Part 01. Kembalinya kesadaran

86 20 92
                                    

Hal pertama yang kulihat adalah silau cahaya lampu dan langit-langit ruangan yang bercat putih. Biar badanku terasa letih, tetap kupaksakan untuk bangkit dari posisi tidur. Sepasang mataku menjelajah, berusaha mengenali sekitar. Ruangan kubus tanpa jendela dengan dinding putih dan lantai abu-abu yang kutempati ini sangat kosong. Satu-satunya furnitur yang tersedia adalah ranjang keras yang kini sedang aku duduki. Menunduk ke bawah, ternyata aku sedang mengenakan baju panjang berwarna biru muda yang menjuntai hingga betis. Aneh, rasanya aku tidak memakai pakaian dalam.

Tempat macam apa ini? Bagaimana aku bisa sampai ke sini? Makin berusaha kuingat, kepalaku makin terasa sakit. Dalam sekejap dahiku basah akan keringat, tiap denyutan menciptakan rasa nyeri di dalam kepala. Sial! Tidak peduli sekeras apapun aku mencoba, rasanya seperti semua memoriku telah lenyap. Menyerah sajalah! Aku tidak tahan dengan rasa sakit. Jemariku menenkan-nekan area pelipis secara perlahan, berharap hal ini bisa meredakan rasa nyeri. Syukurlah, denyutan di kepalaku berangsur hilang dengan sendirinya.

Terdengar suara derit pintu terbuka, sontak perhatianku teralih. Aku bertukar tatap dengan seorang wanita yang sedang berdiri di ambang pintu. Dia cantik sekali, usianya mungkin sekitar 25 tahun. Dari pakaiannya, jelas sekali dia memakai seragam perawat. Kalau begitu, apa aku ada di rumah sakit sekarang?

"Regina, kamu sudah sadar? Bagaimana perasaanmu?" tanya Perawat.

"Regina? Apa itu namaku?" Sungguh, aku sama sekali tidak mengingatnya.

"Kamu tak ingat, ya?" Perawat itu mengerutkan kening.

Aku menggeleng. "Tidak, aku tak ingat apa-apa. Kepalaku saja sempat sakit saat mencoba mengingat sesuatu."

"Kasihan sekali, kondisimu sangat buruk. Tapi jangan khawatir, Dokter Okto pasti bisa menyembuhkanmu. Aku juga akan merawatmu." Perawat memasang senyum manis.

"Terima kasih. Oh ya, aku bisa memanggilmu siapa?"

"Namaku Manda, panggil nama saja tidak masalah. Anggap saja aku seperti temanmu."

Aku membalas dengan anggukan pelan. Manda sangat ramah, tampaknya dia memang sengaja mendekatkan diri dengan pasien-pasien di rumah sakit ini.

"Kamu perlu menemui Dokter Okto untuk mengecek kondisi kesehatanmu. Ayo, biar aku tuntun ke ruangannya." Manda mengulurkan tangan, mengajakku untuk berdiri.

Kakiku menyentuh keramik abu-abu, untuk sesaat aku hampir kehilangan keseimbangan. Berapa lama aku tidak sadarkan diri? Sepertinya aku sudah lama tidak menggunakan kedua kakiku. Aku mengekor Manda keluar, ternyata di bagian depan pintu ruangan tadi tertulis angka 98. Aku lanjut membuntuti Manda melewati koridor panjang, di sisi kanan dan kirinya berjajar ruangan-ruangan dengan nomor berbeda berurutan di setiap bagian depan pintu. Bisa dengan mudah kutebak, tiap ruangan adalah kamar pasien.

Langkah demi langkah terasa membosankan, aku juga masih punya segudang pertanyaan tentang tempat ini. Kubuat kontak mata dengan Manda, lantas bertanya, "Bagaimana aku bisa di sini?"

Manda terdiam sejenak, beberapa saat kemudian dia baru menjawab, "Kamu tertabrak bis saat sedang menyebrang jalan. Kepalamu mengalami pendarahan parah, untunglah saat itu banyak saksi mata. Kamu jadi cepat dilarikan ke sini."

Nasibku sial sekali, tapi biarlah, aku juga tak mengingat kejadian itu. "Begitu, ya ... Sekarang aku di rumah sakit apa?"

"Rumah sakit Examine. Sebenarnya rumah sakit ini dibangun oleh negara, tapi banyak juga dana yang masuk dari swasta dalam bentuk sumbangan. Kami jadi terbantu sekali." Mengalihkan tatapannya dariku, Manda memandang lurus ke arah koridor. "Tapi memang rumah sakit Examine perlu banyak dana. Rumah sakit ini banyak menerima pasien dengan imunitas lemah dan disabilitas tertentu. Perawatan di sini memang intensif, tidak semua orang bisa keluar masuk dengan mudah, hanya para tenaga pekerja."

