7

18.5K 1.6K 27
                                    

Aku melihat kearah Deva yang sedang berbaring di kasur. Aku tau ini sudah jam tidurnya. Apapun yang terjadi, anak ini akan mencoba tidur.

Terkadang aku heran, bagaimana anak ini bisa sebegtiu disiplinnya dengan waktu kesehariannya. Waktu makan, waktu tidur, waktu nonton dan waktu belajar semua dengan porsi yang tidak kurang dan lebih. Untungnya Deva memang anak yang cukup pandai di sekolahnya. Peringkat satu yang ia dapatkan selama 4 tahun berturut-turut membuatku bingung, otaknya bisa mencerna semua itu dari mana.

Pasalnya, kalau boleh jujur aku sendiri tidak memiliki banyak waktu untuk mengajari Deva. Aku masih sibuk di kantor sewaktu Deva masuk ke sekolah dasar. Ketika aku pulang, Deva sudah dengan waktu makan dan waktu tidurnya. Aku dilarang merusak jadwalnya.

Kalau boleh aku sombong, otak yang dimiliki Deva itu turun dariku saja. Tapi, aku tidak boleh melupakan kemampuan belajar Rega. Laki-laki itu juga menjadi sainganku ketika SMA lalu. Menjadi juara umum peringkat satu sulit sekali karena Rega selalu berada disana. Sedangkan aku, hanya bisa bangga dengan peringkat kedua.

"Deva." Panggilku, "Udah mau tidur?"

Deva hanya mengangguk dan aku mendekatinya. Memeluk dan mencium pipinya.

"Mama sayang banget sama Deva."

Deva membalas pelukkanku, "Deva juga sayang Mama."

"Udah pasti dong. Kalau kamu nggak sayang Mama, jatah komik sama jatah beli buku Mama nggak kasih."

Aku mendengar decakan saja dari mulutnya. Sebenarnya, aku bingung harus bagaimana untuk mengatakan keadaanku sesungguhnya pada Deva. Aku berada diambang kedilemaan yang luar biasa. Jika aku mengatakan keberadaan Rega, ternyata laki-laki itu memilih melupakan kami. Nyatanya, aku hanya memberikan harapan palsu pada Deva. Tetapi, jika aku tidak mengatakannya dan Deva tau sendiri dari Rega itu akan membuatku semakin bersalah karena tidak jujur terhadapnya.

"Deva, kok kamu nggak pernah tanya tentang siapa papa kamu?" tanyaku akhirnya.

Deva melihat ke arahku sebentar, lalu mengangkat kedua bahunya. "Kata Kakek, kalau emang itu milik kita mereka akan menjadi milik kita. Kalau mereka bukan milik kita, kita nggak akan pernah bisa maksa mereka untuk kita."

"Kapan Kakek ngomong gitu?"

"Udah lama."

"Deva pernah tanya tentang papa Deva ke Kakek?"

Deva mengangguk.

"Kenapa nggak tanya Mama?"

Deva menggeleng, "Nanti Mama sedih."

Aku memeluk Deva sangat erat. "Emangnya Deva nggak mau punya Papa?"

Deva diam tidak menjawab. Aku mengelus puncak kepalanya. "Mama janji, Deva akan selalu bahagia."

Setelah itu aku mencium keningnya dan meninggalkannya sendiri. Ternyata tanpa aku sadari Deva memiliki pemikirannya sendiri yang tanpa aku sangka aku sudah menaruh beban untuk Deva.

Mama janji Deva nggak akan pernah merasakan apa yang Mama rasakan. Ucapku dalam hati sambil menutup pintu kamarnya.

**

Regananta :

Aku mau ketemu kalian.

Pesan itu baru saja masuk ke dalam ponselku membuatku mengerutkan kening. Padat, singkat dan jelas. Aku membalasnya langsung mengatakan jika aku sedang berada di toko buku di salah satu mall di Jakarta Barat.

"Aku boleh ambil jatah minggu depan nggak? Jadi minggu depan nggak usah ke toko buku."

Aku hanya mengangguk. Kami berdua ini jika sudah di toko buku akan lupa waktu. Bu Kasih dan Pak Cakra bahkan sudah membuatkan rak-rak buku besar di ruang tamunya agar kami bisa menaruh buku-buku tersebut.

Jika kebanyakan anak banyak membeli mainan, beda dengan Deva. Anak ini terlalu banyak buku. Dari kecil, Deva sudah menyukai buku. Entah buku gambar, buku cerita dan lainnya. Bahkan diumur 4 tahun Deva sudah bisa membaca meskipun masih mengeja perlahan.

"Inka."

Suara itu membuat konsentrasi terhadap buku yang aku pegang buyar. Ternyata masih sebegitu berpengaruhnya aku terhadap kehadirannya.

"Udah punya keputusannya?"

"Menurut kamu?"

Aku hanya mengangkat kedua bahu. Aku tidak ingin menebak, tidak ingin dibutakan oleh harapan lagi.

"Jawaban aku udah jelas kalau aku ada disini, Inkana."

Aku melihat Rega kesal, pasalnya aku benci sekali ketika Rega menyebut nama lengkapku dan itu benar-benar bereaksi yang tidak bagus untuk tubuhku sendiri. Sadar, ayah dari anakmu ini sudah menjadi calon suami wanita lain.

"Deva bukan arena bermain. Ketika kamu bosan mencarinya dan ketika sudah lelah kamu bisa meninggalkannya. Kamu akan terikat dengannya seumur hidup setelah ini, Rega. Kamu siap?" tanyaku serius.

"Memang seharusnya aku sudah terikat dengan Deva sejak hampir 11 tahun yang lalu kan kalau saja kamu nggak kabur."

Aku berdecak, "Kabur dan diusir itu beda."

"Loh, Om disini?" tanya Deva menghampiriku.

Rega tersenyum, "Deva udah makan?"

Deva menggeleng, "Mau makan sama Mama nanti."

"Makan sama Om juga mau?"

Deva melihat ke arahku, tentu saja anak itu meminta persetujuan dan ijin dariku kan?

"Mau?" aku malah bertanya kembali padanya.

Aku belajar untuk membiarkan Deva memutuskan sesuatu. Tidak hanya tergantung dengan jawabanku. Toh, Deva berhak memutuskan segalanya kan?

"Aku ikut Mama aja."

Aku berdecak, "Mama makan batu, kamu mau?"

Deva menggeleng, "Aku lihatin Mama makan aja kalau yang itu."

Aku mendengar suara tawa Rega membuatku harus melihat ke arahnya. Rega tertawa adalah hal yang jarang terjadi.

Aku mengajak Deva untuk pergi ke kasir untuk membayar buku-buku yang ia ambil. Ketika aku mengeluarkan dompet, Rega menahanku. Membuatku harus mengerutkan kening ke arahnya.

"Aku aja yang bayar."

"Nggak usah. Aku bisa bayar bukunya kok."

"Anggap aja welcome gift untuk Deva, ya?" ucap Rega pada Deva.

Deva hanya diam. Aku tau, anak itu hanya membiarkan aku memutuskan semuanya.

"Habis ini kita pergi makan ya?" tanya Rega setelah menyelesaikan pembayaran di kasir.

Rega memimpin kami menuju mobilnya. Aku kira kita akan makan di dalam mall ternyata ketika Rega mengajak kearah parkiran dan masuk ke dalam mobilnya.

Rega banyak bertanya pada Deva. Anak itu hanya menjawab yang bisa dijawabnya jika pertanyaan sedikit ambigu Deva tidak akan menjawab pertanyaan itu.

"Om itu temen Mama?" tanya Deva.

"Hmm, iya." Jawab Rega ragu.

"Om suka sama Mama?" tanya Deva dengan tiba-tiba. Deva tidak menjawab pertanyaan itu, lalu ia melanjutkan "Soalnya tiba-tiba aja Om sering muncul."

Aku tertawa dengan suara yang dipaksakan, sumpah. Ini aneh banget suasananya. "Om Rega udah punya calon istri."

"Terus kenapa ajak kita makan? Beliin aku buku? Emang calon istrinya nggak marah?"

"Kenapa harus marah?" tanya Rega tak kalah datar nadanya dengan Deva.

Deva mengangkat kedua bahu cuek, "Pasti calon istri Om aneh. Kenapa Om lebih milih makan sama kita dibanding makan sama dia." Ucap Deva.

Aku hanya diam. Kok bisa anak ini punya pikiran seperti ini?

Aku juga sudah mengangkat kedua bahu pada Rega, aku tidak tau harus menjawab apa dari pertanyaan itu. 

Hanya Tentang Waktu [END]Where stories live. Discover now