Prolog

95 22 95
                                    

Sebuah kota kecil, daerah yang tak pernah muncul di layar televisi karena kekumuhannya. Tempat dengan tingkat kriminalitas tinggi dan sebagian besar penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Tepat di sebuah sekolah menengah pertama, seorang guru sejarah dengan gaji bulanan di bawah upah minimum rakyat tengah mengajar murid-murid kelas 2 SMP yang belum tentu bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA.

Bunyi derit dari kapur yang bersinggungan dengan papan tulis memenuhi seisi kelas. Guru tersebut meletakkan kapur yang sudah sependek ibu jari itu ke sudut papan tulis, sebelum berbalik menatap penjuru kelas yang hanya diisi oleh kurang dua puluh murid. Untuk sesaat perhatian Guru tertuju pada jam dinding di bagian belakang kelas, tetapi dia langsung menyadari kalau jarum pada jam itu tidak bergerak sama sekali, entah karena baterainya habis atau memang sudah rusak.

Guru hanya mengembuskan napas berat, sejak dulu memang fasilitas di sekolah ini serba kekurangan, keran air macet di toilet pun tidak pernah dibenahi sampai sekarang. Bukan karena pihak sekolah yang mengkorupsi, tetapi sekolah ini memang kekurangan dana. Beberapa tahun terakhir dana bantuan dari pemerintah tidak masuk sepeserpun, cuma ada segelintir uang yang hanya cukup untuk menggaji para guru dengan upah yang amat rendah. Mau meminta uang dari para murid juga rasanya tidak etis, mengingat kebanyakan penduduk kota ini berstatus ekonomi menengah ke bawah.

Tak pikir panjang Guru mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Sebuah ponsel tua dengan layar retak dan baterai kembung, melihatnya masih bisa menyala saja sudah sangat beruntung. Waktu di ponsel menunjukkan pukul tujuh belas lewat empat puluh lima menit. Guru menutup ponsel, lalu kembali menyimpannya di dalam saku.

"Beberapa menit lagi waktunya pulang. Ada yang mau ditanyakan? Kalian boleh tanya apa saja," ucap Guru.

Seorang murid lelaki yang duduk di bangku paling belakang mengangkat tangan kanannya.

"Ya, Ian?"

"Akhir-akhir ini aku sering menonton berita di televisi. Apa kita akan baik-baik saja?" Entah hal buruk macam apa yang menimpanya hari ini, Ian bertanya dengan tampang muram.

Guru berpikir sejenak, beberapa detik kemudian dia baru menjawab, "Apa maksudmu tentang ketegangan dengan negara tetangga?"

Ian hanya membalas dengan satu anggukan.

"Tidak ada yang tahu pasti ke depannya akan jadi seperti apa. Tapi berita di televisi makin hari memang makin seram, ya? Pemerintah kita dengan pemerintah negara tetangga tampaknya sedang berseteru keras. Kita berdoa saja, semoga tidak ada hal buruk yang terjadi." Guru tersenyum getir.

Ian mengangkat tangannya lagi. "Apa kita akan melewati masa-masa perang seperti yang selalu Bapak jelaskan di kelas?"

"Bapak agak tidak enak mengatakannya. Iya, itu kemungkinan terburuk yang mungkin saja terjadi."

Lonceng pertanda jam pulang sekolah berbunyi. Sama seperti murid-murid lain, Ian bergegas meninggalkan kelas, lalu berjalan menuju gerbang sekolah. Tampak para wali murid sudah berkumpul di luar gerbang, menunggu kedatangan anak-anak mereka dan bersiap untuk mengantarnya pulang. Bahkan di antara wali murid itu, tidak sedikit yang rela meninggalkan pekerjaannya sejenak, demi menjemput anak-anak mereka.

Tidak seperti teman-teman sekelasnya yang dijemput oleh orang tua, Ian melangkah pulang ke rumah seorang diri. Hubungan antara Ian dan kedua orang tuanya sangat renggang, jangankan mengantar pulang sekolah, bertegur sapa seminggu sekali pun hampir tidak pernah.

Ian menyusuri tepi jalan yang dipenuhi polusi dari asap kendaraan, dan suara bising klakson yang terus bersahut-sahutan. Bau busuk dari sampah yang tercecer di tepian jalan, serta bekas kencing dan kotoran dari para gelandangan sudah menjadi hal yang biasa bagi Ian. Tumbuh dan menghabiskan masa kecil di kota seperti ini benar-benar terasa seperti mimpi buruk.

Tanpa sengaja selembar kertas kusut yang terombang-ambing oleh angin menabrak kaki Ian. Didominasi rasa bosan dan penasaran, Ian memungut kertas itu. Setelah dibaca, sesuai dengan dugaan Ian, rupanya kertas itu berisi informasi tentang orang hilang.

Orang hilang yang ada di kertas itu bernama Maria, wanita berusia delapan belas tahun, seorang siswi SMA, dan terakhir kali terlihat menggunakan seragam di jam pulang sekolah. Perhatian Ian tertuju pada tanggal yang tertera di atas kertas, wanita itu telah menghilang selama lebih dari satu tahun.

Di bagian bawah terlampir foto Maria yang sedang mengenakan seragam sekolahnya sambil tersenyum manis. Satu hal yang amat menarik bagi Ian adalah fakta bahwa Maria ternyata seorang heterokromia, mata kanannya berwarna hitam sedangkan mata kiri berwarna biru.

Ian berempati, kasihan sekali wanita secantik Maria harus menjadi korban penculikan. Sudah sejak lama terjadi banyak kasus penculikan di kota tempat Ian tinggal, lebih parahnya lagi tak ada satupun korban menghilang yang berhasil ditemukan hingga detik ini. Tidak mengherankan jika banyak orang yang khawatir berpergian seorang diri. Orang tua yang menjemput anak mereka baik dari jenjang SD sampai kuliah sekalipun, sudah menjadi hal yang lumrah. Semuanya dilakukan atas dasar rasa takut akan teror penculikan.

Tiba-tiba tetesan air membasahi kertas yang Ian pegang, sontak dia mendongakkan kepalanya. Kumpulan awan di langit tampak berwarna gelap, beberapa tetes air terus berjatuhan. Tidak lama lagi hujan akan turun. Ian meninggalkan kertas itu di pinggir jalan, lantas mempercepat langkahnya menuju rumah. Tak peduli seberapa kencang Ian berlari, jarak ke rumahnya masih cukup jauh sementara hujan makin deras.

Enggan mengambil risiko basah kuyup, Ian memutuskan untuk berteduh di depan sebuah ruko tua yang telah lama kosong. Ian duduk sambil memeluk kedua lutut, kedua matanya menatap kosong ke arah kendaraan-kendaraan yang melaju di jalan. Kian lama suara rintik hujan dan suasana sejuk membuat kesan nyaman, kelopak mata Ian perlahan memberat. Sambil menunggu hujan reda, Ian tidur sejenak. Pikirnya tak masalah, lagi pula tidak ada yang menunggunya pulang di rumah.

Terbangun dari mimpi yang tidak bisa Ian ingat, langit sudah berubah gelap. Entah sudah pukul berapa, Ian tidak punya ponsel dan jam tangannya telah lama tak berfungsi. Sedikit digerogoti rasa takut karena kondisi jalan yang amat sepi, Ian tidak pernah pulang selarut ini. Mencoba memberanikan diri untuk meneruskan perjalanan pulang, tetapi indra pendengaran Ian menangkap suara langkah kaki lain dari kejauhan. Mengira bahwa itu hanya khayalan alam bawah sadarnya, Ian tidak berpaling sama sekali.

"Hey, Nak." Mendadak terdengar suara seorang pria dari arah belakang.

Ian membeku di tempat, itu jelas bukan khayalannya. Merasa nyawanya sudah di ujung tanduk, Ian hendak berlari sekuat tenaga. Sial Ian terlambat, seseorang lebih dulu menarik kerah bajunya ke belakang. Belum sempat menengok pelaku, mulut Ian telanjur dibekap menggunakan sapu tangan dengan bau aneh yang menyengat. Kesadaran Ian memudar, sekujur tubuhnya terasa lemas. Pandangan Ian kini gelap seutuhnya.

Lalu, apa yang terjadi berikutnya? Kurasa kalian sudah bisa menduga.

***

Hullo~! Readers!

Setelah sekian lama ga update, author datang dengan cerita baru ✧◝(⁰▿⁰)◜✧

Cerita ini nggak akan terlalu panjang, kemungkinan jadi cerpen atau paling panjang novelet ( ╹▽╹ )

Makasih ya udah mampir, kalau tertarik boleh dong cek part-part selanjutnya~!

See you! Bye-bye ❤️✨

Eksperimen 296Donde viven las historias. Descúbrelo ahora