"Disabilitas tertentu?" Aku memiringkan kepala.

"Nanti, tunggulah sampai jam makan siang. Kamu akan lihat sendiri." Manda melirikku sambil memberikan senyum tipis penuh makna.

Melewati kamar bernomor satu, Manda menghentikan langkahnya di depan pintu bertuliskan Dr. Okto. Mengetuk pintu tersebut sebanyak tiga kali, terdengar suara sahutan seorang pria berusia kepala empat dari dalam.

"Silakan, masuk saja!"

Manda membukakan pintu, dia menunggu di luar sedangkan aku melangkah masuk. Ruangan dihadapanku sangat luas, sekitar lima kali lebih besar dibanding kamar kubusku tadi. Pria yang duduk di balik meja panjang itu menunjukkan sebuah gestur tangan. Menyuruhku untuk mengambil tempat duduk di seberang meja.

Menurut saja, aku duduk dalam diam sementara pria yang kutebak sebagai Dokter Okto itu berkutat dengan berkas-berkasnya. Melirik ke arah kanan, aku mengamati pantulan diriku dalam sebuah cermin. Untuk beberapa saat aku merasa asing, seperti tak mengenali diriku sendiri. Rumbutku hitam pekat sepanjang bahu, dan amat berantakan. Bibirku agak pucat, bulu mataku pendek, alisku juga tipis. Aku jelek sekali, tapi biarlah. Lagi pula, siapa yang peduli?

"Jadi, namamu siapa?" Dokter Okto mulai bertanya.

"Regina," balasku cepat.

Dokter Okto mengetikkan sesuatu dalam komputer, satu detik kemudian keningnya sedikit berkerut. Entah apa yang baru saja terjadi, tapi dia terlihat bingung.

"Namamu Regina? R-e-g-i-n-a?" Dokter Okto mengulang namaku sambil mengeja satu per satu huruf.

Aku mengangguk cepat. Dokter Okto mengembalikan perhatiannya ke layar komputer, dia masih tampak sama bingungnya. Kudengar pintu di belakangku terbuka, rupanya itu Manda yang baru saja masuk. Manda mendekati Dokter Okto guna membisikkan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang Manda katakan. Namun, kurasa itu sebuah informasi, sebab setelahnya Dokter Okto langsung mengetikkan sesuatu di komputer, lalu ekspresinya berubah menjadi lebih tenang.

"Baiklah, Regina. Kamu mengalami amnesia karena cedera otak. Tapi tidak apa-apa, kami akan berusaha menyembuhkanmu dengan injeksi dan obat secara berkala." Dokter Okto mendekati lemari kaca yang berisi berbagai alat medis. "Ada kalanya kamu akan merasakan sakit di bagian kepala, atau bahkan seluruh tubuhmu. Jangan khawatir, itu memang bagian dari efek samping."

Dokter Okto meraih botol kecil berisi cairan kuning, serta sebuah suntikan jarum dari dalam lemari. Sebenarnya aku tidak takut dengan suntikan, tapi jarum jarum suntik yang ada di tangan Dokter Okto tampak cukup tebal. Mungkin akan sedikit sakit.

Usai menyedot cairan dari botol ke dalam suntikan, Dokter Okto kini berjalan mendekatiku. Lengan pendekku diangkat, jarum suntik perlahan menembus bahuku. Menahan sedikit rasa sakit selama beberapa detik sampai akhirnya Dokter Okto mengeluarkan jarum suntik. Rasa nyeri sontak menyerang kepalaku, persis sama dengan yang kurasakan sebelumnya. Namun, untunglah tidak bertahan lama.

Dokter Okto bergerak ke sisi lain meja, dia membuka laci, lalu mengeluarkan gelang karet berwarna merah. "Pakailah ini selama kamu berada di rumah sakit."

Aku menatap gelang itu penuh penasaran. "Untuk apa?"

"Sebagai tanda pengenal saja, bahwa kamu salah satu pasien di sini," jawab Dokter Okto enteng.

Sesungguhnya aku agak ragu dengan apa yang dikatakan Dokter Okto, tapi gelang itu tetap kupakai. Lagi pula tidak mungkin benda kecil ini memicu hal buruk. Aku keluar dari ruangan Dokter Okto, melangkah beriringan bersama Manda menuju kamar nomor 98.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Eksperimen 296Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang