"Tolong! Tolong! Siapapun, tolong aku!"
Ruby tidak ingat apapun yang terjadi sebelum menemukan dirinya sendiri di antara kobaran api yang membesar. Tidak ada kebebasan yang jelas, tidak ada jalan keluar yang terlihat, hanya ada api yang semakin lama semakin mempersempit ruang geraknya. Ruby tahu ia bisa terjebak di antara api-api yang siap membakarnya, jika ia tidak segera pergi dari sana.
Dalam ketakutan itu, Ruby merasakan napasnya semakin berat. Ia kehilangan kekuatan, sampai-sampai kakinya yang sedaritadi berjuang untuk berjalan akhirnya ambruk, Ruby terjatuh dalam keadaan berlutut, hanya bisa menunduk menangisi keadaannya. Napasnya juga semakin sedikit, ia mulai merasa sesak.
"Tolong ... aku."
Dalam keputusasaannya, Ruby hanya teringat dengan ayah dan ibunya. Apakah mereka selamat? Apakah mereka baik-baik saja? Ruby tidak tahu bahwa hidupnya akan berakhir seperti itu, tetapi dirinya sangat ingin berjumpa dengan kedua orangtuanya, sekali lagi. Hanya satu kali, ia ingin mengucapkan kata-kata perpisahan.
Masih menangis, Ruby tak sengaja mendengar suara langkah kaki mendekat. Ruby menengadah kepala, memeriksa siapapun yang datang dengan setitik harapan bahwa dirinya akan diselamatkan.
Siluet seseorang pun terlihat semakin besar dari kejauhan, ada yang datang mendekat. Namun Ruby tidak tahu apakah ia sanggup bertahan sampai orang itu datang atau tidak.
"T-tolong."
.
.
.
"Ruby, kau bermimpi buruk?"
Tangan hangat ibunya menjangkau kedua tangannya. Ruby langsung tersadar kembali, menatap langit-langit kamarnya dalam keremangan malam dan wajah ibunya yang tampak samar-samar begitu khawatir.
"Itu ... hanya mimpi?" gumam Ruby.
"Benar, hanya mimpi. Apa yang kau sebenarnya mimpikan?" tanya ibunya sambil mengusap wajahnya, menyingkirkan anak-anak rambutnya yang berantakan tak beraturan.
"Aku terjebak di dalam api," jawab Ruby, masih gelisah karena mimpi buruk itu.
Ibunya langsung mengelus lembut kepalanya, lalu memberikan segelas air yang ada di meja di samping tempat tidurnya. "Itu hanya mimpi. Biasakan minum air dulu sebelum tidur, jadi tidak akan ada mimpi tentang api lagi dalam tidurmu."
Ruby hanya bisa diam, tanpa bisa menjelaskan bahwa dia sebenarnya sudah meminum air putih tadi malam. Ayahnya bekerja dengan hal yang berhubungan dengan kayu, sementara ibunya bekerja dengan hal yang berhubungan dengan kain dan kulit, mereka menganggap bahwa api adalah musuh keluarga. Musuh api adalah air, jadi meminum air sebelum tidur adalah ritual agar api tidak melahap keberuntungan mereka.
Itu hanya kepercayaan kecil, tetapi sudah menjadi tradisi dan kebiasaan keluarga mereka sejak Ruby masih kecil.
"Kau butuh lampu minyak?" tanya ibunya sebelum ia keluar dari kamar Ruby. "Atau itu ide yang buruk setelah kau bermimpi buruk tentang api?"
Ruby menggeleng, "Tidak apa-apa, taruh saja di mejaku, Bu."
Dia sebenarnya tidak punya rencana untuk melanjutkan bacaan bukunya, tetapi dia lebih tidak berencana untuk terlelap lagi.
Mimpi itu begitu nyata, karena Ruby sangat ingat dengan suhu panas yang mengelilinginya. Tapi, tangan ibunya juga begitu hangat, Ruby kini tahu mana kenyataannya.
"Tidur nyenyak, putriku. Mimpi indah."
"Ibu juga, mimpi indah."
Setelah ibunya keluar dari kamar, Ruby memperhatikan lampu minyak yang diisi seminim-minimnya. Rumah mereka sepenuhnya terbuat dari kayu, maka hanya itu yang bisa dilakukan untuk mencegah hal yang tidak diinginkan bila ada hal buruk yang terjadi. Api di dalam lampu minyak tidak besar, hanya remang-remang, berbeda sekali dengan yang dilihatnya dalam mimpinya.
YOU ARE READING
ETHEREAL - The Kingdom of Illusion [END]
Fantasy[Fantasy & (Minor)Romance] Ruby tidak pernah tahu bahwa kolong tempat tidurnya mempunyai ruangan rahasia. Keinginan konyolnya waktu belia, rupanya dipenuhi oleh ayahnya. Masalahnya, waktu telah mengubah pandangan Ruby; kini dia telah beranjak remaj...