11

17.4K 1.5K 5
                                    

Ruang tamu sudah diisi dengan suara ketikan laptop, aku sedang sibuk mengurus itinerary liburanku dengan Deva. Bukan liburan mewah, justru aku harus mengepress-ngepresskan budget untuk ke Singapore. Sebisaku mengusahakan yang terbaik tentunya. Biar bagaimanapun ini pertama kali untukku dan Deva untuk bisa pergi ke luar negeri. Jujur saja aku excited sekaligus meringis melihat budgeting yang sudah aku tulis.

Aku akui, membeli tiket ke Singapore tidaklah terlalu mahal. Tetapi biaya hidup yang harus aku bayar disana membuat tabunganku kejat-kejut. Bagaimana tidak? Sekali makan bisa sampai 50-100 ribu perorang dan aku harus mengalikannya dua. Janji keburu janji, aku harus menepatinya kan? Meskipun agak menyesal setelah melihat angka-angka yang aku buat.

Aku membuka google maps antara satu tempat ke tempat lain. Membuat jadwal tempat-tempat yang searah, agar tidak tekor diongkos.

Harusnya ini sepadan dengan senyum Deva yang tidak luntur semenjak dua hari lalu kami kembali ke Bandung.

Setelah mengurus laporan dan mengambil cutiku, aku langsung membeli tiket untukku dan Deva. Mengurus semuanya. Deva juga tidak berpangku tangan, tentunya dia mencari tempat-tempat rekomendasi di Singapore.

Mudah-mudahan kami tidak nyasar pergi berdua saja. Aku sudah menonton banyak video orang-orang ke Singapore, biar tidak buta-buta banget ketika harus menggunakan transportasi umum. Maklum jalan-jalan budget. Tapi, Deva tidak mengeluh. Buktinya anak itu tetap tersenyum saja ketika aku bilang uang jajannya akan dipotong setelah berpergian ini.

Malam ini, aku dan Deva akan ke Jakarta lagi. Karena besok aku dan Deva sudah terbang ke Singapore. Mencari tiket Bandung-Singapore membuatku harus geleng-geleng kepala, terlalu banyak transit dan mahal. Jadi, aku memutuskan untuk terbang dari Jakarta saja.

Dua hari ini, Bapak, Ibu, Oma dan Opa Deva tidak berhenti untuk mengajak anak itu video call. Katanya sudah kangen ditinggal cucu, padahal baru dua hari dan mereka tidak berhenti menelpon.

Membuatku harus menggelengkan kepala. Mereka bahkan membuat Deva harus mengitari rumah untuk memperkenalkan bagaimana Deva tumbuh di rumah ini. Benar-benar ajaib, padahal nanti mereka juga akan tau ketika main ke sini kan?

**

Aku dan Deva sudah duduk di dalam kereta, kami sudah menuju ke Jakarta. Aku mengelus lembut kepalanya.

"Pinter banget sih anak Mama, udah bisa bantu dorong koper."

Deva melirikku sekilas, "Udah gede."

Suara ponsel Deva terdengar, ia memperlihatkan siapa yang mengajaknya video call. "Om Rega."

"Angkat aja."

"Hai." Suara Rega terdengar di telingaku, "Loh, Deva dimana?"

"Di Kereta."

"Mau kemana?" tanya Rega lagi.

"Mau ke Jakarta."

"Ke rumah Oma?"

Deva menggeleng, "Deva sama Mama mau liburan ke Singapore. Penerbangannya besok."

Setelah itu Rega diam sesaat, "Mama ada?"

Deva langsung memberikan ponselnya padaku, "Kenapa?"

"Kamu nggak bilang mau pergi?"

Aku mengerutkan kening, "Harus?"

Rega berdecak, "Penerbangan kapan? Pesawat apa?"

"Jam 3 sore besok."

"Kamu kan sampainya malem? Ke rumah dulu?"

Aku menggeleng, "Aku udah book hotel sekitar bandara. Jadi nanti aku langsung ke sana."

Aku mendengar Rega menghembuskan napas kasar, entah mengapa. Aku merasa tidak melakukan kesalahan kan? Kenapa juga mukanya menunjukan jika ia kesal? Aneh.

"Yaudah, nanti aku jemput di stasiun. Kamu sampe sini jam 7 malem kan?"

Aku mengangguk mengiyakan jika sampai jam 7, "Nggak usah jemput, Ga." Wajahnya sudah kembali ditekuk, aku hanya tidak ingin merepotkannya, "Aku naik taksi online aja."

"Bisa nggak, sekali aja nggak usah bantah gitu?"

Aku berdecak, lalu melihat Deva yang diam saja seakan perdebatan aku dan Rega sama sekali tidak menganggunya sama sekali.

"Yauda.. Yauda.." ucapku mengalah, "Nih aku balikin handphone nya ke Deva ya."

Aku menyerahkan handphone Deva agar bisa berbicara kembali dengan Rega. Aku mendengar basa-basi mereka sedikit, tidak. Aku bohong, aku mendengarkan setiap ucapan Rega pada Deva. Hanya benar-benar basa-basi saja. Bertanya sudah makan atau belum, tadi pergi naik apa dan lainnya, ditambah Rega mengatakan akan menjemputnya di stasiun. Deva hanya mengangguk mengiyakan. Setelah itu Rega pamit, karena ada meeting lagi.

Setelah memastikan panggilan terputus, aku langsung melihat Deva. "Papa kamu bawel nggak sih?"

"Bawelan Mama."

Aku berdecak, "Papa kamu tuh sering banget kaya gitu. Ngomel-ngomel."

Deva diam saja melihat aku mengoceh sepanjang perjalanan. Memangnya salah jika aku tidak mengatakan tentang liburan ini pada Rega, lagipula untuk apa laporan padanya kan? Terus, memangnya salah aku tidak ingin merepotkannya untuk menjemput kami di stasiun? Ketika aku sampai di Jakarta, aku tau sedang jam macet-macetnya. Lebih baik tidak menjemputkan?

Ngomong-ngomong, setelah pertemuan Rega dan Deva, lalu Deva mengetahui jika Rega adalah Papanya. Aku langsung memutuskan memanggil Rega dengan sebutan Papa Deva dihadapannya. Meskipun Deva masih memanggil Rega dengan sebutan om, tidak apa. Aku membiasakan melabelkan Papa Deva padanya.

Aku banyak berpikir tentang hubunganku dengan Rega. Meskipun sulit untuk kita semua menerima keadaan ini, setidaknya Deva tidak menolak Rega kan? Hanya Deva belum siap saja memanggil Rega sebagai papa. Bukan salah Deva, Rega atau siapapun. Hanya salah keadaan yang belum pas untuk kita semua.

Aku juga sebenarnya mengkhawatirkan hubungan Rega dan Cantika, biar bagaimanapun pasti sulit bagi Cantika menerima semua ini kan? Tiba-tiba saja calon suaminya memiliki anak dari wanita lain? Sudah besar pula.

Jika memang Rega membutuhkan bantuanku untuk menjelaskan pada Cantika, aku pasti akan membantunya.

Awalnya aku memang sakit hati melihat Cantika dan Rega, tapi bukan perasaan itu yang harus aku milik kan? Dari awal, Rega memang sudah ditakdirkan dengan Cantika. Aku bahkan sadar itu. Aku akan mengurus hatiku sendiri sedangkan masalah keadaan ini aku dan Rega akan bekerja sama.

Tapi, wajar tidak sih? Jika aku tidak rela jika Deva nantinya memanggil Cantika dengan Mama juga? Maksudku.. Ya begitulah. Aku hanya tidak rela saja.

"Deva, kenapa nggak manggil Papa Rega dengan sebutan Papa?" daripada aku penasaran mending langsung bertanya pada anaknya kan?

Deva mengangkat kedua bahunya, "Aneh aja. Selama ini, aku nggak punya Papa. Tiba-tiba harus manggil orang lain dengan sebutan Papa."

Aku memegang tangan Deva, "Tapi itu bukan orang lain. Itu memang Papa Deva kok. Emangnya Papa Rega kurang baik?"

"Baik."

"Deva emangnya nggak sayang sama Papa Rega?"

Deva diam sejenak, "Sayang."

"Kalau Deva begitu trus Papa Rega sakit hati trus pergi, Deva nggak sedih?"

"Emangnya Papa Rega mau pergi?"

Aku mengangkat kedua bahu, "Kalau sakit hati sama Deva? Bisa aja kan pergi, Deva mau?"

"Nggak."

Aku tersenyum, "Nggak apa. Papa Rega nggak akan pergi, Papa Rega sayang sama Deva. Papa Rega pasti tungguin Deva manggil Papa kok." Ucapku mengelus kepala Deva lembut.

Anakku yang malang. 

Hanya Tentang Waktu [END]Where stories live. Discover now