat gerah meski aku tidak menyentuh remote AC.

"Siapa yang mesum di sini? Kau yang memikirkannya, Ava. Pengaruh berdekatan denganmu memang separah itu."

"Benar, kau memang mesum. Kau bersikap seperti kita adalah pasangan sungguhan."

Heart to Break [✔]Where stories live. Discover now