01. Nilai

196 15 82
                                    

Selamat datang, Wahai Pembaca Sakti🤫🤫😁
Aku beri nama kalian Petir, ya! Ada dua alasan; Petir berbentuk seperti tangga bukan? (Asumsikan saja begitu, kalau tidak, paksakan); Petir berarti kilatan yang menyambar, sama halnya kalian yang datang kemari membawa cahaya yang menyambar, mengejutkanku dan memberiku semangat, sampai hampir terbakar orang sekitar dibuatnya.

Oke, sudah cukup berbincangnya. Aku ucapkan lagi, selamat! Selamat karena telah mampir di rumah kecil ini, sederhana, dan sedikit rakyatnya. Aku harap, kedepannya kita bisa menjadi keluarga utuh, ya!

Ini cerita pertama dari Serial Lione, yaitu ADRIAN.

Semoga terhibur,

-T. A.

***


Di gelapnya langit malam, banyak orang yang berharap jika kegelapan itu adalah sebuah ketenangan bagi mereka, juga harapan untuk mendapatkan hal yang lebih baik lagi di esok hari. Remaja laki-laki ini adalah salah satu dari mereka yang menaruh harapan besar pada malam. Sunyi. Mayoritas orang pasti sedang beristirahat sekarang-tentu saja. Itu alasan Tuhan menciptakan waktu malam selain untuk beristirahat karena letih bekerja di waktu siang.


Hanya saja, sialnya malam ini dia tidak bisa melakukan itu. Begitu pu malam-malam sebelumnya, dan malam-malam setelahnya.

BRUK! Suara itu menghantam pintu kamar Adrian, dia terperanjat kaget, berdiri dari posisi asalnya, berdiri menunduk. Pria bertubuh besar, tinggi, dan kekar itu berdiri di depan pintu kamar, melangkah masuk dengan tatapan tajam bak elang, mengarah pada seorang anak remaja laki-laki, tidak peduli bagaimanapun kondisi anak itu, dia tetap melangkah, semakin dekat.

"Kamu seperti anak tidak terurus. Apa uang yang selalu Papa beri kurang?" dingin, nada bicaranya menusuk. Adrian mencengkeram kuat tangan di samping tubuhnya, menahan amarah. Pria itu kembali melangkah, satu jengkal lebih dekat, sedikit membungkuk, mencari pandangan sang anak.

"Jawab! Punya mulut, kan?"

"Langsung saja, Pa. Ian, kan, memang tidak terurus."

PLAK! Tamparan keras melayang bebas di pipi anak itu, membekas, memerah. Adrian mengusap pipinya, terasa panas dan perih, sakit. "Tidak pernah bersyukur kamu!" PLAK! Faro kembali menampar anak itu, kali ini di pipi yang berbeda. Wajahnya memerah, amarah yang dia keluarkan belum semuanya tuntas, sebagian besar masih tersimpan, tinggal menunggu waktu. Adrian mengangkat pandangannya, menatap nyalang kepada sesosok manusia yang seharusnya ia tatap dengan penuh hormat.

"Kalau begitu, berarti Papa lebih tidak bersyukur, kan? Bukannya menghargai dan mengapresiasi anak, Papa justru sibuk menekankan keinginan Papa." tatapannya kali ini lebih mengintimidasi, senyuman tipis terlihat, sakit sekali. Akibat itu, Faro lantas menarik baju Adrian kasar, membawanya ke suatu ruangan, entah ruangan mana lagi yang ia jadikan sebagai 'penjara' bagi anaknya yang tidak pernah melakukan pelanggaran. Namun, di mata Faro, jika Adrian tidak mematuhi keinginannya, berarti itu sama saja dengan melakukan pelanggaran dan berhak mendapat hukuman. Faro melempar Adrian hingga tersungkur ke lantai berbahan kayu jati, lutut anak itu terluka akibat gesekan yang terjadi. Kulitnya memerah, panas.

"Siapa pun yang sudah mengajarkan kamu berani melawan, tidak segan-segan Papa berikan hukuman yang setimpal. Jawab jujur, sebelum Papa yang mencari tahu," todong Faro, dia menarik rambut Adrian, kepala laki-laki itu terpaksa mengikuti ke mana Faro menariknya-jika melawan, rambutnya bisa rontok banyak sekali, karena jenis rambutnya mudah rontok, kering-sambil meringis pelan, tetapi Adrian hanya menggeleng.

