Bab 23| Sweet Home

557 46 0
                                    

~Sejauh kaki kita melangkah, jalan yang ditempuh tetaplah menuju ke rumah~

(As-Sana)
***
Bandara Internasional Berlin Barat, 19 Februari 2005

Dua minggu setelah perjodohan Kaisar dan Anjani ditetapkan. Di Berlin pemuda bersyal merah hati dengan sweter hangat bercorak belang sedang menunggu jadwal keberangkatan pesawat terbang yang akan dilakukan satu jam lagi.

Musim winter akan segera berakhir yang ditandai dengan melelehnya salju di tepi jalan masuk bandara ketika mereka memasuki kawasan ini tadi.  Jefri menemaninya sambil mengecek kembali barang-barang penting sang keponakan.

Petugas bagian official penerbangan juga telah mengumumkan pada para penumpang yang akan melakukan perjalanan ke Asia untuk bersiap, karena pesawat akan segera berangkat. Jefri memeluk Rayandra sebagai salam perpisahan, mengusap punggung pemuda itu yang lebar.

“Kau tahu, Paman sangat menyayangimu sama seperti Kaisar. Bagi Paman kalian berdua sudah seperti anak Paman sendiri.” Jefri melepas pelukannya menatap lekat-lekat sosok pria dewasa yang ia besarkan sejak kecil.

“Jaga dirimu baik-baik, sampaikan salam juga pada Kusuma, Liam Suni, dan Kaisar. Lain kali Paman akan berkunjung ke Indonesia,” pesannya memegang dua tangan Rayandra yang hangat terbungkus sarung tangan.

Rayandra mengangguk berpamitan, ia menyeret kopernya menuju tempat check in. Namun, baru lima langkah ia menapakkan kaki. Suara melengking seorang gadis memanggilnya dari belakang. Dia Annelise Johnson -- teman seangkatannya di Departemen Ekonomi dan Bisnis.

“Ray …!”

“Ray …!”

Rambut gelombang keemasan gadis itu bergoyang, tangannya melambai mengisyaratkan pada Rayandra untuk berhenti. Dalam jarak kurang dari setengah meter Annelise menerjang Rayandra, memeluknya erat.

Perempuan itu menitikkan air mata sambil mengomel, “Bagaimana kau bisa sejahat itu tidak memberitahuku kalau kau akan ke Indonesia sekarang?” murkanya memukul-mukul dada Rayandra.

“Jika bukan karena Profesor George bilang kamu akan kembali ke Asia pekan ini, aku mungkin tidak akan pernah tahu dan …” ucapan Annelise tercekat di tenggorokan.

“Maaf Annelise, aku bersalah.” Rayandra menepuk kepala perempuan yang ia anggap sebagai sahabat.

Annelise berhenti mengeluh lalu mencebikkan bibir, dia menghapus bulir bening di pipi. Kemudian  merogoh saku mantelnya memberikan buku catatan kecil pada Rayandra. “Kau janji harus membacanya saat tiba di Indonesia,” perintah Annelise memasukkan buku yang merupakan diary-nya ke dalam saku Rayandra.

“Sekarang pergilah, aku akan menyusulmu ke sana jika waktunya sudah tepat,” pinta Annelise mendorong tubuh Rayandra menjauh.

“Maksudmu?” tanya Rayandra memiringkan kepalanya sampai poni rambutnya sedikit menutupi mata.

“Jangan banyak bertanya, pesawatmu akan segera berangkat.” Annelise mendorong koper Rayandra lebih dulu sampai di tangan petugas bandara sebelum sang empunya berada di sana.

Gadis itu tersenyum lebar, melambaikan tangan melihat sosok lelaki yang mampu membuat jantungnya berdebar tak karuan selama dua tahun terakhir ini.

Annelise sadar ia telah menyukai sahabatnya itu secara diam-diam, kebersamaan mereka dibangku perkuliahan mampu menumbuhkan rasa yang berbeda di hati gadis berkebangsaan Perancis tersebut terhadap Rayandra.

Dia menyaksikan bayangan Rayandra menghilang dari pandangan. Setelah pemuda yang ia sukai benar-benar pergi Annelise menangis lagi meminjam bahu Jefri yang kebetulan berdiri di sampingnya. “Bagaimana ini Paman? Aku melepaskan orang yang aku paling cintai,” keluhnya mengadu pada Jefri yang menatapnya bengong tak berkedip.

