Bagian 4

51 4 1
                                    

Akhir pekan terlewati, tetapi rasanya lelah aktivitas selama satu minggu tidak juga ikut menepi. Hari senin, dan kini Rieke sudah sibuk mengelilingi tiap sudut kamarnya secara berulang, mencari keberadaan topi yang akan digunakan untuk upacara.

Sayup-sayup ayam tetangga yang berkokok mulai terdengar, tanda surya mulai mengintip dari kejauhan. "Rie, ini topi kamu Mamah cuci, lupa Mama kasih,"

Rieke yang saat itu tengah membolak-balik tumpukan buku langsung terdiam, menoleh ke arah mama yang berdiri di ambang pintu kamar dengan wajah lelah. "Kenapa nggak bilang toh, Ma?"

Mama meringis pelan, "yo kowe, takon ora karo Mamah?"

Rieke diam, memilih untuk mengambil topi tersebut sembari mengucap terima kasih dan segera menyambar tasnya yang tergeletak di atas kasur yang sudah dia rapi-kan. Mama hendak memberikan uang saku, namun Rieke lebih dulu keluar dari kamar. Walaupun tergolong keluarga dalam ekonomi sulit, mama tidak akan membiarkan anak-anaknya bersekolah dalam keadaan perut kosong, setidaknya menenggak teh manis hangat yang setiap pagi selalu tersedia.

Kiana mengambil tempat di sebelah Rieke untuk ikut sarapan, pagi ini mama memasak nasi goreng tempe orek kesukaan Rieke.

"Mah, hari ini aku ada kerja kelompok, uang jajannya boleh ditambah nggak? Untuk hari ini saja...," Pagi ini dimulai dengan suara Kiana.

Mama tak menjawab, membuat Kiana mendadak lesu tak melanjutkan aksi sarapannya. Rieke berusaha menguatkan diri, berusaha untuk tidak mengalah untuk kesekian kali, Kiana juga harus tahu bahwa tak semua kebutuhannya harus selalu terpenuhi. Tetapi melihat wajah adiknya itu, Rieke jadi tidak tega, ditambah dia juga punya uang yang cukup untuk jajan.

"Mah, Mamah," suara Kiana kembali terdengar, berbarengan dengan derit pintu kamar Mas Setra yang terbuka.

"Tumben pagi-pagi sudah rapi, Mas ku ini," Rieke menggoda Setra yang langsung dibalas dengan usapan di kepalanya.

"Ada kelas pagi...," sahutnya cuek sembari duduk berhadapan dengan Rieke.

Kiana mengembangkan senyum, "aku nebeng dong, Mas...,"

Setra melirik sekilas, juga tak menjawab Kiana. Gadis SMP itu semakin murung, ada apa dengan mama dan mas Setra yang mendadak mendiamkannya?

"Rie, berangkat sekolah mau diantar?"

Rieke tersedak teh hangat yang sedang dia tenggak, Kiana ikut menegak dengan ekspresi wajah yang begitu kentara sekali bahwa gadis itu merasa tersinggung. Mama yang baru kembali dari dapur memandangi itu dengan tatapan bingung.

"Ra usah, aku mbudal nebeng Rizza, numpak motor belalang sembah kui," Rieke dengan cepat menyelesaikan sarapannya, kemudian segera berdiri. Dia bahkan belum mengatakan pada Rizza akan menumpang laki-laki itu, pun juga belum pasti apakah hari ini Rizza mengendarai motor.

"Aku yang mau nebeng, kok Mbakyu yang ditawari toh, Mas?" Kiana memerotes, membuat mas Setra melirik malas padanya, walau sedetik kemudian tersenyum meledek.

"Iyo-iyo, guyon tok lho,"

Tanpa mau mendengar lebih jauh percakapan mad Setra dan Kiana, Rieke segera menuju ke teras dan memakai sepatu. Mama menyusul sembari memberikan sejumlah uang yang kalau sekali lihat tentu tidak sedikit.

"Ini, uang jajan sekalian bayaran sekolah, Mamah bingung sekolah mu iku bayaran tapi kamu ndak pernah minta uang ke Mamah atau bapak untuk bayar,"

Rieke menggeleng, "nggak usah, Ma. Uang jajan ku tambahin buat Kiana saja."

Mama menggeleng tegas, "enggak, Kiana sudah ada jatah jajan sendiri."

Sun(ri)se [✓]Where stories live. Discover now