Apatis 01 |Diskriminasi

6 8 7
                                    

Sekolah sama penjara itu sama saja. Mereka yang berada di sini hanya dibatasi tembok dengan kelakuan yang jauh dari kata bebas.

•••

Kalian tahu matahari setelah upacara adalah hal yang paling murid benci apalagi jika mereka harus mendapat hukuman. Bagi beberapa murid lebih baik ia disuruh membersihkan toilet atau gudang daripada berpacaran dengan sang surya di bawah teriknya.

Apatis berdiri berjejer dengan beberapa murid lain di tengah lapangan. Seorang guru dengan rotan sepanjang lima puluh meter berjalan mendekati mereka dengan tatapan tajamnya. Ia guru yang cukup ditakuti dan dibenci oleh sebagian murid bermasalah di sekolah ini.

"Sepertinya saya perlu mengganti hukuman untuk kalian. Hormat bendera atau lari keliling lapangan memang kalian remehkan. Terbukti kalian masih tetap saja terlambat," ucapnya menatap tajam puluhan murid nakal dengan rotan panjang berada di tangan kanannya seolah siap memukul apa pun yang berani menghalanginya.

Mereka mendengus merasa bosan jika harus kembali menghadapi guru tersebut. Guru yang suka sekali membandingkan muridnya. Memberi semangat bagi murid pandai dan kaya namun mencemooh murid miskin dan bodoh. Heran sekali, mengapa ada guru diskriminasi seperti ini di sini.

"Bukankah terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali, pak!" celetukan Panca Cakrawala berhasil membuat atensi guru dengan perut buncit itu mengarah kepadanya.

Ctass!

Tanpa banyak kata satu pecutan rotan berhasil mengenai betisnya membuat sang empu meringis kesakitan dengan tatapan tajam seperti Elang yang siap menikam musuhnya. Bukan pertama kalinya ia di pecut seperti ini, terlalu sering hingga mampu menanamkan dendam pada hatinya.

"Pantaskah seorang berandal seperti kalian membalas ucapan saya?"

Netra tajam miliknya mengedar dari sudut kesudut seolah sedang memindai pikiran mereka. Bukan sekali dua kali guru itu mereka hadapi, mungkin puluhan kali saat mereka datang terlambat dan berhadapan langsung dengan wakil kepala sekolah yang terkenal begitu diskriminasi pada beberapa murid.

"Bukankah kamu seorang siswi? Apa pantas berkelakuan seperti ini di lingkungan sekolah, terlambat datang, membolos, bahkan terlalu sering mendapati kamu dan teman-teman kelasmu itu merokok di lingkungan sekolah."

Mungkin bukan hal umum bagi dirinya diperlakukan seperti ini, tapi entah kenapa kalimat yang ia lontarkan berhasil membuat amarahnya naik ditambah lagi tindakan yang ia lakukan terhadap sahabatnya itu. Oh, atau mungkin ia iri karena tidak bisa melakukan kenakalan dan tidak memiliki sahabat. Ah, ternyata otaknya memiliki pikiran yang membuatnya senang.

"Kalau begitu didik saya dengan didikan pak!" tukasnya tajam lengkap dengan senyuman mengejek sebelum akhirnya sebuah pecutan berhasil mengenai lengan putihnya sehingga meninggalkan bekas yang terlihat begitu kontras.

Ctass!

Melihat itu para sahabatnya ingin sekali menghajar guru tanpa perasaan itu, lihatlah bagaimana ia begitu tega memukul seorang wanita. Kodratnya wanita harus dilindungi bukan disakiti baik fisik atau pun mental.

"Terus saja menjawab dan membela diri. Percuma, karena saya sudah cukup muak dengan kelakuan kalian terutama kamu dan temanmu." Ia berdecih. "Bungkukkan badan kalian! Setelah ini saya yakin kalian tidak akan mengulangi kesalahan yang sama."

Al yang melihat itu mengeraskan rahang. Ia memberi kode pada sahabatnya untuk tidak melakukan apa yang guru gila itu inginkan. Tak perduli apa resikonya bukankah harga diri dan keadilan adalah hal yang dijunjung tinggi di sini.

"Apakah seperti ini cara bapak mendidik murid? Dengan memukul mereka? Bukankah tindakan seperti itu membuat murid berpikir bahwa otot bisa menyelesaikan segalanya," celetukan itu membuat sang guru kembali menatapnya tajam.

"Tau apa kamu tentang pikiran? Kamu sendiri bebal! Sok-sokan ngomongin pikiran," bentaknya dengan nada keras.

"Saya begini juga karena didikan anda!" sarkasnya tersenyum kemenangan ketika berhasil membungkam mulut wakil kepala sekolah itu.

Ctass!

Suara pecutan kembali terdengar kali ini Al yang menjadi sasaran kemarahan guru tersebut. Bukannya meringis kesakitan ia justru menatap berani guru tersebut seolah yang ia lakukan tak berefek apa-apa baginya. 

"Apa harus di pukul seperti ini? Apa memukul murid adalah sebuah kesenangan batin bagi guru? Kenapa harus memukul." Ia menyeringai. "Dari sini saya tahu bahwa sekolah bukan hanya mengajari tentang ilmu dan beberapa hal lain tetapi juga memukul adalah hal wajib dilakukan untuk menunjukkan seberapa hebat dirinya, bukankah begitu?" ujar Arby  satu-satunya siswi yang berada di lapangan kali ini.

Tanpa perduli larangan dari sahabatnya ia tetap menyerukan pendapat yang terpendam dalam benaknya sejak tadi. Sekolah adalah tempat orang yang datang untuk memperdalam ilmu bukan menjadi acuan balas dendam guru terhadap murid. Jika ia memiliki masalah dengan salah satu dari kami maka selesaikan dengan pribadi bukannya dibesarkan seperti seorang anak kecil. Pengecut.

"Lari keliling lapangan sekarang juga setelah itu sapu halaman belakang sekolah!" titahnya tak terbantahkan membawa senyum kemenangan di wajah anak Apatis sebelum menatap penuh dendam tungkai guru itu yang terlihat semakin menjauh.

"Tangan lo gak apa-apa?" tanya Irsyad sembari meneliti lengan Arby yang sempat dipukul dengan rotan itu.

"Pasti sakit, ya?" Timah bertanya prihatin dengan tangan yang mengusap warna kemerahan di lengan gadis itu.

"Gak masalah. Luka ini bisa sembuh dengan sendirinya," balasnya tersenyum menenangkan seolah hal ini bukanlah hal besar yang patut dikhawatirkan berhasil membuat Selatan berdecak kesal.

"Perlu operasi, gak? Gue biayain." Kalimat itu berhasil membuat beberapa murid yang menyaksikan kejadian itu mendengus kesal. Sudahlah kekayaan dan royalitasnya tak akan tertandingi.

"Bubar! Jalanin hukuman!" teriak Panca. Sepertinya jiwa tulusnya sedikit bergejolak jika mendengar Selatan mengumbar kekayaan.

"Pingin bilang sombong, tapi bener. Pingin bilang iri, tapi sadar diri. Dahla," gerutu Irsyad berlari penuh kekesalan.

Mereka lebih memilih menuntaskan tanggung jawab yang diberi oleh guru killer itu. Tidak semua hanya menyapu halaman saja karena jika lari mengelilingi lapangan bisa-bisa kulit mulus yang sudah mereka rawat dengan skincare mahal berubah hitam. Sia-sia perawatan diri mereka selama ini.

°
°
°

°•To be continue •°

  

APATIS  (Selat Apatis) | NovellaWhere stories live. Discover now