Bab 24| Kemarahan Anjani

687 50 1
                                    

~Harga diri seorang istri juga terletak pada sang suami~

(Anjani Mahendra)
***
Zain berlari memegang koran dalam genggamannya, surat kabar utama yang menuliskan berita tentang pernikahan model papan atas dengan putra pertama pengusaha real estate  yang akan dilangsungkan akhir bulan ini. Dalam narasi berita tersebut dijelaskan secara rinci bagaimana hubungan kedua perusahaan Mahendra dan Kusuma.

Lelaki yang senang memainkan kuas riasan itu menjerit seperti orang kesetanan, ia berlari tunggang langgang menghampiri Anjani. Rol rambutnya sampai copot terjepit daun pintu.

“Gawat Sweaty! Ini benar-benar gawat!” mulut Zain mendesis sampai air liurnya hampir menetes mengeluarkan bisa ular. Header  kolom berita ini akan menjadi momok utama dalam majalah Beauty Fashion Style yang Anjani bintangi.

“Hmm,” Anjani memutar kursi duduknya, menatap datar penata riasnya tanpa ekspresi.

“Aduh Sweaty! Kenapa kau menikah tanpa memberitahukan ini pada Bos? Lihat! Kolom berita ini tertulis acara pernikahannya tanggal 28 Februari!” Zain menunjuk-nunjuk deret angka dicetak tebal yang dihias buket bunga Mawar. Matanya memicing memajukan lembar koran itu, mengambil kacamata pembesar di meja agar Anjani dengan jelas membacanya.

Namun, wanita yang ia ajak bicara cuma memandangnya diam. “Sweaty tanggal itu kau ada pemotretan di Osaka, kalau Bos tahu kau memilih tanggal yang sama dengan hari pernikahanmu sama saja kau membuat Bos membatalkan kontrak kerja!” omelnya mengguncang bahu Anjani sekuat tenaga.

“Memang itu yang aku inginkan.”

Zain membuka mulut melihat wajah Anjani tanpa dosa. Pria itu menjambak rambutnya frustasi menghadapi tingkah model wanita satu ini yang selalu saja membuat masalah dengan bos besar. Jika kontrak kerja Anjani dibatalkan maka Zain juga tidak akan mendapatkan upah sepeser pun, gajinya akan dipotong sebagai ganti rugi karena tidak bisa mengawasi Anjani.

“Apa ini?” kedua bola mata Zain membulat.

“Undangan pernikahanku,” tandas Anjani.

Zain langsung bertekuk lutut di lantai. Tamatlah riwayatnya, ancaman dia hemat dua minggu akan benar-benar terjadi, makan mie instan, minum kopi tanpa gula, atau menggigit jari ketika orang-orang sedang berebut diskon membeli alat rias make up keluaran terbaru di plaza. Anjani sungguh tega padanya, tak berbelas kasih sedikit pun.

Sementara hati Zain meronta-ronta meratapi nasib dompetnya  yang akan kekeringan. Sari datang mengamuk memanggil-manggil nama sang keponakan. Garis keriput yang mulai muncul bertambah tegas setelah membaca koran pagi tentang pernikahan anak kakak iparnya.

“Anjani! Anjani!” semua kru mundur tak berani mendekat.

“Anjani!” suaranya naik dua tangga nada oktaf.

Kepala Zain terangkat, mendongak menatap Anjani yang duduk tenang tanpa bergeming. Buru-buru Zain beranjak berdiri, membenarkan posisinya menyembunyikan undangan pernikahan saat Sari membuka pintu ruang persiapan Anjani lebar-lebar.

Sorot pandangan Sari tajam menghunus langsung pada jantung perempuan cantik yang menjadi aset berharga agensinya. Anjani mengambil sesuatu dari tas kecil di punggung kursi, memberikan kartu undangan yang sama untuk sang bibi.

“Jangan lupa untuk datang.” Rahang Sari mengatup rapat, menerima kasar kartu undangan tersebut. “Batalkan! Tidak! Undur saja acaranya, satu atau dua hari!” Anjani tersenyum tipis menutup mulutnya, memangku dagunya di sandaran kursi.

“Tidak bisa, aku harus segera menikah.” Sari mengumpat dalam hati merasa sial karena walau Anjani adalah keponakannya, anak ini tidak pernah menurut pada dia.

Suamiku TunanetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang