Prolog

5 1 0
                                    

HIDUPKU sekarang tak seperti yang ada dalam bayanganku semenjak melihat sebuah kabar tentang audisi ajang penerimaan model untuk salah satu brand fashion yang acara workshop-nya telah kuikuti sejak dua bulan yang lalu. Aku mengira dengan mendaftar, mengirimkan beberapa foto terbaikku serta membeberkan pengalamanku jadi model semasa kecil di lembar pendaftaran model yang kuisi dan mengikuti pelatihan untuk menjadi model sudah membuka jalanku agar bisa menjadi salah satu model dari desainer Indonesia yang cukup terkenal. Ternyata cukup sulit untuk menembus "First Star Entertainment" –sebuah agensi ternama yang ada di Jakarta Selatan. Aku sudah melihat pengumumannya di internet dan betapa perasaanku campur aduk karena...

Sewaktu namaku terpanggil untuk casting kemarin, aku sudah senang sekali. Namun, aku hanya sejenak berdiri di hadapan tiga orang yang menjadi juri audisi pencarian model di agensi ini, lalu selesai tanpa penjelasan apa pun. Karena rasa penasaranku, akhirnya aku ingin menemuinya. Resepsionis yang prihatin mendengar kisah dan keinginanku, akhirnya dia mencoba untuk memanggil salah satu jurinya yang kebetulan sedang ada di kantor. Ini akan jadi kesempatan emasku untuk bertanya tentang alasannya. Karena kemarin ada begitu banyak orang dan aku beserta model yang lain baru mendapat hasilnya sore ini.

"Ada apa?"

Aku tersentak mendengar seseorang yang telah kutunggu-tunggu sejak tadi di ruang tunggu gedung First Star ini sudah berdiri di hadapanku.

"Umm... Begini... Pak... Apa ada kesalahan kenapa nama saya nggak ada di daftar penerimaan model?" tanyaku pada sosok pria berambut lurus, pendek, dan sedikit tipis di kedua sisi kepalanya. Aku juga melihatnya saat audisi pemotretan terakhir minggu lalu. Sementara di workshop, dia mengajar cara berjalan dan berpose dalam photoshoot.

"Maaf. Nama kamu siapa?" Laki-laki itu membetulkan letak kacamata bulatnya dan menatapku lekat.

Apa? Siapa namaku? Oh, iya. Aku belum memperkenalkan diri lagi. Karena yang mendaftar jadi model di kantor agensi ini ada banyak sekali. "Hehehe, nama saya..."

"Eh, nggak perlu. Saya sudah tahu kenapa kamu ditolak oleh casting director kami."

Aku tertohok mendengarnya. "Hah?" Aku sungguh ingin tahu kenapa laki-laki di hadapanku ini jadi memandang tubuhku seolah ingin menelanjangiku di ruangannya ini.

"Dari sekian banyak kantor agensi di luar sana, kamu serius mau daftar jadi model di sini? Kamu tahu siapa Gayatri Sukma, kan? Pamerannya bukan hanya untuk di Indonesia."

Aku langsung mengangguk penuh percaya diri. Ternyata masih ada harapan untukku kalau dia bertanya seperti itu. Karena semua gaun rancangan Gayatri Sukma sangat indah.

"Memang siapa saja boleh ikut pameran fashion-nya yang ada di Jakarta, tapi pasti kamu lupa persyaratannya ya?"

"Umm... Syarat yang mana, Pak?" Mendengar pertanyaanku, orang agensi yang serius itu menatapku seperti baru melihat tahi lalat besar di hidungku. Padahal wajahku sudah sangat licin dan bersinar. Juga tanpa bintik hitam, tahi lalat, atau jerawat batu yang mengganggu meski ukurannya begitu kecil. Aku benar-benar bukan itik buruk rupa yang hanya bisa murung diri di perpustakaan karena takut bergaul dengan orang banyak. Aku senang memusatkan pikiranku untuk mengejar masa depanku meskipun aku masih sekolah. Oh, apa karena usiaku? Setelah kuingat-ingat lagi, usiaku sudah lewat dari 16 tahun.

"Terakhir audisi, berat badan kamu nggak memenuhi syarat jadi model di agensi ini."

JLEB! "Apa?" Bukannya aku nggak mendengarnya, tapi seketika runtuh impianku karena penjelasan singkat laki-laki itu. Karena berat badanku memang salah satu mimpi buruk yang bisa mengguncang hatiku. Aku nggak memerhatikannya. "Hanya karena itu?"

Laki-laki yang aku nggak tahu namanya itu mengangguk yakin seratus persen tentang alasanku ditolak di agensi ini. Sakitnya hatiku tak terkira lagi, meskipun dia berkata jujur.

"Bukannya orang kurus juga bisa jadi model yang cantik, Pak?" tanyaku berusaha membuka pikirannya. "Pak.. Tolong pertimbangkan lagi. Lihat! Wajah saya sudah memenuhi persyaratan untuk melamar jadi model di sini, kan? Saya bisa naikkan berat badan dan..."

"Iya, tapi mau berapa lama? Kamu terlalu kurus dan kami nggak bisa menunggu atau menerima kamu jadi model di sini. Lagi pula klien kami sedang mencari model yang berat tubuhnya proporsional... Modal cantik saja kayak kamu itu nggak cukup! Oke! Sudah ya!"

Aku berhenti berpose. Pupus sudah harapanku jadi model di Agensi "First Star" ini. Seandainya bukan itu alasannya, mungkin aku nggak berkhayal masa depanku akan suram.

Brak! Aku terperanjat. Karena pria itu nggak memberiku peluang lagi dan membanting pintunya seolah aku sudah mengganggu waktunya. Ugh! Apa dia benar-benar harus membanting pintu yang nggak bersalah itu hanya karena ingin menyuruhku pulang? Hidup ini memang kejam. Kenapa aku terlahir dengan badan yang terlalu kurus!? Oke. Mulai besok aku akan menjalani program diet untuk menggemukkan badanku! Aku masih punya banyak waktu agar aku bisa menjadi model yang cantik, seksi, dan terkenal!

"Gimana, kak?" tanya wanita yang ada di balik meja resepsionis.

Aku menggeleng. "Katanya aku terlalu kurus, Mbak..."

"Oh... Jangan sedih ya, Kak... Dulu aku juga mati-matian biar bisa kurus. Ya, tapi nggak sekurus kakak juga sih... Kalau memang kakak nggak ada modal utama jadi model, mungkin ini saatnya mengganti cita-cita kakak... semangat ya, kak..."

Ganti cita-cita? Memangnya semudah ingin beli pisang goreng daripada bakwan goreng? Apa dia nggak tahu perjuanganku selama ini? Ah, sudahlah. Memang dia nggak tahu. "Makasih, Mbak..." Aku cepat keluar dari kantor ini dan menelusuri hingga ke halte.

"Gadis perut kareeet..."

Ya Tuhan! Aku kenal suara yang menghanyutkan hatiku ini, tapi aku sungguh nggak mau dengar isi kata-katanya. Entah kenapa Randy senang mengejekku. Aku menoleh malas.

"Kok main lo jauh banget? Sampai harus ke Jaksel segala? Pasti penting banget ya?"

"Ummm..." Dia memang paling senang mengubah suasana hatikuNgomong-ngomong aku belum pernah menyatakan perasaanku pada Randy. Aku juga nggak tahu apa dia juga punya rasa yang sama denganku atau nggak. Tapi dia ada di sini dan tiba-tiba menyapaku. Apa ini waktu yang tepat aku nembak dia? Kalau di sekolah, dia selalu nggak ada waktu sendirian karena...

"Ini daerah Blok M lho! Jauh dari rumah, kan? Daripada lo pulang sendirian, mau.."

Aku menggeleng. "Nggak perlu repot-repot. Kita kan nggak pacaran." Jantungku sontak berdebar meskipun hanya mengatakan itu. Secara nggak langsung aku sudah menembaknya, kan? "Kalau lo nganterin gue pulang, lo mau gue suka sama lo?" Nah! Ini dia kata-kata yang selama ini tertimbun di antara setumpuk kekhawatiranku. Sekarang Randy malah tertegun mendengar ucapanku. Perfect. Apa aku harus menarik kata-kataku lagi?

"He? Kita 'kan cuma tetanggaan di sekolah dan gue cuma anggap lo teman..."

Hancur hatiku. Seketika bentuknya seperti telur orak-arik yang digoreng di wajan panas. Hiks! Ternyata masalahku lebih pelik daripada orang gemuk yang mau menguruskan badan! "Kalau gitu, gue pulang sendiri aja. BYE!" Aku langsung naik bus Metromini yang kini berhenti di depanku. First Star... Randy... mereka semua sudah mematahkan hatiku!

Thin is My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang