Chapter 1

352 75 10
                                    

Rio merasa agak cemas saat melihat layar ponselnya. Jempol sudah tepat di atas tombol hijau, tetapi ada sesuatu yang seakan menahan untuk menggeser jarinya ke atas. Padahal sudah panggilan ketiga, sampai bulir-bulir keringat mulai bercucuran dari wajahnya. Pria muda itu pada akhirnya hanya mendesau setelah dering selesai. Lalu terbesit di kepalanya untuk mengaktifkan mode pesawat, karena yakin dia akan mendapatkan panggilan yang sama beberapa detik lagi.

Jelaskan saja kalau tadi kau di dalam ruangan yang susah jaringan, bisik hati kecilnya. Memang nyatanya dia ada di tempat yang minim jaringan. Hari ini jadwal Rio sebagai asisten untuk peserta dari mata kuliah Koralogi, dan di dalam laboratorium akses komunikasi begitu sulit. Untuk menelpon seseorang atau bahkan sekedar menggunakan aplikasi chatting juga susah.

Padahal masuk sepuluh besar kampus terbaik, tetapi pasang router Wi-Fi kok susah? Sempat Rio dan sahabatnya menanyakan itu. Lalu dalam beberapa bulan kemudian mereka bersorak gembira karena pemancar jaringan itu akhirnya dipasang. Sampai dosen pengampu yang bertanggung jawab tak memberikan kata sandinya.

"Oke semua. Waktu lab udah selesai. Asistensi laporan bisa di mulai dari hari Senin." Kalimat Rio disusul dengan para praktikan berdiri bersamaan, menyerahkan kertas sketch book mereka yang telah menggambar bagian polip karang. Asisten perempuan lain yang bersama Rio membantu mengumpulkan, untuk beberapa gambar dia berusaha menahan tawa, tetapi praktikan terlihat sama sekali tidak peduli. Pikir mereka yang penting sudah selesai. Jurusannya bukan seni, tetapi kerja lapangan. Sampai sekarang pun beberapa juga bingung kenapa harus disuruh menggambar, bukannya menyelam.

Lima menit setelah semua peserta keluar, tiga orang asisten di dalam juga menyusul. Rio hanya menutup pintu dan pagarnya, urusan mengunci ruangan akan diserahkan pada pegawai kampus. Mungkin sejam lagi akan datang.

Seseorang menepuk bahunya sebelum Rio benar-benar pergi. "Nanda? Kenapa?"

Dia berbalik dan menemukan seorang gadis. Itu asisten perempuan yang tadi mengumpulkan lembar kerja peserta lab. "Kak Rio udah makan?"

"Uh ... belum, tapi—"

"Mau makan bareng di kantin, kak? Sekalian aku juga mau minta tolong, ini soal penelitianku. Aku masih bingung buat nyusun bagian—"

Seramah mungkin Rio menaikkan tangannya, menghentikan gadis itu berbicara, untuk tambahan dia menaruh senyuman yang sudah khas. "Aku lagi sibuk, jadi, sorry. Lagian kamu juga tau, kan, kalau penelitianku kemarin itu soal karang, bukan pencemaran laut."

Kaki Rio mundur selangkah, dan melambai pelan. "Semangat ... sampai ketemu besok lusa." Lalu akhirnya meninggalkan Nanda. Gadis itu tampak berusaha membuat senyum, sebelum kemudian berbalik untuk menuju ke kantin. Namun, seketika dikejutkan dengan kemunculan seorang laki-laki tepat di hadapannya.

"Lian! Kamu di situ dari tadi?!"

Bukannya menjawab, laki-laki itu malah menyeringai ke arahnya, membuat Nanda jadi was-was sendiri. "'Kak Rio udah makan? Mau makan bareng di kantin, kak? Sekalian aku juga mau minta tolong soal penelitianku.'," ejek Lian membuat mimik seperti Nanda, yang segera membuatnya kesal dan langsung menginjak kaki cowok itu.

"Hei ... aku cuman bercanda," sambungnya sembari meringis dan melompat-lompat. Lian adalah asisten, walaupun laki-laki itu lebih sibuk memainkan game offline di ponselnya tadi. Padahal dia juga yang biasa marah-marah kalau ada praktikan yang main ponsel. Nanda sendiri juga bingung kenapa orang itu bisa lolos jadi asisten lab.

"Jadi ... sejak kapan?" Lian melanjutkan. Nanda sudah paham ke mana arah pertanyaan itu. Ingin saja dia berdecak kesal, tetapi tidak lama malah berpikir apa salahnya curhat sama Lian?

Into The BeneathWhere stories live. Discover now