"JAWAB ADRIAN! SIAPA?"


Lengang.

Faro melepas jambakannya, menatap penuh prihatin Kamu menuduh Papamu?" gaya bicaranya manipulatif, raut wajahnya menampakkan kekecewaan yang mendalam, seakan akan anaknya adalah anak paling durhaka yang pernah ia lihat. Adrian tahu, seharusnya dia tidak mengatakan hal itu. Itu jahat. Adrian terdiam, dia salah bicara. Akan tetapi, sekalipun dia tahu apa yang telah terjadi adalah salah, dia tidak berniat meluruskannya. Biarkan masalah ini mengalir hingga berhenti di situasi paling baik.

"Papa pelakunya?"

Adrian mengangkat pandangannya, berusaha menahan cairan yang telah menggenang di kelopak matanya, karena kata orang-orang, laki-laki pantang menangis. Adrian masih diam, tidak berniat menjawab langsung. Adrian tahu, Papanya bukanlah monster seperti sekarang, Papanya adalah pahlawan di dalam dunianya. Faro itu temperamental ditambah dengan sikap idealismenya yang kental, maka inilah hasilnya. Pemaksaan.

Faro-Papanya Adrian- selalu menuntut Adrian untuk menjadi seseorang yang unggul dalam segala bidang. Dia sudah memberikan tuntunan itu pada Adrian sejak usianya masih empat tahun, tetapi percayalah bahwa di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dia tidak menginginkan itu semua terjadi.


Lengang sejenak, laki-laki itu termangu, menatap kosong lantai kayu kamarnya yang berserakan karena kertas.

"Adrian! Kamu dengar Papa bicara apa tadi?"

Lengang. Hening.

"ADRIAN!" Adrian tersentak, pria itu seperti tidak pernah bosan meneriaki anaknya, sekalipun jarak mereka hanyalah sehasta. Mata Faro menatap nyalang ke arah Adrian, yang berarti dirinya benar-benar tidak suka dengan keadaan sekarang ini. Jika dipikir-pikir, di mama letak kesalahan Adrian? Semua ini terjadi diluar kemampuan manusia, hanya Tuhan yang berhak memberikan keputusan, Faro seharusnya paham akan itu.

"Karena teman-temanmu itu, nilai rata-rata yang awalnya 95 kini turun drastis menjadi 85, bagaimana mungkin?" Dada bidangnya naik turun menahan amarah, tangan kiri yang terkepal erat dengan tangan kanan yang memegang buku rapor. Hal itulah yang membuatnya tidak senang, sangat tidak masuk akal. Akan tetapi, keinginannya tetaplah sebuah perintah, maka jika tidak terlaksana, itu adalah sebuah kesalahan yang harus ditebus dengan hukuman apa pun jenisnya.

"Maaf, Pa."

Faro masih menatap nyalang anaknya, sesak dadanya melihat sejumlah angka yang tidak seberapa itu terpampang jelas di sebuah buku berwarna biru tua. Deretan angka itu bukanlah apa-apa, tidak lebih berharga dari apa pun, itu hanya angka. Banyak pertanyaan berputar-putar di kepala Adrian tentang angka; seberapa berharganya sebuah angka?; mengapa banyak orang lebih memprioritaskan angka daripada nilai? Mementingkan kuantitas daripada kualitas itu adalah hal bodoh yang pernah dipikirkan dan dilakukan manusia, apalagi sampai nekat melakukan hal-hal curang demi mendapatkan sejumlah kuantitas yang besar. Tindakan murahan yang marak terjadi di kalangan manusia serakah ini memang tidak bisa dihilangkan secara permanen, tetapi, dalam buku ini, semoga beberapa dari sekian banyaknya orang bisa sadar, bahwa angka bukanlah segalanya tanpa nilai.

Cerita ini, dimulai.



Aku tunggu vote kalian semua, Petir! Asik, nama baru.

Sampai jumpa di bagian 02, selamat menunggu dengan sabar💌


ADRIAN [ REVISI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang