Bagian 37

20 3 24
                                    

Typo boleh dikoreksi^^
Happy Reading🐨

🌻

Malam yang begitu dingin, sepi, dan gelap. Lampu canting yang sedari tadi menjadi penerangan perlahan-lahan mulai meredup. Rieke duduk terpaku di pondok persawahan Rizza entah sudah berapa kali menghembuskan napas berat.

Sejak pulang bersama Gian yang memang mengantarnya hanya sampai ke depan Indomaret, Rieke memilih untuk berjalan ke rumahnya. Walaupun sebenarnya tanpa Rieke tahu, Gian juga diam-diam berjalan mengikutinya hingga Rieke sampai di depan rumah, kemudian kembali ke mobil secepatnya agar Rieke tidak curiga.

"Ternyata benar ke sini, ya."

Rieke menoleh kaget mendengar suara Arizza yang kini tampak menggunakan hoodie berwarna abu-abu dengan celana selutut andalannya.

"Ini setengah dua pagi, dan kamu sendirian di sini?" Arizza mengambil tempat di sebelah Rieke, "kenapa tidak menelepon aku sih, Riekeeee?"

Rieke terkekeh sembari mengalihkan pandangan, "how could you know me so well, Arizza?"

"Lega bisa ketemu Mas Gian?" Katanya meledek sembari mengusap puncak kepala Rieke.

"Apa sih,"

"Lho iya tah? Saiki wes nemu tempat ngeluh sing anyar yo, Rie?"

Alih-alih menjawab, Rieke lebih memilih untuk diam dan membiarkan kalimat tanya itu memenuhi langit-langit pondok.

"Pulang, yuk, Rie? Sudah malam, udara malam tidak baik untuk kesehatan."

Helaan napas kembali terdengar, "aku tadi sudah pulang, tapi dari dalam rumah kayaknya lagi pada nangis, jadi aku mau menunggu sampai tenang dulu."

Arizza tidak tahu hal apa yang terjadi, tetapi mendengar penuturan Rieke, Arizza paham bahwa saat ini keadaan 'rumah' Rieke sedang jauh dari kata baik-baik saja.

"Rie,"

Rieke berdeham.

"Kita ini masih SMA, kan?"

Rieke kali ini menoleh dengan wajah penasaran yang terlihat samar karena tertelan kelamnya malam.

"Iya,"

Dapat dilihatnya senyum Arizza yang mengembang perlahan, "kalau begitu berarti kita masih remaja, emosinya belum stabil, pikirannya juga belum rasional. Jadi, kalau kita mau bertindak sedikit kekanakan, kayaknya sah-sah saja."

Rieke masih diam sembari menunggu kalimat yang akan dilontarkan Arizza.

"Berpikir bijak, mengambil langkah dewasa, memang kadang perlu dilakukan untuk menjaga keadaan. Tetapi, kalau dirasa memang hal tersebut di luar kemampuan kita, kayaknya enggak apa-apa juga kok, kalau mau mengambil langkah lain yang mungkin akan terlihat kekanakan, that's really okay."

Arizza menatap Rieke pekat, "dari kamu yang dulu lebih tinggi dibanding aku, sampai sekarang tinggi mu enggak lebih dari dagu ku, sudah banyak sekali perubahan kecil maupun besar yang aku rasakan. Kamu yang ceria, kamu yang cerewet, kamu yang kadang emosian, bahkan kamu yang kadang bisa manja sekali, aku sudah melihat semuanya. Sampai sekarang, kamu jadi lebih diam, kamu lebih banyak mengalah, kamu yang bahkan hampir tidak pernah mengeluh, juga kamu yang kadang menyakiti dirimu sendiri dengan kekhawatiran tanpa ujung mu itu, aku juga menyaksikannya."

"You know, Rie, dari semuanya, aku tidak pernah merasa ada yang salah. Karena ya tiap orang memang akan berubah, jadi perubahanmu itu memang hal alami yang menurutku wajar. Tapi Rie, semakin ke sini, aku perlahan merasa tidak suka, why? Karena itu menyakitimu,"

Sun(ri)se [✓]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن