Elmeera Qaireen

7 0 0
                                    

Airlangga, lelaki idaman yang menjadi incaran kaum hawa. Namanya persis gambaran diri. Penuh wibawa serta bijaksana dalam tutur kata. Sopan dan santun dalam perilaku, hormat dan menyayangi orang tua serta adiknya. Mampu menempatkan diri dimana pun. Kekurangannya hanya satu ia begitu keras kepala.

"Aku, mencintai Airlangga. Dia, lelaki idaman. Dirinya bisa menjadi imam yang baik dan bisa membimbingku yang kurang baik ini jadi lebih baik, aku juga mau pakai hijab buat jadi istri idamannya, ya, enggak El," tutur Nuha.

Elmeera menatap wajah sang sahabat yang berseri, lalu melirik ke arah lelaki yang baru saja disebutkan namanya itu.

Air dapat bermanfaat bila cukup, tetapi jika berlebihan akan menimbulkan bencana. Begitu juga sebuah rasa, bila berlebihan akan meninggalkan luka.

"Air, juga sayangkan selama ini denganku? Buktinya selalu menjaga Nuha terus," ungkap Nuha.

"Iya," ujar Elmeera.

Entah rasa apa yang menyelimuti hatinya, bibir tertawa. Namun, hatinya ada yang tercabik. Ia menatap wajah Airlangga, sama seperti dirinya lelaki itu nampak bingung dengan ungkapan salah satu dari sahabatnya itu.

Elmeera bangkit, ia segera melirik jam di tangan kirinya. Melihat waktu seolah ingin mencari topik pembicaraan lain.

"Nuha, pulang, yuk, papa udah nungguin kita pasti," tutur Elmeera. Wajahnya masih berselimut kebingungan.

"Iya, aku juga mau main voli sama teman udah ditunggu," imbuh Airlangga. Ia pun ikut bangkit dan meraih hoodie yang berada di kursi sebelah.

Nuha, ikut bangkit. Ia mengangguk setuju lalu tersenyum simpul dan menepuk bahu Airlangga.

"Seperti biasa, kalau kita jalan Air yang bayar makan," tutur Nuha.

Gadis itu segera berlari menuju parkiran sembari meneriaki Elmeera  agar segera mengikutinya. Kebiasaan setiap kali mereka pergi, Nuha akan menyerahkan segala jenis pembayaran pada Airlangga.

Elmeera merogoh tasnya, lalu menyerahkan selembar uang senilai Rp. 100.000 di meja tanpa mengatakan apa pun dan segera mengikuti Nuha ke parkiran. Lelaki yang tadi ada di hadapannya pun hanya terdiam.

"Kebiasaan, El, lelet. Gak bisa lari," ujar Nuha yang telah duduk di kursi pengemudi.

"Hehe, maaf. El, kan enggak hobi lari," sahut Elmeera.

Nuha mengangguk-mengangguk.

Elmeera telah memasang sabuk pengaman. Menyandarkan diri, lalu mengeluarkan ponsel. Ia melirik Nuha yang asyik bersenandung persis seperti orang yang tengah terkena panah asmara. Hatinya begitu riang.

Persahabatan antara wanita dan pria, pasti akan menimbulkan rasa. Entah hanya bertepuk sebelah tangan, cinta yang terbalaskan atau cinta, tetapi saling memendam. Berulang kali Elmeera menghela napas, apa yang harus dirinya lakukan? Kembali mengalah atau memperjuangkan?

Merelakan memang sulit, tetapi berjuang pasti akan lebih sulit lagi.

"El, mau turun enggak?"

Elmeera tersentak. Ia menatap sekeliling. Rupanya keduanya telah sampai.

Ia membuka pintu mobil, lalu kembali mengikuti langkah Nuha. Salam telah terucap keduanya disambut sang mama yang tengah memegang nampan berisi kue tart.

"Papa, belum pulang Ma?" tanya Elmeera.

"Sebentar lagi, cepat kalian bersiap terus bangun mama nyiapin kejutan buat papa, ya," tutur Bu Cassandra.

"Oke, Ma, Nuha ke kamar duluan," ujar Nuha.

Wanita paruh baya dengan rambut tercepol sempurna itu mengangguk. Ia tengah menata aneka hidangan di meja makan.

Elmeera memeluk tubuh sang mama dari belakang.

"Jangan dilepas Ma, El, kangen meluk Mama kayak dulu," ujar Elmeera.

Gadis dengan pasminah berwarna cokelat susu itu meneteskan air mata, lalu dihapusnya dengan cepat. Ternyata dewasa lebih banyak menguras air mata. Tak bisa menangis, menjerit, seperti dulu masa kanak-kanak yang hanya terkena bentakan kecil. Dewasa mengikat hukum-hukum kehidupan, harus memahami, mengerti dan merelakan.

Bu Cassandra terdiam. Ia menghentikan segala aktivitas yang tengah dikerjakan. Ada apa dengan putrinya? Tak seperti biasa El, memeluknya dengan erat.

"Kamu ini El, seperti sudah lama tak bertemu saja padahal kita serumah," ujar Bu Cassandra.

"Aku, sudah lama kehilangan Mama," ujar Elmeera pelan.

"Kamu ngomong apa, El?" tanya Bu Cassandra.

Elmeera menggeleng. Ia terus menghapus jejak air matanya, lalu segera berlari ke kamar.

"Dasar anak itu," ujar Bu Cassandra.

***

Semua telah siap. Mereka bertiga tengah menunggu kehadiran sang kepala keluarga. Nuha sedang mempersiapkan kamera untuk merekam moment malam ini.

Elmeera tengah menyusun kado-kado untuk sang papa, lalu dirinya segera menarik kursi tepat di sebelah Nuha.

Pintu berderit dan salam, terdengar. Lelaki bermata empat dengan tubuh gagah tersenyum lebar. Bidadari rumahnya telah berkumpul.

"Happy birthday, Papa," ujar Nuha dan Elmeera bersama-sama.

"Terima kasih bidadari, papa," ucap Pak Reen.

Bu Cassandra memeluk sang suami. Mereka semua melakukan satu demi satu proses, ulang tahun. Meniup lilin, memotong kue, menyuapi potongan kue, makan malam lalu berfoto.

"Nuha sama El, mau foto berdua," ujar Nuha setelah melakukan sesi foto keluarga.

Pak Reen mengangguk. Ia yang menjadi fotografer untuk anak-anaknya.

"Gantian, fotoin Mama sama Papa, El," ujar Pak Reen.

Elmeera menoleh. Ia mengangguk dan segera mengambil alih kamera dari tangan sang papa.

Mereka bertiga berfose, tertawa, saling memeluk hingga terambil beberapa foto.

"Udah, ah, Nuha capek. Mau istirahat ada ujian besok di kampus," ujar Nuha.

"El, kan belum ada foto bersama mama, papa," gumam Elmeera.

"Udahlah, El kapan-kapan aja. Papa, juga udah capek mau istirahat," ungkap Pak Reen.

Elmeera mengangguk. Ia memberikan kamera tersebut kepada Nuha.

Dirinya tidak langsung ke kamar, tetapi membantu bu Cassandra mencuci piring.

"Nuha, meminta papa berbicara kepada orang tua Airlangga untuk merencanakan pernikahannya."

Elmeera menghentikan kegiatannya, ia mematikan keran air dan menoleh kepada papanya.

"Bagus, dong, Pa. Jika sudah siap, niat baik tidak boleh ditunda. Segeralah temui orang tua Airlangga," ungkap Bu Cassandra.

"Ma, Pa ...." Elmeera telah meneteskan air mata. Suaranya begitu serak.

"El, hilangkan rasamu pada Airlangga. Mengalahlah untuk Nuha, kasihan dia sejak kecil telah yatim piatu. Jika bukan kita yang memberinya kebahagiaan siapa lagi?" Pak Reen melepas kaca matanya. Ia menyandarkan tubuh pada kursi.

"Mama, tahu selama ini kamu juga mencintai Airlangga. Tatapanmu, serta buku harian yang semuanya berisi tentang dia," ungkap Bu Cassandra.

"Tapi, Ma," ujar Elmeera.

"Sudahlah, El, hal seperti ini jangan kamu besar-besarkan. Kali ini saja mengalah untuk Nuha," sahut Pak Reen dengan nada tegas pertanda keputusannya tidak dapat diganggu gugat.

Elmeera, menggeleng. Ia segera berlari ke kamar. Menaikki undakan tangga. Dirinya melihat ke pintu sebelah kiri, kamar Nuha berada. Nyatanya selama 14 tahun ini dirinya yang selalu mengalah.

Nuha, anak yatim piatu orang tuanya meninggal karena kebakaran. Reen dan Cassandra adalah sahabat dekatnya yang mengangkat Nuha sebagai anaknya.

Dulu ia meminta agar diberikan adik, tetapi mamanya tidak dapat hamil kembali karena rahimnya telah diangkat saat melahirkan Elmeera mengalami komplikasi, hadirnya Nuha membawa kebahagiaan bagi Cassandra dan duka lara untuk Elmeera.

Janji AirlanggaWhere stories live. Discover now