Chapter 2

168 59 13
                                    

Rio berdecak kesal. Dia sama sekali tak bisa menghentikan tangannya untuk menyilang saat di dalam angkot, tidak juga peduli dengan penumpang yang lain. Mungkin itu tidak akan terjadi kalau saja montir bengkel sudah selesai memperbaiki motornya.

Apa yang terjadi adalah motornya sama sekali belum diperbaiki, bahkan montir itu lupa ban mana yang bocor. Alasannya juga begitu sulit diterima, katanya terlalu banyak motor kemarin. Padahal Rio ingat betul dia yang datang pertama. Jadilah sekarang harus naik angkutan umum lagi.

Yang dibenci Rio saat naik angkot adalah dia harus berjalan beberapa meter dulu ke depan lorong kosannya, lalu menunggu angkutan umum itu selama beberapa menit. Belum lagi sopir akan berputar-putar dulu untuk mencari penumpang lain baru kemudian membawa Rio ke tujuan. Pemberhentiannya pun juga bukan di depan fakultas, melainkan pintu masuk kampus yang jaraknya hampir setengah kilometer. Kalau saja Rio masih punya teman seangkatan di kampus, dia pasti bisa minta tolong untuk dijemput. Namun, menghubungi juniornya sendiri bisa disebut sebagai hal yang membuat malu.

Hanya tersisa setengah saja air di botolnya, sarapan di perutnya juga seakan sudah tercerna habis, atau mungkin itu hanya rasa lapar khayal agar tabungannya bisa langsung habis dengan makan di kantin. Namun, yang lebih dikhawatirkan Rio adalah dia sudah terlambat beberapa menit.

Asisten lab selalu mengingatkan praktikan untuk tidak datang terlambat karena ada tes respon. Hukuman jika melanggar adalah tidak boleh mengikuti lab. Namun, bagaimana ceritanya kalau asisten yang melakukan? Tidak ada apa-apa sebetulnya. Paling hanya junior-juniornya sedang berserapah dalam hati.

Sesuai dugaannya, begitu masuk dua asisten lainnya sudah duduk di tempat masing-masing, memberikan tugas responsi yang selalu dilakukan sebelum praktikum dimulai. Singkatnya untuk mencari tahu apakah praktikan sudah memahami teorinya sebelum mengikuti praktikum. Rio melangkah masuk seakan menjadi laki-laki yang sok sibuk hingga terlambat adalah hal lumrah. Tidak ada juga yang menyambutnya, Lian ataupun Nanda tidak bertanya melainkan melanjutkan pekerjaan mereka.

Satu setengah jam habis untuk laboratorium, tetapi belum selesai. Kelompok praktikan selanjutnya akan datang sekitar pukul dua siang. Setelah semua mahasiswa keluar, ketiga asisten itu berdiri. Nanda sudah mengangkat tangan untuk menepuk pundak seniornya, tetapi kali ini Rio keluar lebih cepat meninggalkan mereka.

Lian menarik perhatian gadis itu dengan berdehem. "Jadi apa rencanamu sekarang? Masih mau ngajak Kak Rio ke kantin?"

Nanda menaruh tangan di dada sembari memutar matanya. "Aku cuman mau tanya kenapa dia terlambat datang."

"Dia udah sarjana, yah wajar aja kalau sibuk. Kita mana ngerti." Lian mengedikkan bahu lalu menyusul keluar. "Ya ... aku ada kelas sebenarnya lima belas menit lagi. Jadi sekarang kamu bisa makan sendiri. Bye. Sampai jumpa nanti siang." Lalu pergi dengan langkah cepat.

Gadis itu menghela napas pendek, sebelum ikut meninggalkan laboratorium. Ketika mencapai koridor dengan sinyal yang bagus, Nanda mengambil ponselnya. Sejenak dia terdiam, hanya menatap wallpaper-nya. Sudut bibirnya perlahan naik, itu adalah foto yang diambil sehari sebelum dirinya, Lian, dan Rio dipercayakan untuk menjadi asisten lab.

Tentu saja foto itu berisi tiga orang, tetapi di layar hanya ada dirinya dan Rio. Sengaja tidak memasukkan Lian, temannya yang baik hati, tetapi selalu jahil dan membuat kesal. Satu-satunya teman yang tahu kalau Nanda menyukai Rio sejak lama. Meski sadar kalau tak mungkin cowok itu punya perasaan yang sama.

Nanda masih ingat betul ketika dapat melepas statusnya sebagai mahasiswa baru, dia selalu melihat Rio bersama gadis teman seangkatannya. Lalu gadis itu lulus lebih dahulu, dan Rio harus menunggu setahun lagi agar bisa menyusulnya mendapatkan gelar. Namun, entah ada apa didapatkan kabar kalau dia akan melangsungkan pernikahan.

Into The BeneathNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