Hujan Terakhir; Hanya Mereka

32 3 1
                                    

Desember, 2014


Mendung menggantung. Awan kelabu bergelayutan di angkasa luas nan gelap, sekalipun waktu masih menunjukkan pukul sebelas. Mentari tertutup, sinarnya tak mampu menerobos kumpulan kapas angkasa yang kian menebal. Musim panas berganti, digantikan oleh musim dingin yang lumrah terjadi di bulan Desember.

     Kendati begitu, persoalan cuaca tak membuat segala persiapan yang dilakukan Arshella terjeda. Bahkan, segalanya dipercepat. Tak perlu menunggu pergantian tahun, nyatanya PJ sudah ada di sini, bersama kedua orang tuanya. Pria itu datang untuk melamar, meminta Shella menjadi tunangannya secara resmi. Cukup untuk membuat perempuan dua puluh enam tahun itu sedikit menangis haru. Dia kira, hubungannya dengan PJ tak akan sampai ke mana-mana. Ternyata begini akhirnya.

     Hal itulah yang menyebabkan Rhys berdiam di rumah saat ini, mengenakan kemeja rapi guna untuk menyambut calon keluarga barunya. Sebenarnya anak itu tak terlalu suka dengan acara-acara formal semacam pertunangan (walau kegiatan hari ini hanya dihadiri oleh kedua pihak keluarga inti). Namun, demi menjaga kesopanan, dia pun memaksakan diri, duduk di antara Ayah, Ibu, dan Kakaknya seperti anak patuh. Dalam hati bergumam sendiri, kapan segala keramahtamahan menye-menye ini akan berakhir?

     Untungnya, Lavi juga ada di sana—berkat paksaannya. Sungguh, tadi pagi-pagi sekali Rhys berkendara ke rumah sahabatnya, menyeret Lavina yang masih berbalut piama tidur dan berteriak seperti Mak Lampir lepas. Dia memaksa gadis itu mandi, berdandan seadanya, mengenakan pakaian sepantasnya, guna untuk menemaninya menjadi anak baik-baik di acara lamaran kakak. Sungguh menyebalkan.

     Awalnya, Lavi menolak. Bahkan, gadis itu sengaja mencakar lengan kanan Rhys yang terus memaksanya masuk ke kamar mandi. Namun, setelah mendapat pengertian dan bujukan halus—ditambah dengan janji akan ditraktir piza sepuasnya—gadis itu akhirnya menyanggupi. Hanya duduk diam dan menemani Rhys saja, ‘kan? Tak perlu melontarkan sambutan seperti di film-film yang sering ditontonnya ketika sanak saudara mengadakan acara sakral.

     Jadi, di sinilah dia. Duduk seperti anak bungsu keluarga Rhys Orion, tersenyum ketika PJ menyematkan cincin di jari manis Arshella. Dia bersumpah, hatinya tak lagi sakit. Batinnya tak lagi merasa kecewa. Segala perasaan semunya pada PJ sudah hilang total, digantikan dengan kegembiraan kala menyaksikan Arshella menangis haru. Pemandangan yang cukup indah untuk disaksikan. Mampu menyentuh relung halus yang selama ini hanya berhasil disentuh oleh film-film romansa di televisi.

     Diam-diam, dia jadi membayangkan sendiri. Kelak, akan tiba waktunya mengalami hari yang sama. Akan tiba saatnya dia menangis haru seperti Arshella, ketika seorang laki-laki gentleman datang dan melamar. Aduh ... belum-belum anak itu sudah tersipu membayangkan moment yang masih sangat lama terjadi. Kira-kira, siapa, ya, cowok itu?

     Niscala ... sekarang lagi apa, ya?

     Sontak, Lavina mengulum senyum. Pemikiran acaknya yang tiba-tiba menyebutkan nama Niscala mampu membuatnya semakin tersipu. Jika boleh jujur pada diri sendiri, dia semakin jatuh dalam pesona Kala. Cara lelaki itu tetap tenang ketika segala sesuatu sedang tak terkendali, kepandaiannya, senyumnya, caranya bicara, semuanya memukau. Tak ada hari yang dilewatkan Lavi tanpa berbagi kabar dengan mantan teman sekolahnya itu. Luar biasa memang cara Tuhan membolak-balikkan kisah hidup manusia.

     “Patah hati?”

     Bisik lirih dari Rhys cukup untuk mengembalikan Lavina dari dunianya sendiri. Gadis itu melirik kawannya, yang sedang duduk diam tetapi tersenyum samar, seolah sedang mengejek. Mengganggu mood saja.

     “Lo jangan merusak suasana, deh! Ini lagi ada acara sakral,” balas Lavina, dengan suara tak kalah lirih. Sumpah, dia tak habis pikir. Bisa-bisanya laki-laki tolol itu menampakkan kekonyolan di saat yang kurang tepat.

Raining (End)Where stories live. Discover now