12

17.4K 1.5K 15
                                    

Aku tidak pernah tau, jika seorang Rega bisa menjadi sebegitu posesifnya dengan Deva. Deva berkali-kali bertanya bagaimana bisa membagi lokasi pada Rega di Whatsapp, menelpon Deva bertanya sudah sampai belum karena Rega terjebak macet, membuatku menggelengkan kepala. Padahal menurutku wajar jika Rega mungkin saja telat. Ini Jakarta kan? Yang lalu lintasnya tidak bisa diprediksi.

Aku menyeret koper menuju tempat dimana pintu keluar. Aku tersenyum melihat Deva, meskipun terlihat cuek pada Rega nyatanya mata Deva tidak bisa bohong. Ia mencari keberadaan Rega dimana. Sungguh malu-malu tapi mau.

Ketika melihat Rega dari kejauhan, Deva juga melambaikan tangan. Sejujurnya mereka belum berpisah sampai seminggu. Tetapi wajah Deva sudah terlihat antusias mencari keberadaan Rega. Deva senang bertemu dan dekat dengan Rega. Meskipun Ketika Rega bertanya ia hanya akan menjawab seadanya. Mereka itu sangat mirip kan?

"Capek?" tanya Rega.

Deva mengangguk sedikit.

"Makan dulu baru ke hotel mau?"

Deva melihat kearahku, aku hanya menganggukkan kepala. Bagaimana aku bisa menolak jika Rega saja sudah mau meluangkan waktunya?

Rega membukakan pintu mobil untuk Deva duduk di depan, sedangkan sudah pasti aku di belakang. Tidak mungkin kan aku duduk dipangkuan Rega?

Rega mengajak kami makan bakso sapi yang lumayan terkenal di daerah Mangga Besar.

Setelah memesan bakso dengan irisan daging sapi sama dengan mereka berdua.

"Besok kalau Om Rega ikut boleh nggak?" tanya Rega membuatku sedikit terkejut.

"Emang Om Rega nggak kerja?"

"Bisa ijin."

"Boleh ikut." Ucap Deva, "Boleh kan, Ma?" lalu bertanya padaku. Aku hanya bisa mengangguk. Masalahnya Deva sudah mengiyakan lebih dahulu dibanding bertanya kan? Meskipun bertanya pun aku pasti mengiyakan. Aku tidak sejahat itu untuk melarang Rega ikut kan.

Setelah makan malam, Rega mengantar kami ke hotel yang sudah aku pesan. Ia benar-benar tidak mengajakku ke rumahnya. Sepertinya memang Rega sudah malas berdebat.

"Besok aku jemput ya?" tanyanya padaku Ketika Rega sudah membantuku untuk check-in dan membawa semua barang kami ke dalam kamar.

"Boleh. Kalau bisa ajak makan Deva dulu, ya?" Sebelumnya aku hanya akan mengajak Deva makan fastfood di daerah terminal saja. Tidak usah repot, tapi jika ada Rega yang bisa mengantar bukannya lebih bagus? Jadi, kami tidak usah makan fastfood.

Aku melihat Rega mengangguk dan pamit pulang. Sebelumnya Rega sudah mengacak rambut Deva pelan. Anak itu hanya diam saja, tapi aku tau hatinya bersorak.

"Seneng nggak Papa Rega besok ikut?" tanyaku Ketika Rega sudah keluar dari kamar hotel.

Seperti yang aku duga, Deva hanya diam dan masuk ke dalam kamar mandi. Sekedar informasi saja, Deva memiliki kebiasaan yang sama persis dengan Rega. Mereka akan selalu mandi Ketika akan tidur. Katanya gerah dan merasa lengket jika tidak mandi.

Kalau aku, aku akan mandi lagi Ketika dari luar rumah. Jika sudah mandi dan tidak keluar rumah, aku bisa-bisa saja tidur.

Mereka sangat mirip kan?

**

Ternyata keberadaan Reg aitu cukup membantuku. Buktinya, ia bisa membantuku untuk mengurus tiket, bagasi dan membawa kami menuju gate untuk boarding.

Selama itu jelas saja Rega merangkul bahu Deva dan aku berjalan di belakang mereka. Tenang aku sudah mencuri beberapa foto candid mereka untukku simpan sebagai kenang-kenangan. Nanti jika Rega sudah menikah, sudah jelas aku tidak akan bisa lagi berjalan bertiga dengan mereka kan?

