𝑪𝒂𝒓𝒂𝒎𝒆𝒍'𝒔 𝒕𝒆𝒂𝒄𝒉𝒆𝒓☼︎

450 77 135
                                        

"Tak mungkin Allah ciptakan kesedihan tanpa kebahagiaan setelahnya."

Terhitung sudah seminggu berlalu sejak kepulangan Caramel. Hari-harinya berjalan dengan normal, makan, beberes rumah, kini ia sekolah diantar jemput oleh Ledi meski Ledi sedikit kerepotan sebab jam pulang mereka tak sama, pun dengan arah sekolah dan tempat Ledi bekerja tak searah. Sudah Caramel tolak, ia bisa berjalan kaki dengan sangat ikhlas, tapi orang tua mana yang ingin melihat anaknya susah? Oleh sebab itu Ledi bersikeras.

Namun, hari ini Caramel kembali berjalan kaki, bukan karena tak dijemput, tapi karena pihak sekolah mempercepat waktu pulang para murid.

Matanya curi-curi pandang pada gang yang ia lewati, di dalam sana terdapat sebuah pasar kecil yang buka dari pagi hingga pukul 11.30 siang. Rencananya, Caramel ingin ke pasar bila ada waktu, membelikan sesuatu untuk adik, ayah, dan bundanya. Namun melihat banyak para pedagang yang mulai keluar dari gang tersebut dengan barang dagangan mereka membuat Caramel mengurungkan niat. Sebagian besar toko-toko di pasar pasti sudah banyak yang tutup.

Entah sudah menit keberapa sejak Caramel mulai berjalan kaki, tak terasa kini ia sudah sampai. Indra penglihatan Caramel menangkap sosok Lova yang tengah mengusap peluh sembari membuka pintu, guratan samar tercetak di kening Caramel. Dari mana bundanya panas-panas begini? Cepat-cepat Caramel melngkahkan kakinya, menyusul Lova yang sudah lebih dulu memasuki rumah.

"Assalamualaikum, Bunda."

"Loh? Kok udah pulang, Mel?" Lova yang tengah berbaring di atas lantai tanpa alas seketika terperanjat.

Caramel melepas sepatu beserta kaus kakinya sebelum memasuki rumah. "Pulang cepet, Bun."

"Yaudah, makan sana biar badan kamu nggak kerempeng," titah Lova.

Caramel memajukan bibirnya singkat. Sedikit tak terima dirinya dikatai kerempeng.

"Mel, ambilin dompet Bunda dulu deh di bawah bantal."

Patuh, Caramel mengangguk, langsung memasuki kamar orang tuanya. Membuka bantal dan mengambil dompet hitam. Dompet yang sekarang ada dalam genggaman Caramel ia mainkan, ia lambungkan ke atas lalu tangap, lambungkan ke atas lalu tangkap, lambungkan ke atas namun yang ketiga tangkapannya meleset. Membuatnya harus berjongkok, mengambil dopet yang terhempas setelah di lambungkan tinggi. Sakit sekali pasti, ya.

Mata Caramel menatap sekilas pelastik besar berisikan penuh barang yang ada di bawah tempat tidur. Penasaran, Caramel menarik pelastik tersebut, keluarlah Caramel dengan dompet dan pelastik yang tak seharusnya ia sentuh.

"Bunda, ini pelastik isinya apa?"

Sontak Lova bangun dari posisi berbaringnya di atas lantai tanpa alas itu, sepertinya Lova sedang ngadem. "Balikin ke tempetnya lagi, Mel."

Aish, sikap bundanya ini malah membuatnya semakin penasaran. "Ini apaan, Bun? Kok berat sih." Caramel menatap pelastik tersebut tanpa mengindahkan perkataan Lova.

"Balikin, Mel!!!" Caramel tersentak. Cepat-cepat ia letakkan kembali pelastik itu ketempat semulanya. Takut Lova ngamuk.

*****

Matahari mulai tenggelam bersama dengan cahayanya yang kian menghilang, menyisakan semburat merah berpadu jingga di ufuk barat yang memperindah proses pergantian terang menuju gelap.

Berkat kesabaran ekstra yang dimiliki, Caramel mampu menahan dengusannya saat mengajarkan Liona yang mulai 'sok tau' akan tugas-tugas sekolahnya, namun tak urung ia masih merengek minta diajarkan.

"Nah, kan! Berarti tiga tambah tiga itu enam," cetus Caramel kesal saat Liona menemukan jawaban yang benar dari penjumlahan 3+3.

"Kok bisa berubah-ubah sih, jawabannya? Padahal tadi sembilan, loh." Masih saja dia mengukuhkan jawabannya yang sudah jelas salah.

"Ona... Tadi itu Ona kaliin angkanya, bukan di jumlahin. Ya jelas jawabannya beda."

"Ya ampun, Kak! Kakak Amel kok nyalahin aku, sih?" Nah kan. Salah tapi ngotot.

Ya tuhan. Izinkan Caramel mencekik adiknya sekali saja. "Yaudahlah, Dek. Terserah." Caramel meraih penanya lagi, kembali mengerjakan tugas sekolahnya.

"Kan! Kak Amel mah mentang-mentang udah pinter nggak mau ngajarin Ona lagi."

Caramel menaruh pena dalam genggamannya kasar. "Makanya kalo dikasih tau yang bener tuh jangan ngeyel!" Naik sudah pintam Caramel.

"Ya emang apa loh, bedanya tiga dikali tiga sama tiga ditambah tiga?" Ya tuhan. Bocah di hadapan Caramel masih saja bersikeras, bertanya dengan tampang polos tak berdosa, bertanya dengan suara yang masih terdengar mungil nan menggemaskan meski ia mempertanyakan hal yang sangat membagongkan.

"Ona tau jawaban tiga tambah tiga hasilnya sembilan dari mana?" Caramel mulai mengkorek akar dari drama kecil ini.

Cepat-cepat Liona meraih buku yang sampul belakangnya terdapat tabel perkalian. Ia tunjukkan tabel itu pada Caramel.

Caramel mengangguk. "Terus tau jawaban enam dari mana?"

"Kalo itu mah Ona ngejumlahin tiga tambah tiga. Ternyata hasilnya enam." Liona memberi tahu dengan wajah bersungut-sungut. "Ona nggak mungkin salah. Kak Amel aja bilang hasilnya enam, berarti sampul buku ini yang salah. Dia ngasih informasi bodong, Kak," sambung Liona.

"Empat dikali dua berapa?" Caramel melempar sebuah soal untuk memastikan dugaannya.

"Bentar, Kak. Bentar. Ona udah trauma liat tabel ini. Dia sesat. Ona jumlahin pake jari dulu." Liona mengacungkan empat jari kanan dan dua jari kiri.

"Enam, Kak."

"KAMU KALAU NGGAK TAU BEDANYA PERKALIAN SAMA PENJUMLAHAN BILANG YA DEK!!!" batin Caramel menjerit histeris.

Caramel terdiam. Bingung ingin menimpali kalimat apa pada Liona yang sok 'yes'. Nangis darah saja lah. Caramel memberikan ajaran terlalu jauh pada Liona yang bahkan belum dapat membedakan perkalian dan penjumlahan.

TBC.

I'm okay (END)Where stories live. Discover now