prolog

219 16 5
                                    

"Lepaskan aku bajingan! Jangan sentuh aku!"

Perempuan itu berteriak sambil memukuli dada bidang pria yang ada dihadapannya.

"Tidak! Aku perempuan hina! Aku pelacur menjijikkan!"

"Jangan berkata seperti itu."

"Diam kau keparat! Kau telah menodai aku, adikmu sendiri. Kau jadikan aku jalang untuk memenuhi nafsu bejatmu."

Pria itu menjambak rambut adiknya, membuat sang adik mendongakkan wajah, "Jaga ucapan mu! Aku mencintaimu. Apa kau belum mengerti juga. Jalang? Nafsu? Kau salah menafsirkan diriku."

"Cinta yang kau banggakan itu hanya akan memperoleh derita dan kesengsaraan. Kau tidak akan pernah menyentuh kebahagiaan di atas deritaku."

Pria itu pun tersenyum licik lalu berkata, "Yah mari kita lalui derita dan kesengsaraan itu. Jika denganmu, bahkan malapetaka pun akan ku hadapi dengan senyuman."

***

Dicintai oleh seorang psikopat, bagaimana rasanya? Terasa seperti siksaan neraka padahal belum bertemu dengan kematian. Sungguh ini sangat menyakitkan!

Hatiku berdesir saat membuka jendela. Angin musim semi yang terasa familier, menyadarkan ku akan satu kenyataan. Bahwa psikopat yang sadis dan kejam itu adalah abang ku sendiri.

Ah! Lantas aku harus bagaimana?

"Aku telah diperkosa oleh Abang ku sendiri. Mari kita akhiri hubungan ini."

"Maafkan aku. Abang mu menodai mu karena aku gagal melindungimu."

"Tidak...itu tidak benar...dia yang bersalah. Lantas kenapa kau yang meminta maaf."

"Aku akan menerima apapun yang telah terjadi padamu. Bukan tubuh, senyum, tangis, suara atau bahkan aroma rambutmu. Aku mencintai jiwa mu. Ku mohon jangan menyuruh ku untuk mencari perempuan lain, karena hanya kau perempuanku."

***

Bugh!

Bugh!

Sang ibu terus memukuli tubuh ringkih putranya yang berusia 5 tahun.

Bughh!

"Anak sialan! Dalam kandungan aku terus mencoba untuk mengugurkan mu."

Jika itu kenyataannya, mengapa Bunda melahirkan ku.

Bugh!

Bughh!

"Aku melahirkan mu hanya karena kesepakatan yang ku buat dengan si monster itu! Jadi, jangan salah paham."

"Ampun Bunda...sakit..." Sederas apa air mata itu sampai menutupi pandangan anak yang sedang kesakitan dengan terus menatap ke bawah.

"Dasar cengeng! Lelaki itu tidak boleh menangis."

Lantas untuk apa terciptanya air mata lelaki, kalau bukan untuk menangis.

"Kau pengasuhnya, ambilkan aku rotan!"

Bunda...cukup nafasku sesak, seluruh tubuhku dipenuhi luka. Mau sampai kapan Bunda menyiksa ku.

Bughh!

Bugh!

Bughh!

Rotan melayang bebas dari tangan kurus sang ibu.

"Mati saja sana! Aku sangat membenci warna rambut dan warna bola matamu. Persetan dengan kesepakatan atau apalah itu. Seharusnya aku tidak pernah melahirkan mu!"

Bunda..
Aku selalu mendambakan akan kasih sayangmu,
Memandang mu dalam diam selalu aku lakukan.

Bunda..
Bisakah kau membelai pelan rambutku..Walau hanya sekali seumur hidup.
Bisakah kau menggenggam tanganku..ketika aku sakit.

Bunda..
Aku memiliki nama, tapi sekalipun kau tak pernah menyebut namaku.
Aku memiliki hati yang bisa hancur mendengar teriakkan keras mu.
Aku memiliki rasa takut, tapi kenapa seolah kau tak tau.

Bunda aku ingin..
Di musim semi kau dan aku melihat mekarnya bunga.
Di musim panas, mari memandang langit cerah.
Saat musim gugur, ajak aku menyaksikan pepohonan meluruhkan daun-daunnya.
Saat musim dingin, tolong hangatkan aku dengan pelukan mu.

Ampun Bunda...
Jangan siksa aku lagi..
Aku berjanji tidak akan menjadi anak nakal.

Apa bunda tau bagaimana duniaku selama ini?
Gelap...duniaku begitu gelap.
Bunda aku takut..

Jika kelahiran ku merupakan kesalahan,
Apa kematian ku adalah kebenaran?

Jika rambutku berwarna pirang...
Bola mataku berwarna emerald..
Apa bunda bisa sedikit menerimaku?

Bunda..
Bila ketiadaan ku dapat membuat kau bahagia..
Maka, bunuh aku sekali saja!

Dengarkanlah bunda...
Meski kau membenciku,
Menganggap ku menjijikkan,
Bagiku kau tetaplah yang terindah dalam hidupku.

Tatkala musim panas telah berganti ke musim gugur. Daun-daun berwarna hijau telah berubah warna menjadi kuning dan jingga, berserakan di tepi jalan.

Tak peduli dengan musim apapun itu. Buliran air mata terus mengalir tanpa dipersilahkan.

Di kala itu semilir angin menyaksikan tubuh kurus nan kecil menjerit tanpa suara, menangis tiada henti, memohon ampun namun diabaikan.

Bunuh Aku Sekali Saja!Where stories live. Discover now