Pardonu dan Nau Naudek (20)

34 3 0
                                    

Pernahkah kalian berpikir, seorang pendosa besar dapat sekaligus menjadi pahlawan termasyhur dalam sejarah Esperanto, negara kami? Benar sekali, itulah inti sari dari cerita si pria manula pada dua rekan sehaltenya, dua jiwa muda yang tersesat setelah meninggal dunia, masing-masing namanya Gracias dan Danke, di mana semasa hidup mereka adalah suami istri yang sepakat melupakan ingatan pahit atas cinta mereka satu sama lain. Akibatnya mereka tetap saling  melupakan bahkan di alam akhirat yang abadi.

Pria lansia itu sembilan puluh tahun ketika ia meninggal sepuluh tahun yang lalu. Sembilan adalah kepahitan bagi Gracias dan Danke, yang sembilan tahun terakhir ini bercerai sebanyak dua kali dan menikahi pasangan yang sama tiga kali, pada tanggal pernikahan yang sama, tanggal sembilan belas, hingga keduanya sama-sama meninggal di malam bulan sabit, meskipun berselisih satu bulan waktunya, di mana Danke meninggal satu bulan terlebih dulu.

Kebetulan, dalam cerita si pria tua, si pendosa sekaligus pahlawan kebanggaan itu punya nama yang menggegerkan, Nau Naudek, yang artinya sembilan dan sembilan puluh dalam bahasa Esperanto. Nama itu betul-betul nama aslinya, dan dianggap punya tuah dalam adat tradisi negeri kami. Hanya orang-orang tertentu yang diberi nama angka sembilan berdasarkan hasta aksara Kaum Esperanto, yang asal-usulnya diadopsi dari primbon masyarakat keturunan Tionghoa.

Sembilan ratus sembilan puluh tahun yang lalu, Nau Naudek mencatat sejarah kelam di negeri kami dengan pembunuhan massal tak berperikemanusiaan. Sekelompok suku asli Esperanto yang selamat dari wabah penyakit ditumpas dengan keji, bahkan bayi-bayi pun tak terluput, hingga hanya nama saja yang tertinggal. Kekejaman genosida Nau Naudek tak terampuni, hingga sang panglima perang dicampakkan ke neraka awan petir setelah menghembuskan napas terakhir dalam kesepiannya.

Namun, mempertimbangkan Nau Naudek punya jasa besar di medan perang, ia diberi satu kesempatan langka untuk bereinkarnasi ke dunia, dan amal pahalanya, sekecil apa pun akan diperhitungkan sebagai pengampunan bagi jiwanya. Sang panglima dilahirkan kembali sebagai seorang dokter dan epidemiolog yang meneliti wabah penyakit pernapasan yang menyerang negeri Esperanto sembilan belas tahun silam dari masa kini, masa di mana Danke, Gracias, dan bapak manula penjaga halte itu hidup di alam fana.

Kala itu, ia dinamai Nau Naudek oleh orangtuanya, dan orang-orang mengenalnya sebagai Dokter Kuman yang baik. Bibit penyakit dan wabah yang ditelitinya melahirkan julukan kuman untuknya, dan dimaksudkan sebagai elu-elu atas kebesaran reputasinya. Virus yang meresahkan ditemukan vaksinnya, wabah penyakit sukses ditanggulangi, meskipun sang ahli wabah mesti gugur dalam tugas-tugasnya.

"Nah, little fellas, Nau Naudek yang bereinkarnasi menyucikan dosa-dosanya melalui keluhuran amal bakti seorang dokter, oleh karena itu ia menjelma peri kupu-kupu yang diagungkan. Tempatnya ada di sebatang pohon yang disakralkan di akhirat, namanya Tree of Sacred Soul, atau disebut pula Tree of Heaven and Earth. Pohon itu adalah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, sebatang pohon yang tak merontokkan daun-daunnya selama dunia manusia belum kiamat. Pohon itu, kebetulan ada tepat di atas kepala kita."

"Awan menengah itu apakah awan-awan putih yang nampak sangat dekat itu, Pak? Apakah jiwa manusia bisa mencapai awan yang lebih tinggi lagi setelah tiada?" Danke menunjuk sebuah awan yang kebetulan berwujud kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya dan menari keriaan.

"Awan tinggi sayangnya bukan tempat kediaman untuk jiwa manusia. Hanya Yang Empunya Kehidupan yang berada di sana, bertakhta untuk memastikan hukum fana dan hukum baka berlaku sesuai dengan ketentuan-Nya. Boleh dikata, awan menengah sudah merupakan tempat tertinggi bagi jiwa makhluk fana."

"Artinya, kesimpulan dari cerita Bapak, peri kupu-kupu di awan menengah itu pendosa-pendosa yang mendapatkan pengampunan setelah bereinkarnasi dan diberi kesempatan yang kedua bukan, Pak?" Gracias bertanya, sambil duduk dengan pose kaku dan segan-segan, lantaran ia mengingat bangku halte yang mereka duduki dulunya merupakan kupu-kupu Greta Oto yang bersayap kaca.

Kisah Museum KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang