Nasya terisak pelan di dalam mobil Rey mengingat kejadian beberapa waktu lalu, dirinya merasa memang tidak perlu di dilahirkan ke dunia. Tidak sepantasnya wanita belia seperti Nasya sudah menapakkan kaki di dunia dewasa seperti ini. Nasya belum siap untuk menghadapi situasi dan kondisi yang sangat rumit seperti tadi, tapi dipaksa untuk siap.
Terkadang menjadi tegar itu sangat melelahkan bagi Nasya, sekuat-kuatnya Nasya berdiri, sekokoh-kokohnya Nasya berjalan, pasti ada celah di mana Nasya merasa kurang sempurna, merasa masih butuh bimbingan kedua orang tua, merasa masih belum cukup umur untuk segala kondisi keras yang berhasil Nasya lalui. Seolah garis kehidupan mempermainkan mental Nasya, mencoba mengukur sampai batas mana Nasya masih bisa bertahan, mencoba untuk melihat sekuat apa Nasya bertahan.
"Saya sudah mengatakannya berkali-kali, kamu hanya milik saya, kamu tidak boleh pick up siapa pun selain saya yang meminta!" ujar Rey dengan alis menukik.
Nasya melirik sebentar untuk melihat wajah Rey yang tidak menatapnya. Pandangannya masih tetap fokus pada jalanan yang nampak ramai berlalu lalang kendaraan yang sama. Sedikit aneh, mengingat sekarang sudah lebih dari jam sepuluh malam namun suasananya masih lumayan ramai.
Nasya menghela napas pelan dan kembali membuang pandangannya, menghilangkan jejak air mata yang masih mengalir di kedua pipi tembamnya lalu menopang dagunya dengan malas, "terkadang penting bagi kita untuk memulangkan ego pada inangnya, lalu menggantinya dengan segala bentuk rasa sabar," celetuk Nasya dengan suara rendah.
"Mengedepankan ego juga sama baiknya, daripada menelan ludah sendiri dengan pencitraan dijadikan alasan," sergah Rey.
Nasya merotasikan kedua matanya malas, "jangan mengantarku pulang, antar aku ke alamat ini," pinta Nasya sambil menunjukan ponselnya pada Rey.
"Tidak mau mendengarkan? Apa sengaja berpura-pura bodoh?" tegur Rey.
Nasya menatap tajam Rey tepat di mata setelah Rey mengatainya bodoh.
"Seekor singa tidak merasa bangga bahwa dirinya adalah si raja hutan, om!"
"Seekor kancil juga tidak mungkin memanipulasi dirinya menjadi bodoh untuk bisa di mangsa oleh si raja hutan," sanggah Rey dengan tenang.
Nasya kembali memilih bungkam daripada membuat masalah sepele berbuntut panjang. Pemikirannya buntu, Nasya tidak bisa membayangkan jika saja Rey tidak datang saat tadi, akan bagaimana nasib Nasya saat ini.
"Bagaimana kamu tahu aku berada di sini, jangan bilang jika kamu menguntitku!"
"Saya tidak pernah memiliki niatan untuk menguntitmu dari dekat maupun dari jauh, jadi jangan pernah memiliki pemikiran nonlogic seperti itu. Saya hanya sekadar lewat setelah jam kantor saya habis dan melihat sebuah mobil terparkir asal, kemudian saya mendekatinya, itu saja," jelas Rey dengan rinci.
"Alasan yang meragukan, tapi aku menghargai itu."
Suasana menjadi sunyi ketika keduanya hanya terdiam dalam waktu yang lama, tidak ada satu pun yang berencana untuk membuka pembicaraan. Bahkan kantuk Nasya datang karena saking bosannya.
Brumm Brumm
Suara tancapan gas mobil yang dihasilkan oleh pijakan kaki Rey terus saja menggema di jalanan yang nampak sepi itu.
Lagi-lagi Nasya menjadi merasa berhutang budi sekali lagi kepada Rey, dengan sedikit takut Nasya memutar pandangannya ke kanan. Tanpa sadar mengamati Rey yang masih terdiam, wajahnya terlihat datar, namun rahangnya nampak sangat tegas, pandangan yang kini masih fokus pada jalanan juga nampak tajam, seolah siap menusuk siapa saja yang bersitatap dengannya, alisnya sangat tebal dan selalu menukik seolah menggambarkan wajah marah setiap saat, bulu matanya lebat dan panjang jika dilihat dari arah samping, hidungnya begitu menjulang tinggi, dan jangan lupakan bibir tipis berwarna pink alami itu. Bahkan aura dingin menguar hebat pada dirinya, tangan yang kini masih memainkan kemudi itu juga nampak berotot urat-uratnya yang menonjol dan ke sepuluh kukunya terpotong rapih seolah selalu melakukan perawatan setiap bulannya. Arloji yang nampak mewah berwarna silver itu melingkar sangat apik di pergelangan tangan kirinya, benar-benar anak konglomerat yang sesungguhnya.
"Ada yang merah tapi bukan darah," celetuk Rey membuyarkan tatapan kagum Nasya padanya.
Nasya sedikit bingung pada perkataan Rey dan hanya menaikkan satu alisnya dengan masih menatap Rey, "maksudmu?"
"Saya tahu saya ini tampan, tidak perlu memandangi saya hingga seperti itu," tegur Rey.
Setelah mendengar perkataan Rey, Nasya hanya memutar kedua bola matanya malas dan lebih memilih melihat pemandangan malam di sisi kirinya.
Nasya terkejut ketika sadar jika Rey malah membawanya ke sebuah mansion yang sangat besar--luar biasa besar.
Rey memarkirkan mobilnya telat di depan mansion lalu turun dari mobil dan langsung membuka pintu mobil sisi kiri untuk Nasya.
“Turun!” titah Rey dengan nada dingin.
Nasya yang kebingungan merasa enggan dan hanya berdiam gusar di tempatnya, “T-tapi, ini dimana, om--anu T-tuan?” tanya Nasya dengan gagap.
“Turun saja apa susahnya!” titah Rey sekali lagi dengan nada yang sedikit naik beberapa oktaf.
“Aku mau pulang,” lirih Nasya dan sukses membuat Rey semakin naik pitam.
"Kamu memasang umpan yang enak membuat banyak ikan berebut untuk mendapatkannya, ketika pemancing sudah mendapatkan ikan, apa mereka akan membuang hasil pancingannya?"
Nasya terdiam semakin tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Rey. Melihat keterdiaman Nasya, Rey menghela napas panjang sambil merotasikan kedua bola matanya.
"Umpan hidup!"
Setelah mengatakan itu, Rey dengan segera menarik paksa Nasya keluar dari mobil dan menggendongnya di pundaknya seperti memikul karung beras. Nasya yang terkejut, seketika merasakan darah mengalir deras di kepalanya, tanpa berpikir lagi sesekali dirinya meronta hebat dan sedikit membuat Rey kewalahan karena pergerakannya yang sangat brutal.
Rey membawa Nasya masuk ke mansion dan segera menaiki tangga dengan mudah. Rey memasuki sebuah kamar dan membanting tubuh Nasya di atas ranjang berukuran king size.
Nasya seketika bangkit dan melihat Rey yang langsung membuang jas yang berada di genggamannya secara asal. Nasya semakin takut ketika Rey mendekatinya sambil menggulung kemejanya hingga sebatas siku.
Nasya seketika bangkit dan memojokkan diri pada dashboard ranjang. Kamar besar itu memiliki penerangan yang redup sehingga membuat jarak pandang Nasya sangat terbatas.
“A-apa yang hendak kamu lakukan?” tanya Nasya panik sambil menekuk kedua lutut di depan dadanya seolah membentengi diri.
“Memberikan hukuman pada bocah nakal,” jawab Rey enteng dan mengambil sabuk kulit miliknya yang tergantung di sebuah stand hanger membuat Nasya semakin kalut dan gusar.
Nasya gemetar hebat dan mencoba menjauh, “T-tuan ku-kumohon maafkan sa-akh!” Belum sempat Nasya menyelesaikan ucapannya, Rey sudah melayangkan sabuknya pada lengan kanan Nasya dan membuat Nasya memekik sakit.
Erangan demi erangan keluar dari mulut Nasya, namun Rey nampak abai dan bernafsu untuk menghukum Nasya malam ini.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
GADIS PELACUR
ChickLitNasya tidak menyangka jika kehidupan dewasa yang di damba-dambakannya menjadi seperti ini, melewati masa pertumbuhan dengan kesendirian tanpa siapa pun yang dianggap keluarga oleh Nasya, terkecuali adik laki-lakinya. Setelah keluar dari sekolah men...