“Paman!” kesal Annelise menginjak kaki Jefri yang tampak melamun.

“Paman tidak mendengar apa yang aku katakan?”

“Memangnya kamu bilang apa?”

“Menyebalkan!” rajuk Annelise meninggalkan Jefri terlebih dahulu.

Annelise berjalan gugup meremat mantelnya, ia berharap Rayandra akan membaca buku diary-nya dan mengetahui perasaan yang ia simpan untuk pemuda itu. Annelise ingin Rayandra tahu bahwa ia menyayangi pria tersebut bukan hanya sebatas sahabat, akan tetapi lebih dari itu. Ia mencintai Rayandra seperti seorang kekasih.
***
Surabaya, 20 Februari 2005

Di depan gerbang Sekolah Dasar perempuan berseragam waskat cokelat tua menenteng sebuah belanjaan, sepatu olahraga, dan kotak bekal makan. Sesekali wanita itu akan menunduk ketika orang-orang melewatinya memasuki area sekolah.

“Ibu!” panggil bocah berbaju merah putih yang berlari ke arahnya.

Lestari mengangkat kepala, merentangkan tangan memberikan pelukan. “Kenapa tidak masuk ke dalam?” tanya Nico meraih tangan sang ibu mencoba mengajaknya ke halaman yang biasa digunakan untuk upacara di hari Senin.

Namun, dengan cepat Lestari menolaknya. “Ti-tidak Nico, Ibu di sini saja.” Nico menaikkan alis merasa heran, ibunya tetaplah seorang pemalu.

“Ehm …, Ibu datang ke mari ingin memberikanmu ini.” Lestari menunjukkan sepatu olahraga dan bekal makannya. Nico menepuk jidatnya menyadari kalau ia lupa membawa barang berharga yang selalu Rayandra siapkan ketika ia masih di taman kanak-kanak.

“Astaga! Nico lupa, sini biar Nico pegang. Kak Ray selalu bilang untuk makan tepat waktu.”

Lestari langsung merampas bekal yang dipegang Nico, sehingga tanpa sengaja semua makanan dan lauk pauk yang ada di dalamnya jatuh berceceran.

“Jangan menyebut nama lelaki itu Nico! Kau harus melupakannya!” tukas Lestari dengan nada bergetar hebat. Ekor matanya melirik ke kanan dan kiri mencari seseorang di sana, jari-jemarinya terus bergoyang mengigiti kukunya seperti orang yang terkena tekanan mental.

Nico yang melihat semua bekalnya jatuh bercampur dengan tanah segera memungutinya. Namun, buru-buru Lestari mencegahnya, “Ibu akan memberimu uang untuk membeli makanan. Ini sudah kotor.” Nico bergeming, menepis tangan sang ibu yang melarangnya.

“Ibu selalu saja melakukan ini. Setiap kali Nico menyebut nama Kak Ray, Ibu menjadi marah. Ibu sudah tidak menyayangi Kak Ray lagi. Padahal Nico yakin Kak Ray sangat mencintai Ibu. Dia selalu bilang pada Nico untuk menjaga Ibu saat Kak Ray tidak ada.”

Lestari berdiri membuang sepatu olahraga bersama payung yang sebelumnya ia pegang. Perempuan itu memundurkan langkahnya, ia berteriak ke arah putranya dengan histeris.

“Hentikan Nico! Ibu bilang jangan membicarakan dia lagi!” bentaknya.

“Tapi kenapa?”

“Kalau Ibu bilang jangan ya jangan! Kamu tidak perlu tahu alasannya! Lupakan Rayandra!”

Nico memunguti makanannya, mengambil kotak bekalnya dan sepatu olahraganya. Kemudian bocah itu menundukkan kepala, berlari kencang memasuki halaman sekolah. Meninggalkan Lestari sambil terisak.

“Ibu jahat!” serunya.

Lestari terduduk lemas menekuk lututnya, ia cuma melihat bayangan Nico yang menabrak teman sebayanya di lorong kelas. Dada Lestari sesak, air matanya terjatuh, ia sadar dirinya telah membentak Nico lagi sama seperti hari-hari kemarin.
***
~Bersambung

Suamiku TunanetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang