➳ n i n e ✧

40 11 0
                                    

Wonyoung duduk dengan lesu di salah satu kursi yang ada di kantin.

Matanya menatap tanpa minat pada sebotol minuman isotonik yang ia ambil sebelumnya.

"Gak ada Rei, gak seru."

"Won Bin juga susah banget diajak maennya."

Si cantik itu mendengus sambil merengek."Kenapa sih sedih amat gak ada temen???"

"Mau gue temenin?"

Wonyoung langsung mendongak, ada Eun Hwi di sampingnya. Gadis itu buru-buru merapikan helaian rambutnya yang acak.

"Eh, iya Hwi, boleh kok." ucap Wonyoung anggun. Bahkan tersenyum malu-malu.

Hwi terkekeh pelan sebelum duduk di kursi yang ada disamping Wonyoung.

"Santai aja sama gue." ucap Hwi dan Wonyoung mengangguk.

Tapi keduanya tidak terlibat pembicaraan apapun setelahnya.

Dikelas 11, Wonyoung tahu jika Rei satu kelas dan sempat dekat dengan Hwi. Apalagi lelaki ini juga adalah sahabat dekatnya Junhyeok.

Wonyoung jadi menduga-duga kalo sekarang Hwi duduk disini bukan untuk menemaninya, melainkan untuk mengetahui kondisi Rei.

Gadis itu menghela nafas.

Gak papa deh, toh bukan dia yang gue suka

"Lo gak papa?"

"Hngg? Enggak kok, emang gue keliatannya kenapa?"

Eun Hwi terkekeh lagi,"Keliatan banyak beban gitu, kayaknya lo kebanyakan mikirin Rei ya?"

"E-eh, iya gitu?" Wonyoung gelagapan.

"Gue bilang kan, santai aja sama gue, Won. Kayaknya, kita baru sekarang ya ngobrol langsung gini?" tanya Eun Hwi.

Wonyoung mengangguk. Dulu dia pikir, Eun Hwi cuma ada buat para fans-nya doang.

"Lo...tumben gak sama Junhyeok?"

Wonyoung mulai membuka pembicaraan. Habisnya kalau diam lagi pun, ia merasa tak nyaman.

"Enggaklah, gak harus setiap hari juga gue sama dia kan?"

"Iya yak, gak kayak gue, Won Bin sama Rei. Dari kelas 10, kita kalo kemana-mana harus bareng-bareng terus."

Wonyoung tiba-tiba jadi ceria. Membicarakan masa lalunya pada orang yang menyenangkan seperti Eun Hwi membuatnya tak kesepian.

Bahkan banyak cerita mengalir dari sana.

Hingga tak terasa, jam istirahat sudah berakhir dan sudah saatnya mereka masuk ke kelas masing-masing.

"Makasih ya, Eun Hwi. Lo udah mau ngobrol sama gue." ucap Wonyoung seraya tersenyum manis.

Eun Hwi mengangguk kecil,"Seru juga ngobrol sama lo. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya. Gue duluan, Won."

Wonyoung melambai-lambaikan tangannya pada Eun Hwi, tak peduli cowok itu sudah menghilang dari pandangan.

"Woy! Ayok ke kelas! Bu Jihyo udah masuk!"

Wonyoung membelalakkan matanya. Ia menatap Won Bin dengan horor."Hah?! Lo kok baru nyamperin gue sih, kambin?!?"

"Huft, sebenernya gue males banget-ADU-DU-DU-DUH!! WONYOUNG! ADUUH! WONYOUNG SAKIT!!!"




























































"Pa,"

Papah Rei menoleh, ia mendekati Rei dan mengelus rambutnya perlahan.

"Ada apa sayang?" tanya papah Rei dengan lembut.

"Papa capek ya? Papa jangan ngurusin Rei terus."

Papah Rei memandang anak tunggalnya itu dengan berkaca-kaca. Melihatnya dengan banyak alat medis seperti ini, mengingatkan pada mendiang istrinya.

"Papa capek, tapi papa gak bisa." Pria paruh baya itu menelan ludahnya sulit.

Matanya menatap nanar pada wajah Rei yang memucat setiap harinya.

"Rei tau? Papa sayang banget sama Rei, papa gak akan pernah bisa berhenti buat ngurusin Rei. Rei anak papa yang berharga, sangat berharga." ucapnya sendu.

Setelah memeluk kepala Rei, sang ayah meneteskan air matanya hingga membasahi kepala anaknya.

"Papa juga papanya Rei yang berharga." tukas Rei. Ia mengusap air matanya juga.

"Papa tau gak? Selama ini, sebenernya aku lebih sayang papa dari pada Junhyeok."

"Aku lebih pengen ngabisin banyak waktu sama papa dibanding sama Junhyeok. Aku bahagia karena ada papa."

"Aku pengen sembuh, buat papa, bukan buat Junhyeok-hiks.."

"Aku gak mau...jadi sumber kesedihan papa juga-hiks-kayak mama."

Papah Rei semakin menenggelamkan anaknya dalam pelukan yang hangat.

Tak kuasa menahan tangis dan semua rasa takut yang menguasainya. Ia tak bisa kehilangan perempuan lagi dalam hidupnya.

Sudah istrinya jangan pula putrinya.

"Halo, Rei, pak Nao?"

Dokter Changmin muncul diambang pintu dengan senyuman manisnya.

Ia berjalan mendekat pada mereka.

"Halo dokter Kyu!" balas Rei dengan cerah.

"Pak, saya..."

Papah Rei mengangguk dan menyingkir dari sana, kembali duduk di sofa yang tersedia di ruang VIP itu.

Sikapnya tenang memperhatikan dokter Changmin yang sedang memeriksa Rei. Meski dalam hatinya ia ketakutan menunggu reaksi sang dokter.

"Nah, Rei kondisi kamu makin bagus dari yang terakhir. Kamu harus rajin minum obat ya, jangan sampai rasa malas bikin kamu lupa sama perjuangan kamu selama ini." nasihat Changmin.

Rei mengangguk patuh dan membaringkan dirinya kembali.

"Boleh istirahat dan tidur kan dok?"

Papahnya langsung berdiri dan mendekat dengan cepat.

Wajahnya berubah pias tetapi dokter Changmin hanya menggeleng kecil.

Pria itu mengusap rambut Rei,"Boleh dong. Istirahat yang cukup juga bisa membantu kamu sehat dan kuat buat pergi ke sekolah lagi."

Changmin beralih pada papa Rei.

"Saya pamit ya?"

"Iya dok,"

"Dah dokter Kyu!" seru Rei membuat dokter Changmin tersenyum sembari melambai kecil.

Melihat Rei membuatnya menjadi emosional setiap saat. Perasaan berat pun menghinggapinya saat mengisyaratkan agar papah Rei menyusul ke ruangannya.

Pria itu harus mengatakan hasil yang sesungguhnya mengenai kondisi kesehatan Rei.

Because of you[✓]Where stories live. Discover now