Hujan Keempat Belas; Hujan kali ini membawa kisah yang lain.

17 3 0
                                    

Mereka benar-benar melakukan niat random yang tak seharusnya dilakukan. Berbelanja telur, mengendarai motor menyusuri jalan-jalan becek dengan rintik kecil yang masih mengguyur. Bahkan keduanya tak peduli jika pakaian mereka basah, terus saja berboncengan sambil tertawa-tawa, layaknya anak sekolah yang sedang bersenang-senang bersama hujan. Usia mereka tak bisa lagi dikatakan sebagai kanak-kanak, tetapi tindakan yang akan terjadi sebentar lagi sangat berbanding terbalik dengan umur sebenarnya.

     Sesungguhnya Rhys juga tak habis pikir, kenapa dirinya bisa menyarankan tindakan usil seperti melempar telur ke mobil Vesta dan PJ. Mungkin karena pengaruh film. The Fault in Our Stars sukses menginspirasinya menjadi berandal cilik, kembali pada saat-saat SMA, di mana dirinya adalah seorang perusuh kecil yang doyan berbuat onar. Bedanya, kali ini dia mengikutsertakan Lavi. Sekalipun terpaksa, tetapi tetap saja. Lavina mampu mengiakan untuk segala sesuatu bersifat iseng itu merupakan suatu hal yang patut diabadikan.

     Lima belas menit menyusuri jalan-jalan berhujan, akhirnya pemuda itu menghentikan motor di seberang rumah berpagar silver. Rumah yang sudah berbulan-bulan tak dikunjunginya, tak pernah lagi dilewati, sejak kali terakhir yang menyebabkan wajahnya babak belur.

     Waktu memang telah berlalu, tetapi Rhys masih mampu merasakan sakit hati yang sama. Sama besarnya, sama berdarahnya, sama terlukanya seperti beberapa bulan lalu. Rasanya baru kemarin dia dan Elazar saling berbagi hantaman, kemudian si cantik Vesta mengabaikannya, lebih memilih pemuda brengsek yang berstatus sebagai pacar utama. Perih sekali, sungguh.

     “Rhys, balik, yuk! Gue takut.”

     Suara Lavi terdengar, tersamar berkat bunyi gerimis yang belum mereda. Suasana di perumahan itu terlihat sepi, seperti biasa. Tak ada satpam, atau tetangga yang berlalu-lalang. Gerbang-gerbang tertutup, mengisyaratkan bahwa segalanya aman. Bahkan maling pun akan senang mondar-mandir dalam kondisi jalanan yang seperti itu.

     “Enggak ada orang. Lagi pula, kalau ada yang lewat, tinggal bilang mirip seperti omongan Augustus dan Hazel di film tadi. Gampang, ‘kan?” sahut Rhys.

     “Namanya fiksi, ya fiksi. Ada di dunia nyata pun, jalan ceritanya enggak akan mirip begitu.”

     Si gadis mengembalikan ujaran penuh sarkasme yang tadi dilontarkan Rhys, membuat kawannya itu tertawa konyol. Coba lihat, siapa yang sekarang malah berpegang pada cerita fiksi menye-menye seperti itu?

     “Balas dendam itu seru, kok,” tukas Rhys asal, tak peduli dengan ketakutan yang terpancar jelas di ekspresi Lavi.

     Kini, pemuda itu malah mengajak kawannya turun dari motor, kemudian melangkah mendekati rumah di seberang tempat Novesta tinggal. Dengan satu gerakan terlatih, Rhys menumpukan kakinya pada tempat sampah besar yang terbuat dari semen, membiarkan Lavi berdiam di samping sambil harap-harap cemas. Semoga tak ada yang lewat! Semoga tak ada yang memergoki! Semoga mereka tak akan terkena masalah karena baru saja hendak melancarkan aksi menyerang rumah seseorang! Semoga, semoga, semoga.

     “Gue minta telurnya, Lav.”

     Dengan gerakan 50:50, Lavina menyerahkan kotak yang masih tertutup, menatap saja ketika temannya membuka dengan ringan, kemudian meraih satu buah telur ayam berwarna cokelat.

     Wajah Rhys benar-benar menggambarkan ekspresi siap, persis seperti rautnya ketika masih duduk di bangku sekolah. Senyum tengil menghias, disertai dengan sorot mata nan usil yang menyebalkan.

     Menyebalkan, tetapi cukup memesona. Karena ... apa sudah pernah disebutkan sebelumnya, bahwa Rhys Orion adalah salah satu dari sekian banyak laki-laki yang diberi anugerah ketampanan wajah oleh Tuhan?

Raining (End)Where stories live. Discover now