Suara kendaraan yang sedang berlalu lalang memekakan telinga Nasya, namun Nasya nampak abai. Nasya kini sedang berjalan di area kota untuk pulang, namun sebelum itu Nasya berganti pakaian menggunakan celana hitam dan kemeja putihnya, untuk menyamarkan pekerjaannya dari adik laki-lakinya.
Nasya mengaku jika dirinya bekerja di sebuah Cafe yang buka 24 jam dan berlokasi di pusat kota. Awalnya Key meragukan Nasya, hingga menjelang pagi Key menunggu Nasya pulang dari pekerjaannya, namun setelah melihat Nasya yang pulang kerja sambil membawa beberapa makanan khas Cafe, Key menjadi percaya--akan kebohongan Nasya.
Langkah demi langkah, Nasya menyusuri trotoar yang sepi ini, trotoar ini hanya di lalui oleh beberapa orang, mengingat sekarang sudah hampir menjelang subuh. Bahkan hawa dingin sudah menyapa kulit Nasya dan sebentar lagi akan menusuk tulangnya, walaupun Nasya sudah memakai jaket yang cukup tebal dan memasukkan kedua tangannya di saku jaket.
Nasya sesekali menghembuskan napas hangatnya ke kedua telapak tangannya guna merasa hangat. Namun, rasa hangat itu hanya sekadar menyapa, tidak lama dari itu hawa dingin kembali Nasya rasakan.
"Seharusnya tadi aku minta saja Madam mengantarku pulang, lagian dia tidak akan mungkin menolak," gerutu Nasya di sela-sela langkah kakinya.
Ketika hendak sampai di kontrakannya, Nasya terlebih dahulu mampir di sebuah mini market yang buka 24 jam untuk membeli secangkir kopi dan beberapa roti. Di rasa-rasa dirinya lapar juga, mengingat tadi saat bekerja tidak makan apa-apa.
Setelah mendapatkan semua yang Nasya inginkan, Nasya duduk di depan mini market itu untuk menikmati kopinya. Nasya membuka penutup kopi itu dan mencelupkan roti kedalamnya lalu memakannya. Cara makan roti tawar yang pernah di ajarkan kedua orang tuanya dulu saat masih bersama, tepatnya saat Nasya masih berumur balita.
Tring!
"Iya Key?"
***
Keesokan malamnya, Nasya sudah berdiri di depan pintu apartemen pria yang memanggilnya kemarin. Jujur saja, Nasya malas jika sudah di suruh bekerja over, ini bukan kali pertama Nasya bekerja over, sering sekali Madam melakukannya dengan iming-iming bayaran double, atau hari libur yang berlipat-lipat. Nasya tahu, pasti Madam mendapatkan uang lebih banyak dari pada Nasya jia Madam berani membayar Nasya dengan bayaran dua kali lipat.
Tok! Tok! Tok!
Nasya mengetuk pintu besar itu sebanyak tiga kali, namun setelah di tunggu beberapa saat, pemilik kamar apartemen itu tidak membuka atau menyahuti ketukan Nasya jadi Nasya memutuskan untuk mengetuk pintunya lagi. Lagi dan lagi, Nasya mengetuk pintu yang terkunci itu, hingga Nasya berdecak pelan ketika dirinya merasa sudah terlalu lama hanya berdiri di depan pintu ini.
"Kapan pintu sialan ini terbuka, kakiku sudah kesemutan karena terlalu lama berdiri, astaga," gerutu Nasya sambil sedikit berjongkok untuk menggaruk pelan pergelangan kakinya.
"Mau apa?"
Nasya seketika menoleh ketika mendengar seseorang menegurnya, namun masih dalam posisi yang sama.
Tatapan mata menusuk itu lagi-lagi seolah menguliti Nasya hidup-hidup, sangat tajam. Bahkan mata itu tidak berkedip sama sekali, dagunya masih berada di posisi normal, tidak naik dan tidak mendongak. Hanya tatapannya saja yang sedikit menurun melihat Nasya. Di genggaman tangan kirinya terlihat pria itu menenteng sebuah papper bag dan ada beberapa sayur daun hijau yang menjuntai keluar. Dapat Nasya pastikan jika pria ini pasti baru pulang dari belanjanya. Pantas dari tadi Nasya ketuk pintunya tidak kunjung di buka, ternyata apartemen kosong.
"Anda yang kemarin m-memanggil saya?" tanya Nasya langsung membenarkan posisi anehnya tadi menjadi berdiri normal kembali.
Pria itu melengos saja dan berlalu memunggungi Nasya untuk bisa mengakses pintu apartemennya dengan memasukkan beberapa digit angka pin. Setelah beberapa saat, pintu itu terbuka dan Pria itu mempersilahkan Nasya untuk masuk, ralat bukan mempersilahkan, lebih ke menyuruh.
Dengan ragu Nasya memasuki apartemen itu, apartemen itu cukup terbilang penerangannya redup, karena penerangan yang hanya mengandalkan lampu tempel kecil yang berada di tembok, seperti golongan kaum elit. Bahkan furnitur apartemen itu juga terlihat sangat elegan dan mahal.
Sebuah kursi single yang terletak di sebuah pojok ruang, dengan sebuah meja bundar kecil yang di atasnya terdapat lilin aroma dan lampu baca di samping kirinya, di tambah lemari buku yang di setiap sudutnya terdapat lampu kecil menampilkan banyak sekali buku di belakangnya adalah yang pertama kali membuat Nasya terpaku. Bagaimana tidak, Nasya itu suka membaca jadi wajar jika responnya sedikit berlebihan mengenai perpustakaan pribadi seperti itu.
Lamunan Nasya buyar ketika sebuah jas terbang ke arahnya, dengan kegesitan Nasya, Nasya dapat menangkap jas hitam itu dan menatapnya heran, "ini apa, Tuan?" tanya Nasya yang nampak kebingungan.
"Ikatkan di pinggangmu, saya tidak suka melihat wanita dengan pakaian terlalu pendek," ujar Pria itu dingin lalu berlalu masuk entah kemana, Nasya tidak tahu.
Dengan alis yang terangkat sebelah, Nasya menuruti saja kemauan Tuannya itu dengan melilitkan jas hitam itu di pinggangnya. Nasya heran, kenapa Tuannya kali ini malah menyuruhnya untuk tidak terlalu berpakaian terbuka, padahal Tuan kemarin-kemarin malah menyuruhnya untuk lebih terbuka dari ini, sikap itu memang cukup terbilang kurang ajar, namun Nasya tahu, ini resiko pekerjaanya.
"Kemari dan duduklah," titah pria itu kepada Nasya yang masih berdiri di depan pintu apartemen.
Nasya menurut dan duduk di kursi yang sudah di tunjuk, dan menatap secangkir teh hijau yang baru saja tersanding di sana oleh Tuannya.
Dengan menggigit bibir bawahnya, Nasya sedikit menjadi takut. Apalagi mengingat adiknya yang di tinggal sendian di kontrakan dan sedang demam. Namun jika malam ini Nasya tidak datang, maka Madam akan memarahinya karena telah mengecewakan tamu yang dibilangnya vip ini.
"Nama?" tanya pria itu setelah duduk di kursi tepat di depan Nasya sambil menatap layar laptopnya yang menyala.
"Nasya," jawab Nasya mantap.
"Hanya itu?" sergahnya.
"Nama saya Nasya, apa lagi yang ingin anda tahu, Tuan?" ujar Nasya sewot.
"Ck! Saya lupa, apa Madam tidak mengajarimu sopan santun? Bersikaplah ramah pada orang yang akan membayarmu, gadis kecil!"
"A-apa?!"
Nasya menatap pria yang Nasya yakini lebih tua darinya ini dengan rasa jengkel yang membuncah hebat. Biasanya Nasya akan menemui pria mesum yang hanya ingin melihat dirinya tanpa busana sehelai pun, atau bahkan para pria beristri yang tentunya kurang belaian, dan juga para pria agresif yang hanya bisa memukul Nasya karena hendak membela diri, dan Nasya baru kali ini mengahadapi pelanggannya yang sangat menjengkelkan.
"Nasya Gvishca Putri, bagaimana kamu bisa mau menyia-nyiakan masa mudamu dengan bekerja sebagai call girl?" tanya Pria itu sambil sesekali menatap Nasya, setelah menutup layar laptopnya.
"B-bagaimana anda tahu nama lengkap saya, dan umur?" ucap Nasya melirih ketika menyebut umur.
Pria itu tersenyum sebentar dan menyenderkan punggungnya di sandaran kursi, mencari posisi ternyamannya.
"Saya sudah berunding dengan Madam, jika saya akan menjadikanmu call girl pribadi saya, jadi jika kamu mendapatkan panggilan lain selain saya yang di dapatkan temanmu dan dilimpahkan kepadamu, jangan datang, atau saya akan menegur Madam karena tidak teliti menjaga milik saya," ujar Pria itu sambil memangku kedua tangannya di depan dadanya dengan terlipat.
"A-apa? Itu mustahil, Tuan. Saya tidak menerima keputusan itu. Saya tidak mau jika saya harus di fokuskan hanya pada satu orang," protes Nasya tidak terima.
"Apa kamu mengkahawatirkan bayaran? Tenang saja, saya akan membayarmu lebih dari bayaranmu selama sebulan, tentu saja dalam sekali pertemuan, bukankah itu adil?"
Nasya membuang wajahnya ke kiri seolah ingin tetap menolak tawaran itu, namun iming-imingnya sangat menjanjikan, "baiklah, saya setuju," putus Nasya sambil tersenyum lebar.
Tbc
YOU ARE READING
GADIS PELACUR
ChickLitNasya tidak menyangka jika kehidupan dewasa yang di damba-dambakannya menjadi seperti ini, melewati masa pertumbuhan dengan kesendirian tanpa siapa pun yang dianggap keluarga oleh Nasya, terkecuali adik laki-lakinya. Setelah keluar dari sekolah men...