23. Kebahagiaan

565 44 8
                                    

Indra’s pov

Aku menatap Maya dan kertas di tanganku bergantian. Sungguh, aku tidak percaya dengan apa yang ku lihat sekarang ini. Benarkah ini? Tangaku mengelus titik kecil di foto USG yang dilampirkan. “Mas, Ralia-” Maya menatapku dengan wajah terkejutnya, aku tersenyum lebar dan mengangguk.

“Ralia hamil.” Aku menarik Maya ke dalam pelukanku, tak terasa air mata menggenang di pelupuk mataku dan jatuh begitu saja. Aku sangat bahagia hingga tak bisa mengatakan apapun lagi karena perasaan ini tak bisa didefinisikan dengan apapun.

“Selamat ya, Mas. Akhirnya keinginan Mas terwujud, sebentar lagi Mas akan menjadi seorang Ayah.” Maya memelukku sangat erat dan ku dengar isakannya, aku mengecup puncak kepalanya berulang kali.

“Selamat juga untukmu, Maya. Walau bagaimanapun dia anakmu juga.” Maya menatapku dengan senyuman lebar. Dia menghapus air matanya dan merangkulku.

“Ah, aku mengerti sekarang. Akhir-akhir ini dia makan dengan porsi banyak, ternyata dia hamil.” Maya tertawa dan menggelengkan kepalanya. Aku tahu, dibalik kebahagiaannya ini tersimpan rasa sedih yang mendalam.

“Tentu saja, black forest bunda yang terbaik!” suara Ralia dan Bunda yang tertawa membuat pandanganku teralih.

Aku berjalan mendekati mereka dan langsung memeluk Ralia, “Kita benar-benar harus bicara, kali ini tanpa penolakan.” Aku melepas pelukan dan menggenggam erat tangan Ralia, tanpa mengatakan apapun Ralia berjalan mengikutiku naik ke dalam kamarnya.

Ini salah satu alasan kenapa aku jatuh cinta padanya, karena dia selalu menurut semarah apapun dia padaku.

Sampai di kamar Ralia membuka pintu setelah memencet password dan langsung duduk di tepi tempat tidur. Aku menghela napas panjang dan melangkah ke dalam, tak lupa mengunci pintu. Ralia hanya diam, dia tidak mengatakan apapun dan bahkan tidak mau menatapku.

“Kenapa kau menyembunyikannya?” tanyaku to the point.

Ralia menghela napas panjang, “Tanpa bertanya Bapak sudah tahu alasannya.”

Aku berlutut di hadapannya, Ralia memalingkan wajahnya begitu tatapan kami bertemu. “Saya minta maaf atas apa yang terjadi kemarin lusa. Saya janji hal itu tidak akan terjadi lagi, maafkan saya.” Ralia memejamkan matanya dan menghela napas panjang berulang kali.

“Saya tidak akan melarang Bapak melakukan hal itu pada Mbak Maya, tapi setidaknya jangan  melakukan itu di sembarang tempat.”

“Saya tahu, maaf Ralia. Seharusnya saya bisa menjaga perasaan kamu, maafkan saya ya?” Ralia menatapku lekat-lekat-lekat dan mengangguk.

“Baiklah, kali ini saya maafkan. Tapi jika itu terjadi lagi, saya akan pergi dari rumah ini saat itu juga.”

Aku mengangguk, tanganku terulur mengelus puncak kepalanya. “Ya, kau bisa melakukan apa saja yang kau inginkan.”

Ralia menatapku dan mengangguk. “Jadi, kapan kau memeriksanya?” tanganku terulur menyentuh perutnya.

“Satu minggu lalu, dokter Hasna bilang usianya 4 minggu jadi sekarang 5 minggu.” Aku terkekeh mendengar suara ketusnya, dia masih marah padaku rupanya. Sekarang pun dia hanya menunduk dan tidak menatapku sama sekali.

Ku dekatkan kepalaku di perutnya, “Assalamualaikum, sayang. Ini Papa.” Ku pejamkan mataku dan mencium perut Ralia. Senyumku mengembang begitu merasakan elusan lembut di kepalaku.

“Maaf ya, Papa baru menyapa sekarang. Mama menyembunyikan kehadiranmu dari Mama.”

“Ya jangan dikatakan juga bagian itu, Pak.” Ralia yang mencebikkan bibirnya.

Second Love New VersionWhere stories live. Discover now