Dan disinilah kami, duduk bertiga di dalam pesawat. Aku berada di tengah karena Deva ingin duduk di dekat jendela pesawat. Sedangkan Rega, memberikanku masuk terlebih dahulu. Jadilah, urutan duduk kami seperti ini.

Ini bukan pertama kali aku naik pesawat, aku sudah pernah diajak ke Bali oleh Bu Kasih Ketika Deva berumur 5 tahun, tapi itu sudah cukup lama kan? Mungkin kenangan itu juga tidak terlalu membekas di hati Deva.

"Ma." Panggil Deva.

Aku melihat kearahnya, "Kenapa?"

Deva hanya diam, tetapi ia langsung menganggem tanganku erat. Membuatku tersenyum.

"Kenapa?" Suara Rega menyadarkanku tentang keberadaannya.

"Nggak apa. Kalau dia lagi takut emang suka gitu."

Pesawat sudah mulai take off. Deva sudah melihat kearah luar jendela dan tidak berapa lama ia sudah menyenderkan kepalanya di bahuku.

"Ada acara apa tiba-tiba liburan?" tanya Rega.

"Cuma liburan aja. Aku nggak pernah liburan berdua. Mumpung emang lagi berdua jadi aku bisa ajak Deva."

"Emang kalau nggak lagi berdua nggak bisa?"

Aku melihat kearah Rega pelan lalu tersenyum, "Ya nggak enak aja. Aku kan posisinya numpang di rumah Bu Kasih sama Pak Cakra. Masa tiba-tiba udah numpang tiba-tiba liburan nggak ajak mereka." Jelasku, "Nggak ajak mereka juga nggak enak. Ajak mereka itu Namanya mereka yang bayar. Jadi, aku nggak pernah ada rencana begini sama Deva."

Rega diam. Wajahnya berubah dingin. Membuatku mengerutkan kening, aneh. Tadi tanya, sudah tanya malah berubah wajahnya. Padahal aku memang tidak bermaksud apa-apa.

Nyatanya, jika aku liburan dengan Bu Kasih dan Pak Cakra mereka yang akan menanggung biaya aku dan Deva. Dan memang jujur saja kalau disuruh membiayai mereka, aku memang tidak sanggup. Jadi, aku tidak pernah berinisiatif untuk mengajak mereka liburan keluar negeri. Cukup aku mengajak mereka makan di luar saja Ketika sudah gajian. Lancarkanlah rejekiku, Tuhan. Biar bisa membalas sedikit saja kebaikan mereka.

"Mereka baik sama kalian?"

"Siapa?" Tanyaku, "Bu Kasih sama Pak Cakra?"

Rega mengangguk.

"Baik banget. Sampe bingung aku harus bales gimana."

"Tapi mereka nggak lagi disini?"

Aku menggeleng, "Udah dari Deva umur 8 tahun, Pak Cakra dan Bu Kasih bolak balik tinggal bareng Mas Bimo, anak mereka. Mereka harusnya udah bisa tinggal disana, Cuma masih berat katanya tinggalin Deva. Nggak rela tinggal jauh." Jawabku, "Mereka kali ini 6 bulan perginya."

"Kalau mereka sudah balik, kita ajak mereka makan bareng ya? Di rumah."

"Rumah kamu?" tanyaku. Kata-kata di rumah itu sangat ambigu nggak sih?

"Iya."

Aku mengangguk mengiyakan, "Boleh."

Tangan Rega mengusap kepala Deva yang berada di pundakku, membuatku harus menahan napas sebentar. Masalahnya tindakannya ini bereaksi cukup lebay pada hatiku. Aku merasa sedikit dipeluk dengan gerakannya ini.

Bangun Inka, Rega Cuma mengelus Deva yang memang ada di pundakmu! Ucapku dalam hati.

"Kenapa?" Tanya Rega, sepertinya ia terganggu dengan hembusan kasar napasku.

"Nggak." Aku langsung menutup mataku dan menyenderkan kepalaku pada Deva. Pura-pura tidur lebih baik sepertinya. Setidaknya aku bisa mengatur detakkan jantungku. 

Hanya Tentang Waktu [END]Where stories live. Discover now