Dua Puluh Empat

329 28 6
                                    


Raut cemas tak bisa disembunyikan dari wajah cantik, seorang perempuan berpakaian dinas coklat kebesaran, khas kepolisian. Baju yang biasa ketat itu tertutup pakaian khusus yang menyerupai hijab  rapi menutup dada menjuntai hingga paha.

Baju dinas yang dimodifikasi sesuai syar'i. Hanya terpaksa dilepas ketika upacara dan rapat dinas dilaksanakan.

Tak ada yang melanggar kode etik karena Qonita masih taat aturan. Hanya memakainya ketika dinas di kantor dan lapangan.

Sungguh ingin memakai gamis dan hijab lebar, tapi aturan masih tak memungkinkan. Memodifikasi pakaian akhirnya jadi pilihan.

Langkah gadis cantik itu tergesa ketika memasuki pelataran rumah sakit. Bayangan wajah memelas lelaki yang datang mengiba pengampunan atas dosa masa lalunya terbayang di pelupuk mata.

Getar rasa tak biasa, tak bisa diungkapkan kata menyelusup dalam kalbu. Apakah ini yang namanya cinta pada orang tua? Fitrah yang dititipkan Tuhan pada semua insan. Mencintai anak atau orang tua tanpa alasan apa-apa.

Segunung benci. Setumpuk dendam seolah hilang ketika mendengar lelaki penyebab hadir ke dunia, mungkin akan pergi meregang nyawa. Terbaring koma tiada daya.

Langkahnya terhenti di ujung ruangan kaca yang tak bisa digapai oleh raga. Hanya bisa mengintip dari luar ruangan tanpa bisa menggenggam tangan yang terpasang banyak selang perawatan.

Tak terlihat gerak. Dadanya pun senyap dari getar halus tanda pernapasan. Mungkin karena terlampau lemah.

Kepala lelaki yang hanya bisa dilihat dari luar ruangan itu tampak berbalut perban yang memerah merembes darah segar.

Layar monitor menunjukkan garis horizontal terlihat berupa garis naik turun yang nyaris menjadi garis lurus. Pertanda si empunya raga sangat lemah.

Angka yang tertera pun hampir mencapai ambang batas terendah. Tak ada tanda kehidupan. Gerak dada terlihat sangat lemah. Hampir tak terlihat lagi bernapas.

Qonita menarik napas panjang. Sesak dada melihat lelaki yang terkapar ingin mengakhiri hidupnya itu begitu mengenaskan.

Air bening perlahan meleleh. Sebuah tangan lembut menyeka air mata yang hampir menyentuh bibir mungilnya.

"Tak ada yang bisa kita lakukan. Hanya menunggu keajaiban. Doakan dia, Nak. Semoga ada keajaiban untuknya," ucap Marisa yang tanpa disadari Qonita sudah berdiri disampingnya. Menepuk pelan pundak Qonita yang terguncang hebat karena isakkan yang tak bisa ditahan.

"Iya, Tante. Maaf ijin bertanya, ibu saya ke mana? Barangkali Tante lihat ibu saya?"

"Ibu dan ayahmu sedang di mushola. Mereka salat Ashar. Tante juga baru balik dari sana."

"Oh, ya, terimakasih. Saya akan menyusul ibu. Kebetulan saya juga belum salat Ashar. Saya pamit, Tante."

Marisa mengangguk dan tersenyum. Mengekor matanya mengikuti langkah gontai Qonita yang terlihat tak bersemangat.

Memang darah lebih kental daripada air. Sebenci apapun dirinya pada Lukman. Fitrah dasar kecintaan yang Tuhan berikan untuk satu darah tak akan pernah hilang.

Kasih sayang itu tumbuh tanpa harus dipupuk. Cinta itu hadir tanpa harus diukir. Aliran darah yang mengalir kencang itu telah bicara tentang rasa yang tumbuh meski ditentang logika.

"Bertahanlah, Lukman. Hati Qonita yang membeku perlahan tapi pasti akan terbuka menerimamu. Menjamah hatimu. Aku yakin itu," gumam Marisa dengan menatap dari jauh sosok disebalik kaca tebal yang tak terjangkau.

***

"Tuhan. Berikanlah kesempatan Qonita untuk bisa berbincang dengan ayahnya. Beri waktu Lukman untuk menebus dosa masa lalunya. Jangan biarkan dia pergi sebelum mendapat maaf dari Qonita. Ijinkan anakku menjadi seorang pemaaf. Mampu menerima ayahnya dengan tangan terbuka. Berilah kesempatan mereka untuk bisa saling menyayangi. Menembus semua kesalahan yang terjadi. Aamiin."

Sayup terdengar doa yang terlantun dari bibir mungil suci yang diamini oleh Yadi dengan gerak bibir tanpa suara.

Mereka larut dalam tengadah meminta kesehatan dan keselamatan bagi seorang lelaki yang jelas-jelas menjadi sumber petaka dan derita hidupnya

"Aamiin ...." Suara Qonita terdengar serak mengamini doa kedua orang yang teramat berharga dan dicintainya.

Seketika Suci dan Yadi menoleh sumber suara. Mata mereka melebar. Terbelalak. Saat tahu siapa yang mengaminkan doa mereka. 

"Nita!"

Tangan Yadi terlihat melambai. Memberi kode untuk mendekat pada Qonita yang terlihat berurai air mata dan sembab.

Raga perempuan muda yang badannya limbung karena bingung menghadapi kenyataan itu terlihat merangsek. Memangkas jarak dan langsung berhambur memeluk Yadi dan Suci.

Terbenam raganya dalam pelukan dua orang tercinta dengan isakkan yang teramat dalam hingga tubuhnya terguncang hebat.

Lama juga mereka terdiam dan melepaskan emosi yang membelenggu diri. Hingga pada akhirnya bisa menguasai dan berjalan pelan menuju ke  ruang ICU.

***

"Kalian siapa?"

Pertanyaan itu terlontar seketika setelah Qonita melihat beberapa anak tengah menangis di depan ruang ICU. Mereka meratap menyebut nama Lukman.

Wajah mereka terlihat begitu merana. Memendam lara. Seolah raga lemah yang terbaring koma adalah orang yang berharga bagi mereka. Hingga membuat air mata tak berhenti membanjiri pipi.

"Mereka anak asuh dari Lukman, Nit. Mereka datang setelah mendengar kabar ayah angkatnya sedang sakit. Mereka diantar pak polisi."

Marisa menjawab tanya dengan nada yang penuh kekaguman luar biasa.

Ternyata setelah kegagalan rumah tangga beberapa kali tanpa memiliki keturunan. Lukman memutuskan untuk hidup sendiri dan mengadopsi beberapa anak yatim piatu dari panti asuhan untuk menemani hidupnya yang sepi.

Rasa hampa yang dirasa, dicoba empaskan dengan cara berbagi pada kaum dhuafa. Mengambil tanggung jawab anak yatim piatu itu untuk dinafkahi dan disayangi.

Rasa hampa itu mungkin berkurang. Namun, dahaga akan kasih saya anak sendiri yang benar-benar darah dagingnya. Mengantarkan dirinya untuk menemui Qonita setelah tahu perbuatan bejad di masa lalu telah membuahkan kelahiran seorang gadis jelita.

Meski malu dan ragu. Diberanikanlah datang menyapa Suci dan menemui sang Puteri. Berharap bisa menebus dosa dengan memohon ampunan gadis yang terlahir dari perempuan yang dinodai di masa mudanya.

Mata Qonita tak mampu lagi menahan aliran air mata yang mengalir kian deras.
Setitik kagum menyelinap di hati yang penuh benci. Ternyata, Lukman tak seburuk yang dikira.

Sisi humanis terlihat jelas dari tindakan lelaki yang begitu dibenci itu. Tatapan tulus nan polos anak-anak yang begitu menyayangi dan mengkhawatirkan Lukman membuat dadanya bergetar.

"Ayah orang sangat baik. Alhamdulillah kami merasa mempunyai ayah yang sebenarnya. Beliau menjaga kami tanpa melihat kami sebagai anak pungut. Kasih sayangnya begitu tulus." Seorang anak yang berbaju SMP mewakili kelima adiknya bicara.

"Anak ayah yang lain juga banyak. Mereka tinggal di panti asuhan. Ayah membiayai mereka setiap bulan dari hasil bekerja menjadi pengacara." Gadis kecil berseragam putih merah membumbui cerita dengan ucapan kekaguman.

Qonita tertegun. Lalu duduk jongkok dengan mereka yang tampak lemas di ubin yang dingin. Mengelus pucuk kepala mereka seolah ingin menguatkan.

"Kenapa ayah berbuat bodoh, Kak? Katanya menurut yang saya dengar ingin bunuh diri. Apa ayah tak lagi sayang kami? Bagaimana nasib kami jika ayah meninggal?"

Tangan Qonita terlihat bergetar. Rasanya ucapan anak kecil itu mengoyak kalbunya. Dirinyalah penyebab semua ini. Seolah kemalangan yang menimpa ayah dan nasib anak-anak adalah dosanya.

"Maafkan kakak, Dek. Ayah kita akan selamat. Dia terlalu kuat untuk tidak bertahan. Dia akan ada dan hidup lama untuk kita," ucap Qonita dengan memeluk keenam anak yang tak berhenti terisak.

Marisa, Suci serta Yadi yang mendengar tersenyum. Akhirnya Qonita bisa mengakui keberadaan Lukman. Mereka berharap jika doa tulus anak-anak Lukman akan didengar Tuhan. Semoga.

Bagaimana kisah Qonita selanjutnya?

Qonita(Terlahir Dari Perempuan Ternoda)Where stories live. Discover now